Mila ditelepon seseorang yang tak menyebutkan nama.
... tak lebih dari enam jam setelah Adam menerima panggilan dari orang yang sama.
Adam memarkir motornya di depan Kantor Polda DIY ketika apel pagi baru saja dimulai. Ratusan polisi dan staf berkumpul di lapangan. Pekerjaan berdiri dan mendengar pidato seperti ini harus dilaksanakan setiap hari kerja. Atau, saat terjadi perkara yang melibatkan ribuan orang sipil di jalan atau satu orang pejabat di jok mobil dinas. Banyak yang berdiri sikap sempurna tapi pikirannya seputar kompor di rumah, formulir kenaikan pangkat atau kekasih di kampung sebelah. Jarang ditangkap esensinya.
Adam berdiri melipat lengan dan bersandar di pohon dekat pos polisi, dekat dari bahu jalan sampai bunyi kendaraan memusingkan kepalanya. Bosan berdiri dalam beberapa posisi, ia menghibur mata dengan memerhatikan gerak satu-dua penjaga barisan belakang yang memainkan ponsel mereka dalam posisi istirahat di tempat. Seorang petugas patroli yang berdiri mematung di dekat barikade mobil sedan dan truk beberapa kali membersihkan kerongkongannya seperti kemasukan serangga.
Hampir satu jam proses itu berjalan membosankan. Saat apel ditutup pukul delapan lebih empat puluh menit, Adam sudah berjalan cepat dan lalu menggamat seorang polisi muda berkacamata. Membawanya ke tepian dekat pos yang kosong lantaran dua polisi penjaganya antre di kafe kopi.
“Mau apa kau kemari?” tanya polisi muda itu kepada Adam.
“Eno,” jawab Adam. “Aku perlu bicara dengan Komisaris Iskandar.”
“Iskandar Hasan?”
Adam mengangguk.
“Dia di Poltabes. Kenapa kau cari di sini?”
“Iya tahu. Tapi kata anak buahnya komisaris itu mau ada rapat di Mapolda pagi ini.” Adam menjelaskan begitu bersemangat sampai tangannya bergerak-gerak.
Dari sudut lemari kafe mini tempat gelas-gelas plastik kopi berderet siap disabet, dua orang polisi tetap awas dan mengarahkan pandangannya pada tamu yang berbicara dengan salah satu rekan personelnya di dekat pos. Mata mereka terlatih untuk mengenali bahasa tubuh.
“Aku cuma butuh bantuanmu untuk menyampaikan ini.”
Sebuah lipatan kertas berpindah tangan. Eno buru-buru memasukkannya ke saku celana kemudian menatap tajam ke arah Adam. Telinganya lebih awas kini, terlebih karena sebuah mobil melintas di belakang mereka menuju lobi. Pelat dinas itu sulit terbantahkan sedang membawa perwira madya. Apalagi dua sepeda motor besar bersirene mengawalnya di depan dan belakang. Sementara dua kendaraan hitam berukuran sedang mengekor setia.
“Sepertinya acara sudah mau dimulai. Aku percayakan padamu. Ingat, jangan sampai isi surat itu dibaca orang selain Pak Iskandar, karena ini berkaitan dengan kasus di dalam wilayah kekuasaannya.”
Adam berhenti sejenak, seperti ingin meralat kalimatnya.
“Kau belum yakin dengan ini, ya Adam?”
“Oh, bukan. Hanya saja … Ini.”
Adam menyodorkan surat kabar yang langsung dibaca oleh Eno.
Sebuah halaman lanjutan berita lokal. ANAK KADISDIKBUD KOTAGEDE DIBUNUH - DIDUGA TERKAIT PENCURIAN. Judul dan subjudul berita itu begitu menarik perhatian sampai-sampai Eno melirik ke sana kemari sebelum membacanya. Pencurian macam apa yang terkait dengan pembunuhan yang begitu keji pada sebuah kesempatan yang sempit?
Jajaran poltabes Yogyakarta sudah mengantongi nama yang diduga sebagai pelaku pembunuhan MAM, 13 tahun anak dari Kadikbud Kotagede Iskak Mangulika. Menurut polisi, pelaku ada kemungkinan adalah orang yang mengenal korban, atau setidak-tidaknya pernah terlibat sebuah kegiatan bersama dengan korban. Hal itu didasarkan atas olah tempat kejadian perkara yang mengumpulkan barang bukti berupa pisau dapur, sebuah komputer lipat berkata sandi, dan beberapa bukti transaksi di rumah makan, juga sebuah hotel terdekat. Yang menarik adalah, turut dijadikan barang bukti juga sebuah kliping koran dan kumpulan catatan harian milik Nadia Tumbulaya, aktris sekaligus pemusik yang ditemukan meninggal dunia di kamar hotelnya di Sanglah, Denpasar, Desember 1995 silam. Polisi belum menyampaikan kesimpulan sementara terkait motif ini, tapi spekulasi berkembang bahwa kasus ini sebenarnya adalah rangkaian panjang dari pembunuhan aktris yang masih menyisakan misteri itu. MAM dikenal sebagai ketua teater BULAN, sebuah kelompok studi SMA Kotagede yang aktif dalam kegiatan teater sekolah, dan mereka pernah mementaskan RIMBI, skenario gubahan Nadia Tumbulaya. MAM ditemukan tewas di kamar mandi rumah dinas ayahnya Sabtu malam. Setidaknya satu luka tusukan di perut korban diduga sebagai penyebab kematian. Jenasah akan diterbangkan ke kampung kelahirannya di Ternate siang ini. Apakah MAM ada kaitannya dengan kematian Nadia, ataukah semua ini hanya kebetulan semata? Ikuti kolom khusus untuk kasus ini mulai besok di halaman 11.
Adam merebut dan melipat koran itu cepat-cepat. Berita ini terlalu bombastis, hiperbolis, dan bisa saja mengada-ngada, tapi Adam meminta Eno untuk percaya mereka sedang berada di situasi serius, dan atas kasus yang pelik.
“Mila dalam bahaya.”
“Apa katamu?”
“Tolong sampaikan saja ini, nanti kutelepon begitu investigasiku selesai.”
Baru saja Eno meminta penjelasan lebih panjang tapi Adam buru-buru mengangguk kepada dua orang polisi muda yang berlalu di samping mereka, menuju pos. Keempatnya lalu saling menyapa dan Eno memperkenalkan Adam kepada dua rekannya itu. Pembicaraan beralih ke banyak hal lain sampai akhirnya Adam meninggalkan kompleks sepuluh menit kemudian.
“Bagi sini, Eno.”
“Maaf?” Eno balik badan saat mendengar rekannya di pos jaga itu bertanya mengejutkan. Untuk sesaat itu ia langsung tahu apa yang dimaksudkan oleh dua penjaga pos yang saling colek dan main mata itu. Pandangan mereka mengarah ke tangan Eno yang terselip di dalam saku kanan celana.
“Oh,” Eno mengangguk pelan. “Ini buat Pak Khairil. Titipan. Mau lihat?”
Tiba-tiba dua petugas jaga itu kompak menolak dan menyilakan Eno pergi. Pos itu kembali normal dengan situasi kerjanya yang begitu awas. Eno melangkah santai melintasi lapangan rumput, melompati beberapa kabel yang digulung kemudian menghilang di balik pintu utama. Nama Kapolda sudah sering kali dijual untuk banyak kepentingan, tapi dua petugas jaga pos berpangkat rendah tak mau ambil risiko apapun yang bisa melibatkan mereka dalam urusan yang lebih ruwet, apalagi karena hanya sebuah amplop kecil.
Setelah mengisi perutnya dengan semangkuk kecil bubur kacang ijo di warung pinggir jalan, Adam duduk begitu saja di atas motornya. Bola matanya liar sejenak saat mendengar dua tukang becak saling bisik di sampingnya membicarakan kasus yang terjadi semalam itu. Satu di antaranya menyinggung ayah korban. “Masalah hutang, siapa tahu saja …” kata tukang becak satunya. “Hus!” Sementara yang satunya mencoba berpikir jernih.
Adam sudah merasa kenyang, teh panasnya telah lesap dan ia siap berangkat. Perjalanan menuju polsek Tegalgendu tidaklah lama, mestinya. Tapi kemacetan pagi hari tak bisa dihindarkan. Ia baru sampai setelah tigapuluh menit, termasuk mampir di sebuah tempat tambal ban.
“Kasihan ya, Pak?”
Adam mengangkat alis dan langsung tahu kalau tukang tambal ban itu menebak bacaannya seputar kasus kematian Mozé. Koran hijau masih terbuka lebar di dua tangannya. Ia membalas singkat.
“Iya. Pak Iskak itu langganan saya.”
“Iskak … Kadisdikbud?”
“Iya. Ayah korban itu. Pembunuhan. Keji, entah siapa yang tega membunuh anak itu. Padahal anak bungsu.”
“O …” Adam memanfaatkan momen. “Jadi, Mozé itu anak bungsu? Tahu dari mana bapak?”
“Walah, saya tinggal di Kotagede kok, Pak. Cuma kerja di sini, tidak jauh kok pulangnya.”
“Oh iya?” Adam tak menyangka nasib ban tertusuk paku membawanya pada kesempatan yang tepat. “Jadi, bapak ini tetangga keluarga korban? Bisa ceritakan bagaimana keluarga Pak Iskak ini?”
“Wah kalau itu terus terang saya tidak tahu banyak, Pak. Cuma satu, bahwa Pak Iskak ini orangnya pemurah. Saya sering dikasih uang limapuluh ribu, padahal cuma nambal ban mobilnya. Atau sekadar mengantarkan kiriman untuk anak sulungnya, ke kantor pos.”
“O … kakak Mozé maksudnya?”
“Ho oh, di Nusa Tenggara, Kupang atau Mataram saya juga lupa. Kerja di Newmont sana, tujuh tahun belum pulang.”
“O … berarti yang tinggal di rumah dinas Disdikbud itu cuma Mozé dan bapaknya?”
“Iya. Kan ibu Disdikbud sudah meninggal. Kabarnya Pak Iskak ini mau menikah lagi, dan Mozé tidak setuju. Ya, tapi namanya cerita. Orang suka membesar-besarkan. Saya maklum saja. Aneh, sejak seminggu terakhir Pak Iskak seperti sedih. Saya lihat setiap lewat di depan rumahnya, beliau dulu masih suka menyapa orang, menyapu atau mengobrol soal berita koran dengan Pak Tarno tukang parkir toko Perak di depan rumahnya. Akhir-akhir ini kok seperti sedang jarang di rumah.”
“Pak Iskak baru kembali dari Bali. Nanti siang ikut terbang ke Ternate.” Adam coba meluruskan informasi berdasarkan berita koran.
“Semoga diterima di sisi Tuhan. Sepertinya anak itu tidak punya musuh, heran saja saya.” Lelaki paruh baya itu melanjutkan kerja tangannya di roda sepeda motor.
“Amin.”
Adam mengendarai sepeda motornya yang kini terasa lebih keras bergesekan dengan aspal dan kerikil-kerikil jalan. Ia berbelok ke selatan dan langsung berhenti di depan rumah dinas itu. Garis polisi masih melintang dan beberapa warga masih menemani dua petugas kepolisian yang berjaga.
“Permisi, saya mau investigasi.” Adam melihat jam tangannya, melangkah lalu menjabat orang itu satu-satu. Seorang petugas kepolisian kemudian menghadangnya ketika mau melintasi pita kuning.
“Sebentar lagi ponselmu berbunyi,” kata Adam.
Polisi itu terheran dan saling pandang. Karena ponselnya berdering hanya tiga detik setelah Adam menyampaikan kalimatnya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H