(Sebelumnya ....) "Ini sulit," komentar Adam pada akhirnya. Reza menatap investigator itu penuh kecemasan, karena di dalam benaknya siapa lagi yang bisa ia andalkan untuk memperbaiki nama baik anaknya jika Adam sudah menyerah. "Terus terang, Pak Reza. Saya memang sudah berjanji akan mengusut kasus Alya ini. Tapi keadaannya memang sulit. Dia dan pacarnya ditemukan dalam posisi yang kurang enak dipandang di dalam sebuah toilet yang dikunci dari dalam. Betul demikian kata guru?" Reza mengangguk tanpa bicara satu kata pun. "Dan apa pembelaan keduanya?" "Pembelaan?" "Ya. Pembelaan. Apakah Ryan dan juga Alya mengakui hal itu?" "Tentu saja tidak! Alya terdidik untuk selalu jujur." "Tidak mengakui? Di depan guru mereka sendiri dan saksi mata yang melihat langsung?" "Tidak mengakui. Dan saya yakin dia jujur. Cuma para guru ini saja yang tak mau masalah tambah panjang." Adam terdiam sambil menggosok dagunya. Ia lalu melihat ke arah Alina yang memberi isyarat dorongan untuk maju. "Apa alibi mereka?" "Siapa. Ryan dan Alya?" "Ya. Mereka sampaikan pembelaan seperti apa?" "Kata Ryan, dia dan Alya masuk ke toilet itu tengah malam tadi karena instruksi Pak Hartono. Wali kelasnya. Menurut Ryan, Pak Hartono tadi malam meminta mereka jadi sukarelawan untuk ngerjain ketua kelasnya yang ulang tahun 1 Januari ini. Mereka ingin memberi kejutan dengan menakut-nakuti. Rencananya dibuat seolah-olah Ryan dan Alya menghilang agar Annisa, ketua kelas itu, panik atau menangis, barulah mereka rencananya membongkar semua tipuan itu dan melanjutkan acara tahun baru. Tapi ..." "Tapi apa?" tanya Adam. Ia kemudian duduk di dekat Reza yang menjelaskan sebagaimana diingatnya. "Mereka tertidur di dalam toilet belakang ruangan itu, dalam keadaan gelap, dan tidak sempat keluar sampai akhirnya baru bangun pagi harinya. Mereka juga kaget waktu tahu kalau teranyata Hartono wali kelas mereka dirawat di rumah sakit karena pingsan semalam." Adam lalu melipat kedua lengan di depan dadanya. Penjelasan barusan seperti memberinya angin segar. "Ini menarik," katanya. "Di toilet mana mereka ditemukan?" "Mana saya tahu, Pak. Saya juga baru dua kali ke kompleks sekolah ini. Tanya saja kepada wakil kepala sekolahnya yang gegabah itu." Adam mengangguk. "Kalau Hartono, wali kelas itu, bagaimana keadaannya? Tadi Anda jadi menjenguknya kan?" Tapi Reza menggeleng. "Waktu saya tiba di rumah sakit, kata resepsionis tidak ada pasien dengan nama itu. Kemungkinan sudah pulang ke rumah sebelum fajar. Saya belum ke rumahnya." "Boleh tahu di mana rumah Pak Hartono itu?" "Tidak jauh dari rumah saya." "Di Gejayan juga?" "Karangmalang." "Baiklah. Saya akan mina izin untuk melihat-lihat sekeliling dulu. Semoga wakil kepala sekolah memberi izin. untuk sementara, Pak Reza bisa ke kantor sekarang. Tapi bisakah nanti sekitar jam dua belas kita ketemu? Ada sesuatu yang sepertinya perlu kita bicarakan." Klien itu mengangguk. "Tentu saja, Pak Adam. Apapun akan saya bantu. Asalkan tolong temukan kebenaran di balik kasus ini." Adam kemudian mengangguk dan menepuk lengan kliennya. Ia juga sekilas melihat ke arah wakasek yang ternyada mengintip pembicaraan mereka dari lubang ventilasi jendela ruang guru. Reza langsung pulang tanpa melihat lagi keadaan Alya anaknya. Adam berdiri dan meluruskan otot-ototnya seperti orang yang mengawali senam. Ia tersadar Alina masih di situ. "Alina, kamu tidak ke kantor sekarang?" Mantan istri itu menggeleng. "Tidak. Kalau kamu izinkan, malah aku ingin membantu penyelidikanmu di sini." "Oh begitu. Senang mendengarnya. Tapi ini bisa berbahaya, sayang. Kamu sebaiknya ..." Tapi Adam tak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba Alina melipat kedua lengannya lagi di depan dada. Adam yang menyadari potensi pertengkaran yang tidak mengenakkan lagi, akhirnya memilih mengalah. "Baiklah, ini yang bisa kamu bantu." Jam dinding sekolah menunjukkan pukul 11.45 ketika akhirnya Ryan dikeluarkan dari ruangan guru. Alya menyusul keluar sekitar satu menit kemudian. Ryan, anak laki-laki dengan potongan rambut yang agak panjang menutupi sebagian keningnya itu, membawa kertas berlipat di tangannya. Sementara Alya, yang berdiri di pintu, oleh petugas kebersihan sekolah baru saja diserahkan lipatan kertas dengan bentuk yang hampir sama. Ia lalu melihat ke arah Ryan yang berjalan ke arah halaman belakang. Dari kejauhan mereka saling mengangguk, meski Alya akhirnya berjalan ke arah gerbang depan dekat pos satpam. Petugas jaga gerbang berseragam itu mengangguk hormat dan dibalas dengan sapaan ramah dari siswi cantik berambut sebahu itu. Alya kemudian berbelok ke arah ruang pertemuan di sebelah barat dan duduk melantai di atas terasnya. Seperti menyerahkan rasa lelah, ia merapatkan punggungnya ke tiang. "Dibolehkan pulang?" tiba-tiba sapaan itu terdengar. Alya tersenyum dan mengangguk. "Iya, Mba. Saya sudah hubungi ayah. Mba yang meminta saya kemari?" "Iya betul, dik. Perkenalkan saya Alina." Lalu mereka bersalaman. "Sebetulnya saya bukan psikolog sebagaimana tertulis di surat tadi." Alya sempat terkejut dan memasang wajah curiga. Kemudian Alina melanjutkan kalimatnya. "Saya yakin Alya tidak bersalah. Itulah mengapa saya rela berbohong semata-mata agar Alya mau bicara dengan saya." Senyuman Alina adalah senyuman seorang ibu. Dan Alya yang melihat itu, langsung tahu secara naluriah bahwa orang ini bisa dipercaya. Setelah terdiam sejenak, akhirnya ia membalas dengan senyuman yang sama ringannya. Di bagian lain sekolah, Ryan mendekati seorang pria tigapuluhan yang bersandar di sudut belakang gedung menghadap ke barisan pagar kawat duri. Anak itu berdeham kemudian berjabat tangan dengan Adam yang terkejut lalu tersenyum. "Ryan," kata Adam menyambut ramah. "Ada apa Om memanggil saya kemari?" "Karena saya percaya kamu mencintai Alya dengan tulus." Ryan terheran-herana. Ia mengernyitkan dahi. "Laki-laki yang tulus mencintai pasangannya, tidak akan melukai sedikitpun. Terkadang, justru rela dilukai asalkan perempuannya baik-baik saja. Begitukah yang kamu rasakan sekarang, nak?" Anak itu tertunduk. "Tenang saja. Kita akan berbicara laki-laki dengan laki-laki. Kamu bisa menceritakan semuanya biar aku bisa membantumu keluar dari fitnah ini, jika menurutmu memang demikian. Bukankah begitu yang kutulis di surat itu?" "Ya. Tapi penampilan om sama sekali tidak mirip seorang psikolog." Adam memperhatian dandanannya sejenak kemudian terkekeh. "Ya. Memang benar. Hari-hari itu sudah berlalu. Mari. Aku ada sedikit permainan, dan butuh bantuanmu agar rencana ini sukses. Kamu sudah dibolehkan tidak ikut kelas, bukan?" "Ya." "Oke. Ayo kita ke sana." Keduanya lalu berjalan-jalan di sepanjang halaman belakang sekolah itu. Adam menceritakan bagaimana ia bisa sampai di sekolah itu, sementara Ryan menceritakan lebih banyak masalah pertemuan dan proses pacarannya dengan Alya, kekasih yang ia cintai dengan tulus. Adam menyindir dengan menyebutkan hubungan mereka masih sebatas cinta monyet, namun Ryan bergeming dan malah menjadikan kisah hidup investigator itulah cinta monyet yang sebenarnya. "Kamu tidak tahu banyak berubah setelah dua orang menikah, Nak," komentar Adam setelah nyaris kalah pendapat. Alina mendengarkan dengan cermat. Ia duduk merapatkan pantatnya ke lantai berdebu itu persis seperti gaya bersila yang dilakukan Alya. Mereka berhadapan seperti dua sahabat yang saling mencurahkan hati di dalam kamar. "Ini hanya rencana kecil dari Pak Hartono, tapi guru-guru tidak mau percaya." Alina tersenyum dan mengangguk simpatik. "Bisa saja, tapi guru-guru kan tidak percaya kalian." "Memang. Karena itu kami bingung harus bagaimana lagi." Alina menghela napas sebelum melanjutkan pertanyaan. "Memangnya sebelum ini Alya pernah punya masalah di sekolah ini?" Anak itu terdiam. "Sebetulnya ..., memang iya." Alina terkejut dengan jawaban itu. Sementara Adam yang duduk jongkok di depan Ryan, sama terkejutnya ketika anak itu menceritakan hal yang sama. Ryan menunduk dan tangannya bergerak-gerak ketika menceritakan hal itu. Ia terlanjur menaruh harapan pada orang yang baru dikenalnya itu dan berpikir keadaan akan lebih baik jika ia bisa membantu penyelidikan. "Sudah lima kali aku dan Alya dipergoki guru berduaan. Tapi sebelumnya wajar-wajar saja. Hanya di pinggir lapangan sampai lupa masuk pelajaran, dan itu pun baru tiga kali. Selebihnya kami hanya diolok-olok ketika mengobrol di dekat ruang guru. Guru-guru juga sudah lama tahu aku dan Alya pacaran, dan aku kira tidak ada masalah dengan mereka. Tapi kejadian semalam, memang di luar dugaanku, Om. Semua terlanjur terjadi, dan kami di sana sampai pagi." Adam menghela napas untuk kesekian kali. Ia tak menyangka ternyata anak dari kliennya punya riwayat kurang bagus di sekolah itu, meski di atas kertas nilai mereka tertinggi. "Aku tanya sekali lagi." Adam melihat ke mata Ryan dengan tegas. "Lihat mataku, nak. Kalau kamu memang benar, jadilah pemberani, jangan takut. Sekarang aku tanya." Ryan menatap juga pada akhirnya. Alina menanyakan hal yang sama kepada Alya. "Apa benar kamu melakukan perbuatan tidak baik di dalam toilet itu?" "Tidak. Tentu saja tidak," kata Alya. Kemudian Alina mengangguk dan menepuk pundak anak itu. "Bagus," kata Adam kepada Ryan yang memberinya jawaban yang ia harapkan. "Baiklah, kalau kamu memang berani bersumpah atas jawabanmu itu, Nak." "Menuurutmu," kata Adam kemudian. "Kamu mau melakukan apapun agar kasus ini kita selesaikan?" "Apa saja." "Bagus. Kalau begitu mulai sekarang kita satu tim. Nanti sore atau malam kita akan ikut permainan seru. Kamu boleh pulang sekarang dan melaporlah kepada orang tuamu dulu. Mereka pasti cemas." Ryan mengangguk kemudian tersenyum ketika meraka berdua bangkit. Di dekat gerbang depan, Alya juga bersalaman kemudian saling berterima kasih. Alina sempat memeluk meski Alya agak sungkan. Selama beberapa menit kemudian, kedua anak itu sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Alina berjalan-jalan dan menelepon supirnya menginstruksikan agar segera ke kantor dan ia akan pulang bersama Adam. SUV hitam di sekolah itu akhirnya pergi setelah hampir tiga jam menunggu. "Sepertinya ini akan seru, Adam." "Ya. Kedua anak itu pegang kunci penting untuk kasus ini." "Apakah ini kasus yang serius?" "Tentu saja. Tapi sepertinya ..." "Apa?" "Yang bahaya justru bukan di sekolah ini, tapi di tempat lain." "Tempat lain maksudmu?" Adam mencatat beberapa kata di  buku catatannya kemudian memperlihatkan kepada Alina. Beberapa guru masih melihat dari kejauhan dan saling berbicara. Mereka nampak mulai gerah dengan tamu  asing yang bergerilya menyelidiki seluk-beluk lingkungan belajar. Sampai akhirnya Adam memutuskan pamit kepada beberapa guru dan menggamat tangan Alina menuju gerbang sekolah. "Kita bicarakan sambil makan siang. Aku ada petunjuk penting, kalau kamu tertarik." (Selanjutnya ...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H