Hari ini Rabu. Tiga hari yang lalu, Minggu malam sekitar pukul 20:30, saya masih pusing mencari-cari tempat teman saya dibawa oleh salah seorang kenalannya, sebut saja David ke sebuah rumah kontrakan mahasiswa yang jauh di pelosok kampung sekitar Maguwoharjo, Yogyakarta. Terlalu banyak pelosok di daerah sekitar kampus Sanata Dharma dan Stadion Maguwoharjo itu, sehingga saya kesulitan menemukan alamatnya meskipun sudah mulai mencari sejak sore hari. Ceritanya ini tidak menjadi penting jikalau saja pertemuan teman saya itudengan David adalah pertemuan antarteman biasa. Akan tetapi, dari pilihan kata lewat SMS serta nada bicaranya saat di telepon, saya merasakan bahwa teman saya itu merasa menyesal ikut dengan David dan ia khawatir akan terjadi sesuatu yang ia tak bisa bayangkan. Teman saya ini, namanya Jessica, seorang perempuan muda, sebetulnya belum pernah saya temui sebelumnya. Seperti kebanyakan pertemanan instan, saya dan Jessica lebih banyak berkomunikasi lewat jejaring sosial. Tidak begitu akrab, sebetulnya, jadi saya tidak begitu tertarik untuk menyimpan kontak apapun tentang dia. Jessica berangkat dari Semarang ke Yogyakarta Minggu pagi dan tiba di terminal Jombor sekitar pukul 09:00. Awalnya, dalam sebuah chatting saya menganjurkannya untuk lebih baik membatalkan saja rencana perjalanannya ke Jogja karena dalam pandangan saya tidaklah begitu amanbagi seorang perempuan lajang untuk menemui seorang laki-laki yang belum pernah ia temui sebelumnya (apalagi tahu sifat-sifatnya) di kota yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Ya, dalam beberapa kesempatan kemudian Jessica mengaku baru pertama kali ke Jogja. "Tapi aku udah terlanjur janji sama dia, Fan. Jadi gak enak kalo dibatalin gitu aja." protesnya. Ia tidak lantas mengabaikan nasihat saya, dan mengaku berencana untuk ketemu beberapa menit saja dengan David, lalu kemudian kembali pulang ke Semarang. Pukul 10:15 Minggu siang, setelah hampir putus asa, akhirnya Jessica menemui David yang datang dan berniat menjemputnya. Oleh David ia pun dibawa ke daerah Maguwoharjo, ke sebuah rumah kontrakan yang ditinggali oleh pemuda itu bersama beberapa rekannya. Pukul 17:00. "FAN, PERASAANQ GA ENAK BGT NI. DAVID GA BOLEHIN KELUAR. PINTU DIKUNCI. D LUAR BRISIK BGT. SUARA MUSIK KENCENG BGT. ORG NGOBROL RAME. Q DI KMR." Demikian bunyi pesan singkat dari Jessica yang masuk ke hape saya petang itu. Saya sudah merasakan sejak awal bahwa keadaan ini tidak mengenakkan bagi Jessica. Ia sudah terlanjur terperangkap rayuan seorang David yang entah berniat apa terhadapnya. Bermaksud berinisiatif, akhirnya selama beberapa jam itu saya berusaha mencari lokasi rumah kontrakan itu guna menjemput Jessica. Melalui beberapa petunjuk dari pesan singkat yang dikirimkannya, saya menelusuri kampung-kampung di sekitar Condongcatur, maguwoharjo. Hasilnya nihil. Ketidaktahuan Jessica sama sekali tentang daerah Jogja ditambah lagi lokasi rumah yang menurutnya sangat jauh dari keramaian kampung sebagaimana wajarnya membuat saya kebingungan dan nyaris putus asa mencari. Bahkan untuk mengintip keluar saja ia mengaku tidak bisa. Tidak ada jendela atau apapun yang bisa mengarahkan petunjuk baginya. Pukul 18:30. Hape saya kembali berdering. "DAVID NGAJAK KELUAR. TLONG KM JEMPUT AQ YA. FAN PLIZ. TD DY MINTA YG NGGA2. Q GMW. PNGEN KBUR." Begitu pesan singkat lanjutan yang saya terima. Berdasarkan apa yang diketahuinya, Jessica membocorkan bahwa ia akan diajak ke salah satu pasar malam di dekat stadion Maguwoharjo. Memang, dalam beberapa kali pencarian saya sebelumnya di daerah itu, ada keramaian tepat di bagian timur stadion. Saya pun kembali mengeluarkan motor lalu melanjutkan pencarian. Baterai HP yang beberapa kali drop memaksa saya bolak-balik kost untuk men-charge. Selama pencarian sejak sore yang menegangkan, saya beberapa kali mengirim SMS ke Jessica. Selain meminta petunjuk letak rumah, saya memberikan kalimat-kalimat motivasi agar ia tidak terlalu panik, dan berpikir jernih guna membantu saya menemukannya. Saya berusaha membuatnya berani agar tidak terlalu gugup saat berbicara dengan David, agar ia bisa menggunakan kesempitan untuk kabur atau minta pertolongan. Setelah beberapa kali membujuk tuan rumah agar diajak jalan-jalan ke luar, Jessica pun akhirnya membalas SMS saya dan mengatakan bahwa rencana kami berhasil. Namun, apa yang terjadi betul-betul menjengkelkan saya. Baterai HP nge-drop, padahal saya dan Jessica sudah berbalas pesan untuk bertemu di salah satu bagian pasar malam. "DI DEKAT RODA GILA. AKU PAKE JAKET HITAM KAOS KUNING, KACAMATA." demikian SMS terakhir yang terkirim kepadanya sebelum akhirnya layar HP benar-benar hitam. Mati. Kebingungan mengamati wajah demi wajah yang lalu lalang dalam keramaian malam itu, saya tidak ada bayangan sama sekali bagaimana wajah asli Jessica itu. Hopeless, setelah beberapa menit menunggu, tak muncul satupun orang yang mirip dengan deskripisi yang ia jelaskan sebelumnya. Semakin bingung, akhirnya saya kembali pulang untuk mengisi baterai HP. Saat itu sudah pukul 20:30. Di kamar kost, sejenak saya menenangkan diri dan berpikir realistis. Kalau sampai saya tidak bisa menemukan Jessica malam itu, tidak ada cara selain menghubungi polisi. Saya tahu kalau Jessica sampai melewati malam ini di kontrakan si David yang berniat jahat itu, maka pasti keesokan harinya saya hanya bisa mendapati kabar buruk. HP saya berdering. Tenaga baterai terisi sepertiga. "CPET FAN KM KESINI. KU DH GA ENK BGT NI. KONTRAKANNYA DI KMPUNG BELAKANG BPTP. DUSUN CANGKRINGAN INDAH. RUMAH WARNA KUNING. PLNG UJUNG DKET POHON BAMBU. CPETAN" begitu bunyi pesannya. Dengan sisa tenaga baterai HP yang minim dan bisa mati kapan saja, saya memacu sepeda motor ke arah pinggir kota yang sudah mulai sepi. Angin malam terasa sangat dingin menembus jaket parasut yang kupakai. Tidak salah lagi. Pasti gedung yang itu. Saya tahu kompleks BPTPN adalah perkantoran dan laboratorium ilmu tanah yang berlokasi sekitar 400 meter sebelah timur stadion. Di belakangnya memang ada perkampungan sepi dengan beberapa rumah kontrakan mahasiswa. Kesannya bebas, kurang terjaga, dan gelap. Menyusuri beberapa setapak dan bertanya ke beberapa warga, akhirnya feeling saya mengarahkan ke sebuah rumah yang berdiri paling ujung di pojokan jalan setapak, tepat di belakang kompleks pertanian itu. Rumah itu memang khas kontrakan, tidak terlalu besar dan kurang terawat kebersihannya. Suasana sekitarnya hening, tak ada suara percakapan orang kampung atau apapun. Setelah mondar-mandir dan menyusun rencana penetrasi, saya memarkir kendaraan lalu memberanikan diri mengetuk pintu rumah. Pintu kayu itu tidak tertutup, namun tetap saya mengetuk. Suara TV yang menyiarkan Liga Inggris terdengar dari salah satu kamar. Kondisi dalam rumah itu normal sebagaimana kontrakan mahasiswa. Koridor tunggal mengarah ke belakang dengan beberapa kamar di tiap-tiap sisinya. Sebagian pintu kamar-kamar itu terbuka, selebihnya tertutup. Saya menyapa, beberapa kali, tidak ada jawaban. Saya menyapa lagi, lalu kemudian seorang pemuda, penampilannya mahasiswa, perawakannya Timur, membalas sapaan saya. Ia membalas uluran jabat tangan saya. Tangannya agak tertarik karena memang pegangan saya pada telapak tangannya begitu tegas. Pandangan saya menyasar ruang sempit di antara dua alis tebalnya. Ia pun terpaksa membalas senyum yang saya lontarkan, seadanya. "Mas. Maaf mengganggu malam-malam begini. Nama saya Fandi. Di sini ada anak yang namanya David? tanya saya mantap. Saya usahakan seberani mungkin. Saya sudah terlanjur berdiri di pintu rumah itu dan saya harus menunjukkan maksud saya sejelas mungkin. Saya sadar bahwa apapun bisa terjadi pada saya dalam situasi seperti itu. Saya belum pernah melakukan "penyelamatan berbasis negosiasi" semacam ini sebelumnya. "Oh, ada. Ada apa ya?" balas pemuda itu penasaran. Ia melirik ke arah luar rumah, lalu menyadari kalau saya datang sendirian. "Begini. Apa benar di sini ada cewek yang baru datang tadi pagi? Namanya Jessica. Dia itu kakak sepupu saya. Saya diminta tantenya buat menjemputnya malam ini. Tantenya meminta biar Jessica nginap di rumah keluarganya aja. Katanya tadi datang kesini bareng David, jadi biar saya mau jemput aja." saya menjelaskan sesingkat mungkin. "Oo.... Sebentar. David!?" pemuda itu memanggil ke arah salah satu kamar tertutup di sebelah kanan. Beberapa kali memanggil, akhirnya pintu itu terbuka juga. "Ini ada teman kau. Darimana mas?" pemuda itu menoleh saya. "Maguwo. UGM" jawab saya kurang mengerti. Akhirnya seorang pemuda berbadan tambun. Tidak terlalu tinggi namun perawakannya lumayan tegas. Langkahnya berat ke luar kamar. Lalu ia menghampiri saya. Sorot matanya penuh curiga. Tidak ada senyum sama sekali. "David ya?" sapa saya sambil menunjuk. Senyum tetap terlontar dari bibir saya seadanya, berusaha menutupi rasa gugup. "Saya Fandi, mas." saya menggamat tangannya, sedikit remasan di telapak tangannya menjadi kesempatan bagi saya untuk menunjukkan keberanian. Kami berjabat tangan. "Oh iya. Ada apa?" reaksinya dingin. Sengaja saya agak menarik David ke arah lebih dekat keluar pintu rumah untuk menciptakan ruang bicara yang fokus. Saya tahu beberapa temannya keluar kamar saat mendengar tamu asing datang. Beberapa di antara mereka bahkan saling berbisik dan mengarahkan penglihatannya ke saya. "Gini Mas David." "Saya tahu di sini ada Jessica, cewek yang tadi Mas David jemput di terminal Jombor pagi-pagi." Di sini, pandangan David mulai tak bersahabat. Ia tahu bahwa rencananya terendus. Ia tidak suka itu. Alisnya mulai tertarik lebih rapat, matanya lebih fokus. "Saya diminta tantenya...." Saya menjelaskan beberapa kalimat yang saya susun secara spontan agar ia percaya bahwa saya harus menjemput perempuan yang ia sekap di dalam kamar itu. David nampak semakin gelisah. Gerakannya mulai tak teratur. Diusapnya rambutnya berkali-kali. Ditolehkannya kepalanya kesana-kemari tanpa jelas melihat apa. Ia sudah mulai tidak fokus terhadap saya. "Saya tahu saya mengganggu malam-malam begini. Maaf ya Mas." saya kemudian mengucapkan beberapa kalimat percakapan yang lebih ringan, karena saya tahu tidak menyenangkan baginya saat-saat seperti ini. "Saya tinggal di deket sini juga kok. Kost saya di Pugeran Maguwo ini deket Selokan Mataram. Seberang Ringroad. Di sana ada beberapa teman juga orang Timur, karena saya juga orang timur." saya berusaha menyeimbangkan posisi saya dengan keadaan eksternal David. Dalam teori percakapan dan negosiasi yang pernah saya dapatkan, penting untuk menyamakan posisi serta mengarahkan perspektif afirmatif kepada siapapun pihak lawan negosiasi kita. Dan hal itu berlaku untuk situasi apapun. Dalam hal ini, strategi yang sama saya lakukan dengan menyamakan posisi saya dengan David sebagai orang yang berasal dari Timur Indonesia, sehingga dalam pikirannya terlintas kesamaan tempramen, sikap, serta gaya bahasa antara kami berdua. Posisi mentalitas saya dan dia pun mulai seimbang, walaupun nampak dari luar sangat kontras. Postur badannya berisi dan tinggi sangat tidak seimbang dengan kulit saya yang sedikit lebih terang dan badan kurang berisi. "Oh gitu ya." akhirnya David membalas. "Duh.... Gimana ya mas ya." lanjutnya mulai kebingungan. Di sini, saya memanfaatkan kegelisahan perasaan David untuk memposisikan diri kami berdua lebih dekat secara emosional, kalau bisa ia menganggap saya sebagai teman. Saya menyentuh siku lengannya yang sebelah kiri. Sambil mengajaknya terus berbicara, saya berusaha mengendalikan keadaan. Saya melanjutkan "obrolan-obrolan ringan" tadi sambil tersenyum-tersenyum menunjukkan keramahan dan kedekatan. Akhirnya David pun merespon lebih tenang dari sebelumnya. Ia pun membalas percakapan dengan menceritakan bahwa beberapa temannya ada juga yang tinggal di kontrakan sekitar kost saya di Pugeran. Mereka kuliah di UPN, ternyata beberapa dari mereka David kenal. Dan, saat itulah saya langsung tahu bahwa saya akan berhasil membawa Jessica keluar dari sana. Lalu David kembali terdiam. "Gini mas. Gimana kalau dibawa pulangnya besok aja?" Ia masih ngotot, ternyata. "Wah, maaf Mas David. saya harus bawa dia pulang malam ini. Kalau tidak, saya bingung harus bilang apa ke tantenya. Saya yang dikasih tanggung jawab ini." Ia masih terdiam. Nampak berpikir keras. "Mas David," saya kembali berusaha mencairkan suasana. "Saya ngerti. Hal-hal kayak gini gak gampang. Saya juga ngerti Mas David udah berusaha keras buat bisa ngelakuin hal ini. Tapi tolong jangan Jessica. Saya udah anggap Mas David teman buat saya, dan saya tadi langsung tahu bahwa Mas David sebenarnya orang baik." "Iya makasih Mas." ia tersenyum , mulai terbuai. Ia sesekali menengok ke arah dalam kamarnya, tempat di mana Jessica terdiam dan tak berani ke luar. "Tapi gimana ya...." Ia kembali menggaruk-garuk kepala. Nampak ia hampir mengalah. Saya tersenyum lagi. Saya mengambil posisi berdiri lebih dekat di sampingnya, lalu kemudian menepuk punggungnya. "Saya ngerti, Mas. Kita sama-sama masih muda. Hal-hal kayak gini emang biasanya bikin bingung. Tapi saya janji saya bisa jaga rahasia ini. Saya anggap kita teman. Jadi saya nggak harus lapor ke siapa-siapa." Di sini, hatinya benar-benar luluh, menyerah. "Ya udah, mas. Gimana kalau begini." ia akhirnya mulai mengarahkan. "Mas tunggu dulu aja di jalan itu...." ia menunjukkanku ke sebuah tepi jalan di depan kompleks kantor BPTP. "Lima menit lagi saya antar dia ke sana. Tapi tolong jangan di sini mas jemputnya. Saya ngga enak." Saya mengerti maksudnya, mungkin ini "perbuatan" pertama yang dilakukannya. Ia tak mau warga sekitar kontrakan itu mencurigainya macam-macam, walaupun pada kenyataannya ia sudah bertindak kelewatan. Untungnya, suasana kampung itu nampak gelap karena listrik padam, Entah mengapa hanya rumah kuning itu yang lampunya tetap menyala. Saya menuruti permintaannya. Setelah sekitar lima menit menunggu di pinggir jalan yang dimaksud, saya sempat ingin memutar kendaraan dan berbalik arah ke gang menuju rumah kontrakan itu lagi. Namun belum beberapa meter saya mengendarai motor, David sudah membonceng Jessica ke arah saya. Badan david nampak tidak seimbang dengan motor bebek kecil yang dipakainya. Di belakangnya Jessica nampak syok, hanya bisa tertunduk dan menutupi wajah dengan rambut dan tudung jaketnya. Jalanan itu lumayan ramai oleh warga sekitar yang beberapa masih beraktivitas. Setelah menurunkan Jessica, saya langsung menghampiri David dan menjabat tangannya sekali lagi, tanda terima kasih. Lalu menepuk punggungnya sekali lagi, lalu berkata, "Titip salam buat teman-teman di kontrakan ya. Bilang saya minta maaf sudah mengganggu malam-malam." kata saya. Setelah itu dengan hanya bisa mengangguk-ngangguk David memutar kendaraannya dan menghilang ke dalam gang tadi. Suasana benar-benar sudah terkendali. Singkat cerita sejak itu, saya berhasil mendapatkan Jessica, mengajaknya untuk tenang sebelum menceritakan fakta-fakta yang untungnya belum begitu merugikan dirinya. Ia akhirnya mengerti pesan saya untuk tidak begitu saya mempercayai perkataan orang. "Termasuk saya juga, lho!" begitu saya sempat menjelaskan juga padanya. Cerita selesai. *** Ada beberapa hal yang dicetak tebal di atas saya maksudkan untuk menunjukkan strategi-strategi yang bisa digunakan untuk memenangkan negosiasi yang bersifat sangat dekat dan sensitif seperti ini. Saya yakin ada teori khusus yang menjelaskan ini, bisa dipelajari di Neuro-language Program (NLP) yang saat ini sudah lazim dipelajari orang-orang akademis dan bisnis. Saya hanya akan menerangkan sedikit apa yang saya tahu, berdasarkan petunjuk Pak Guru saya serta pengalaman pribadi. Mulai dari deskripsi yang dicetak tebal dari awal tulisan, berurut-urut saya jelaskan poin-per-poin sbb:
- "Pandangan saya menyasar ruang sempit di antara dua alis" - sikap pengendalian ini biasa dimanfaatkan juga dalam wawancara kerja, proses negosiasi bisnis, dan interogasi kasus kriminal. Menurut apa yang pernah disinggung Pak Guru saya, memfokuskan pandangan ke pada bagian sempit antara dua alis lawan bicara sejak awal pandangan akan langsung mematok kekuatan Anda sebagai orang yang serius dan tak mau bertele-tele apalagi bermain-main. Jika dilakukan, maka bagi lawan bicara akan terpancar rasa gentar dan penurut.
- "Menyentuh siku lengannya" - Gerakan strategis menyentuh lengan lawan bicara saat berjabat tangan atau sesekali saat mengobrol ringan akan mengirimkan kesan keakraban dan kesamaan status serta pandangan. Hal ini berlaku bagi siapa saja, termasuk orang yang baru pertama kali kita kenal. Saat lengannya disentuh (saya sering mengalaminya sendiri) seseorang akan merasa diperhatikan secara khusus, dan dianggap dekat. Perhatikan jika presiden-presiden ternama dunia saat berjabat tangan dalam sebuah pertemuan formal, nyaris selalu menyentuh lengan mitranya saat tangan mereka saling berjabat erat. Ini semakin mencairkan suasana jika ditambah tindakan no. 3 berikut.
- "tersenyum lagi" - Tidak dipungkiri sejak teori-teori klasik, bahwa sikap tersenyum ringan selalu menandakan terbuka, dan siap menerima isi hati seseorang untuk diungkapkan dalam pembicaraan. Keramahan yang ditunjukkan melalui senyum nyaris selalu berhasil mendorong seseorang untuk melepaskan ketegangan dan rasa sinis. Malam itu, senyuman saya ternyata membuatnya semakin rileks dan mau berbicara dari hati-ke-hati. Luar biasa.
- "Menepuk pundak" - Tepukan ringan dengan telapak tangan terbuka pada pundaknya akan memberikan perasaan didorong dan dimotivasi bagi seseorang. Lihat saja pelatih yang disenangi oleh tim sepakbolanya, tanyakan, apakah ia sering menepuk punggung anggota timnya, atau sekedar menyentuh pundak anaknya yang terlihat sedih dan gundah. Atau, tindakan seorang pacar yang menenangkan pasangannya di saat terisak-isak menceritakan "curhatannya". Tindakan ini sederhana namun bisa membalikkan keadaan hati seseorang dari rival, menjadi pal (teman). Dalam cerita di atas, saya mengulang tindakan menepuk pundak ini saat pada percobaan pertama belum bisa sepenuhnya mencairkan suasana hati David.
Kiranya itu beberapa poin yang menjadi inti dari tulisan ini. Terlepas dari ceritanya yang sangat dramatis, saya ingin berbagi sedikit pengetahuan yang pernah saya dapatkan tentang mengendalikan komunikasi interpersonal, khususnya dalam situasi yang sensitif. Saya bersyukur bisa melewati malam itu dengan tidak terlalu banyak tantangan. Jujur, saya pun sudah menyiapkan diri untuk situasi yang terburuk kalau-kalau saya harus bergelut fisik di rumah itu, atau mengadapi senjata yang mungkin disiapkan lawan bicara saya. Saya tidak menuliskan dalam cerita di atas bahwa selama berbicara saya membawa serta helm fullface saya di salah satu tangan dan sebuah benda kedil tersembunyi di dalamnya. Syukurlah, saya tak perlu menggunakan benda-benda itu. Berkat pola komunikasi yang tenang, strategis, dan akrab, hal-hal berbahayapun bisa dikendalikan. Memang, perlu diadakan gambling dalam hal ini, akan tetapi jika yakin, maka beberapa strategi "Menguasai Lawan Bicara" di atas bisa membantu. Terima kasih sudah membaca agak lama, memang panjang tulisan ini karena saya berusaha menjelaskan fakat-faktanya sejelas mungkin. Semoga bermanfaat.
[caption id="" align="aligncenter" width="373" caption="Obama dan rival kampanyenya, McCain. (AFP)"][/caption] nb: saya tidak tahu harus memasukkan tulisan ini dalam rubrik apa: prosa, kriminal, humaniora, atau muda. Namun biar tidak terlalu lama, saya pilih sosbud saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H