[caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Florence Sihombing saat misuh-misuh di SPBU Lempuyangan, Yogyakarta dan terekam kamera wartawan, Rabu (27/8/2014) | Tribun Jogja/Hendra Krisdianto"][/caption]
Mudah dipahami bahwa kemarahan seorang Florence (atau Florencje?) Sihombing bisa jadi berlatar budaya/masa kecil, pendidikan keluarga, atau pergaulan. Orang-orang generasi Y kalangan menengah yang akrab dengan media sosial dan teknologi informasi terbaru punya risiko lebih besar ketika berekspresi “sebebas mungkin” di jejaringnya. Mereka terbatas pada zona dan komunitasnya sendiri, dan cenderung berjarak dengan lingkungan dunia nyata yang penuh aturan lama dan baku.
Hanya saja, tindakan Florence yang marah-marah seakan cenderung tidak sopan-santun di SPBU Lembuyangan Rabu (27/8) lalu tidak bisa serta-merta dimaklumi sebagai “kegalauan batin” ketika terjadi di tanah Yogyakarta. Selama bertahun-tahun mengamati kota ini, saya mengira bahwa tindakan ala-ala “Florence” yang mungkin di kota atau bagi orang kota lain terdengar wajar dan dapat dimaklumi, menjadi begitu sensitif bagi warga Yogya.
Ada dua alasan.
Pertama, Orang-orang Yogya, atau yang akrab dengan kehidupan Yogya minimal dalam kurun waktu tertentu, terbiasa dengan atmosfer kota ini yang teduh, sejuk (walaupun belakangan ini udaranya pengap dan polutif), dan bersahaja. Nilai-nilai Ojo Kesusu, SEGORO AMARTO, dan Atine Apik lanjur lekat bagi kehidupan Orang Yogya yang secara mendasar mengadopsi karakter Jawanisme yang kental. Dalam filosofi Jawa, bahkan kemarahan bisa diungkapkan dengan diam, serangan senyap, atau meja runding sebagaimana tercatat di banyak babad sejarah.
Nilai-nilai dasar Kebudayaan Jawa inilah yang kemudian memengaruhi cara pandang, tindakan, dan cara hidup banyak pendatang yang datang, baik merantau ataupun yang akhirnya menetap di Yogya. Keraton dan Kesultanan adalah struktur kekuasaan yang diwakilkan pada karakter orang kebanyakan, dan menjadi pusat semua keteladanan sosial yang juga merembes ke bentuk pemerintahan lebih kecil, termasuk RT/RW.
Di Yogya, siapapun yang menyinggung kekuasaan Keraton/Kesultanan (sebagaimana terjadi ketika Pemerintah Pusat dianggap menyusahkan ketetapan Sultan HBX dan Pakualaman IX lewat UU Keistimewaan), maka dianggap akan berurusan dengan warga Yogya secara kolektif. Di tatanan lebih rendah, pada dasarnya orang Yogya tidak suka didikte cara hidupnya, apalagi diteror dari zona nyaman.
Kasus lain bisa dilihat dari dikecamnya reporter TV One ketika salah menyampaikan berita erupsi Gunung Merapi pada Desember 2010 lalu. Atau ketika RCTI lewat program gosip Silet dianggap menyebar fitnah dan berita sesat terkait bencana yang sama, dan meresahkan warga pengungsi waktu itu. Feni Rose sampai berhenti membawakan acara gosip. Kedua stasiun televisi tersebut dipaksa publik Yogya untuk meminta maaf secara terbuka kepada warga Yogya. Untuk selanjutnya, stasiun televisi manapun diminta lebih berhati-hati ketika meliput isu yang menyangkut taraf hidup Orang Yogya secara umum.
Alasan kedua mengapa kasus “Florence” begitu sensitif bagi warga Yogya, adalah karena selama tiga-empat tahun terakhir kota Yogyakarta dan sekitarnya diserang ketidaknyamanan pembangunan. Kenyamanan hidup orang Yogya nyata terusik tidak cuma secara mental (dengan kepadatan lalu lintas, konflik horisontal berbau SARA), tetapi juga secara fisik. Hotel-hotel, kondotel, apartemen, mal baru dibangun secara masif di kota Yogya pasca walikota berganti baru. Meskipun moratorium penerbitan izin bangun hotel diterbitkan oleh Pemkot pada Januari lalu, nyatanya hingga saat ini setidaknya ada 110 izin kadung diproses dan puluhan unit bangunan megah akan menyesaki kota Yogya dan Sleman dalam tahun-tahun mendatang.
Di Kulonprogo, saat kunjungan survei bandara baru beberapa waktu lalu, saya dapat komentar dari warga kecamatan Glagah (yang diperkirakan berdampak/akan digusur) begini. "Pada dasarnya tidak ada yang senang diganggu hidupnya yang tenang, Mas." Rencananya, pada akhir tahun ini wilayah beberapa dusun di sekitar Glagah dan Temon mulai didatangi mobil-mobil proyek mega-bandara Angkasa Pura tersebut.
Mudah menemukan komentar-komentar bernada negatif Orang Yogya terkait menjamurnya hotel-hotel baru, baliho-baliho yang mengotori bak sampah, pengemudi-pengemudi plat luar yang seenaknya melanggar lampu merah atau bertindak arogan di jalan. Foto-foto capture tingkah polah orang pendatang di Yogya tersebar dan mudah dibincangkan.
Muncullah kalimat-kalimat semacam “Yogya tak Lagi Nyaman”, atau “Yogya tambah sesak”. Meskipun, latar dari apa yang terjadi saat ini bukanlah salah orang-orang yang datang ke Yogya. Padahal mereka tidak mengerti saja, menyamakan Yogya dengan kota besar lain. Bahkan mantan wali kota Herry Zudianto pada Kamis (29/8) malam lewat Twitter memuat sebuah cuplikan foto komentar warga yang menyindir Yogya sebagai “Jogja secara fisik remuk – Yang membuat saya betah di Yogya adalah manusianya.”. Respon Herry sederhana dan seperti orang Yogya kebanyakan, “Semoga ke depan Yogya tetep Ngangeni”.
Kasus arogansi seperti “Florence” hanya satu dari yang lainnya saja. Mungkin pada saat yang sama Florence Sihombing menunjuk-nunjuk di SPBU Lempuyangan, di bagian lain Yogya terjadi juga hal yang sama, orang pendatang yang bertindak arogan dan tidak tahu nilai-nilai kesantunan yang tidak ditemui di kampung asalnya. Melanggar lampu lalu lintas, membunyikan klakson seenaknya, corat-coret, menyampah di tempat publik, atau tertawa bahak di tempat tidak seharusnya.
Adalah tidak tepat juga menggeneralisir bahwa setiap orang luar di Yogya itu arogan, atau setiap kendaraan plat B (misalnya), nakal di jalan. Tidak tepat pula menggeneralisir bahwa latar pendidikan, kampus, ataupun asal suku merupakan suatu yang layak dikait-kaitkan dengan tindakan seorang individu yang ceroboh.
Pada dasarnya orang Yogya bukan anti-pendatang ataupun ingin mengusir-ngusir. Wewenang mengusir pendatang hanya ada pada Sultan lewat ketetapan khusus, sebagaimana pada kasus pertikaian sekelompok Ambon dengan Sulawesi, beberapa tahun silam. Hanya, jika ingin memahami peribahasa Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, tidak sulit bagi siapapun untuk menghargai nilai-nilai masyarakat yang ada di tempat yang dikunjungi.
Orang Yogya berbeda dengan kota lain karena mereka hidup dengan Nilai Jawa, Kesultanan yang berdasar sejarah Pengislaman, dan Nilai-nilai kolektivisme yang “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Orang-orang di Yogya tidak begitu akrab dengan dinamika dunia bisnis, arus orang di jalan, atau lingkungan serbasibuk sebagaimana di Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Orang-orang Yogya tidak menuntut target hidup yang terlalu muluk-muluk atau kelewat tinggi sampai harus saling sikut. Orang-orang Yogya juga tidak gila popularitas. Di Yogya bisnis, pariwisata, dan arus migrasi manusia malah jadi masalah baru bagi nilai-nilai lokal yang berusaha bertahan di tengah gempuran isu dan berita.
Sebuah komentar di berita “Florence” Kompas.com sore ini oleh pembaca dengan nama Sutikno Teguh menggelitik. Ia menuliskan,
“Hukum adat jauh lebih berkualitas dibandingkan duniawi. Ga usah sekolah hukum tinggi-tinggi kalau belum mengenal adat-istiadat Indonesia.”
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H