Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kadek

21 Desember 2014   18:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:48 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

TAK TERHITUNG berapa kali sandal karet bertali rafia menapak jalan ini. Melangkah-langkah cepat memercik banyak genangan. Sarung berlilit ke pinggang juga serupa pusaka, tempat parang bersarung cendana diselip serta guna menyelesaikan tugasnya. Makdim Luntung menaruh tangan kirinya di pucuk sajamnya, sementaraa tangan kanannya menahan caping yang bergetar-getar melindungi kepalanya dari terpaan angin. Badai akan menerpa Kampung Bontoduri tiga jam jelang malam ini, membersihkan pepohonan dari parasit di daun-daunnya yang meraung-raung. Makdim Luntung membelah jalan saat orang-orang berlindung di balik dinding-dinding dan dipan-dipan. Kepalanya tertunduk-tunduk tapi matanya tajam menusuk. Ia sudah lama menunggu hari ini. Waktu pas untuk menuntaskan mimpi-mimpi dan pikiran yang mengganggunya.

Laki-laki limapuluh dua ini sebentar lagi punya hajat. Jemawanya akan terbang mengelilingi kampung. Harga dirinya takkan lagi serupa petani kakao yang hasil panennya lesu digerogoti ulat. Wajahnya akan semakin berseri-seri membayar duka ditinggal istri. Sebentar lagi ia memertuai gadis paling berharga di Bontoduri, andai kabar pahit semalam tidak datang tiba-tiba. Gadis itu membatalkan rencana, sementara alasannya tidak dapat dibenarkan. Arsyad, putranya yang sekaligus calon pengantin, terus mengurung diri dan tak mau makan. Kebanggaan muda yang tersebar terlalu berat untuk menerima kenyataan. Makdim Luntung naik pitam. Penghinaan besar telah menampar wajahnya. Mimpi-mimpi indah menjadi mertua urung jadi nyata. Angkasa birunya terselimut kabut secara tiba-tiba. Maka ke sanalah ia di sore buta di bawah gemuruh guntur dari langit yang murka, menyelesaikan piutang dan kehormatan yang terluka.

**

12 Februari, 1995.

Awan putih menggulung-gulung di atas pelabuhan Tanjung Perak. Kru muda pemrakira cuaca dari kantor syahbandar melaporkan potensi hujan sedang hingga berat berlangsung mulai sore. Samudra Hindia mungkin agak riuh, tetapi kapten KM Labuhan percaya diri tetap pada jadwal. Pengalaman puluhan tahun mematangkan kepercayaan dirinya. Pemandangan dari terminal hingga kursi dek kapal serupa potret ironi yang dibumbui komedi. Administrasi yang buruk dan mental petugas yang korup memaksa seribu seratus lebih penumpang berdesakan melebihi kemampuan geladak. Saling pamer seberapa berat bawaan dan seberapa ramai rombongan. Bayi-bayi menangis karena udara panas dan mainan-mainan yang hilang. Belasan lelaki legam berebut setoran jasa panggul, saling teriak dalam dialek suku yang jauh berbeda. Sementara satu-dua lansia melambai-lambai di pembatas tepian, terisak karena mengira tidak akan pernah kembali ke tanah Jawa. Klakson raksasa meraung dan keempat mualim mulai sibuk memonitor setiap indikator tekanan di kamar anjungan. Lambung apung itu--seperti biasa--mengatrol jangkar setengah jam terlambatnya, tapi tak pernah ada keluhan. Paruh awal pelayarannya secepat 25 knot cukup tenang dan menyeduh rindu.

Di dek C tempat para pemilik uang mendekam di dalam “ruang kekuasaan”. Kamar-kamar milik awak disewakan untuk yang bersedia bayar lebih dan merasa terlalu bersih untuk menggelandang di bawah terpaan angin. Televisi berpendar-pendar dengan saluran film yang tidak bisa diganti. Dangdut radio memberontak dari banyak sudut. Di kursi yang paling dekat dari jendela, Misbah Hamid terantuk-antuk. Kepalanya menggantung naik-turun seperti boneka anjing di dasbor Kijang. Di tengah mimpinya bertemu amoy di tepian sungai Singkawang, antukan keras membangunkannya. Kepalanya nyeri karena benda tumpul yang panas. Sekeluarga itu--orang tua dengan satu anak sulung seumuran SD dan satu bayi gemuk, yang lalu mengaku tidak sengaja menyenggolnya dengan botol susu, lalu meminta maaf.

Mereka kemudian bertukar cerita. Keluarga itu dari Buleleng, dan berangkat dari Gilimanuk. Kebetulan mereka sama tujuan di Pare-pare, tetapi satunya pindah berdagang sementara Misbah Hamid menjual dalih “urusan keluarga”, menyembunyikan berbagai tato dan bau miras dari tubuhnya. Kecuali wujud basa-basi, keakraban di atas kapal sering kali terjalin karena rasa senasib-sepenanggungan, bertukar cerita tentang usaha, masa lalu, kerabat yang mungkin dikenali, bahkan anak-anak. Misbah merasa keluarga Bali ini tidak terlalu berbahaya baginya, terlebih keberadaan bayi cantik bermata besar yang selalu ingin tertawa. Mereka cepat akrab sampai tiap-tiapnya dikuasai lelap.

Akan tetapi, nostalgia bahari tak selalu seindah lukisan. Pukul duapuluh tiga waktu perairan Selat Makassar, kapal bergoyang hebat. Misbah Hamid berat membuka matanya dan menyadari lampu-lampu neon berayun-ayun. Tak berapa lama, terdengar dari pengeras suara perintah evakuasi. Ikuti petunjuk petugas, dan mohon teratur, demikian perintah kapten. Akan tetapi kepanikan tak terhindarkan. Tersiar kabar bahwa mualim keliru mengatur kecepatan dan besaran derajat arah haluan. Dengan sekali hantam, ombak membalikkan KM Labuhan. Hanya belasan sekoci yang berhasil diturunkan, sementara ratusan orang sudah meronta-ronta di permukaan air. Di tengah lautan manusia yang mengapung, para petugas kapal berusaha mengirim pesan SOS untuk terakhir kali, sebelum mereka ikut terjun. Cerawat suar terakhir ditembakkan ke udara begitu ujung kapal perlahan menghilang. Entah berapa puluh yang terhisap pusaran air saat raksasa samudra menuju dasar. Di tengah raung-raungan minta tolong, Misbah Hamid berusaha menggapai apa saja sebagai pelampung. Ada papan lemari, ada kereta bayi, bahkan koper kayu yang dengan cepat terseret gelombang.

Di tengah upayanya menggapai udara, Misbah Hamid kelelahan hingga tertidur. Mimpi-mimpinya terseret gelombang tak tentu arah.

**

Di bawah atap rumbia ia membuka mata. Mengulang mimpi yang tak sudah-sudah. Meski bukan kali pertama ia merasa terombang-ambing masa lalu, mimpi barusan membuatnya sampai berkeringat. Muak menyesali dan lelah mengingat. Bau dan gerah menggerayangi leher hingga keningnya. Saat terdengar gedoran keras dari pintu depan, Misbah Hamid menyambar kelewang lalu melompat keluar kamar. Selipan kertas jimat dimasukkannya ke kopiah yang ditenggerkannya ke kepala begitu saja. Hari penentuan yang dikiranya masih jauh, akhirnya tiba juga. Ia sendiri menyambut tamunya, dengan kepalan membatu dan kuda-kuda terkukuh.

“Sudah kunyana kau akan kemari, Makdim Luntung.”

“Mestinya kau juga sudah menduga apa yang akan kutagih, Misbah.”

Tamu itu berdiri tegak dengan tangannya siaga di gagang bilah. Bulir-bulir peninggalan hujan mengalir dari pundak dan lengannya hingga pecah di lantai ambang. Guntur menyalak tanpa ampun di atas sana, mengilapi menakutkan di kedua mata. Detak jantung meninggi serima bara dendam yang memuncak di ubun-ubun. Tak berapa lama setelah jenak keheningan yang muram, bilah parang akhirnya bergesek keluar.. perlahan-lahan dan memantulkan cahaya berkilau.

“Berani sekali kau menghinaku dengan cara seperti itu.”

“Menghinamu? Tugasku hanya melindungi anak gadisku dari perkawinan yang belum waktunya.”

“Belum wak….” Makdim Luntung geram bercampur geli. “Apa yang kau tahu tentang waktu, hah? Apa kau tahu bagaimana perasaan dua muda-mudi yang saling mencintai? Anakku mencintai Kadek, putrimu.”

Misbah tertawa leceh.

“Makdim yang malang… apa benar Kadek mencintai putramu?” Tiba-tiba kalimat tuan rumah itu membungkam mulut Makdim. Kendali berpindah, jelas tuan rumah menyimpan sesuatu, dan hawa di hati Makdi jelas semakin panas, nampak dari matanya yang bertambah merah dan mulutnya yang mengeletuk. Menikmati berada di atas angin, tuan rumah balik menyerang. “Pernahkah mereka mengaku saling cinta? Pernahkan Kadek, di depan matamu, mengaku mencintai Arsyad, langsung? Aku yakin tidak, Makdim. Kenapa? Karena aku tahu apa yang telah dan akan dikatakan Kadek… ya anakku. Dia akan mengatakan apa yang seharusnya ia katakan, terutama soal…”

Parang disarungkan kembali dengan cepat. Makdim Luntung melemaskan pundaknya dan melangkah beberapa kali ke belakang dengan agak hormat. Di sisi lain, Misbah harus menjelaskan ke anak perempuannya yang kini sudah berdiri di depan pintu kamar. “Bapak, sudahlah, Bapak!” pinta Kadek kepada bapaknya. “Dia tamu kita, bapak. Jangan baku bunuh!”

“Nak, Kadek. Pak Makdim ini coba memaksamu….”

“Siapa bilang aku memaksa?” Makdim Luntung mengancam lagi dengan mengantukkan parangnya ke pintu. “Mungkin kehadiranku begitu jelas bagimu, Misbah. Asal kau saja… penolakan putrimu ini terhadap pernikahannya dengan putraku sebetulnya bisa kuterima. Aku tahu dia takut padamu, jadi dia tidak kepingin mengambil risiko terlalu jauh sewaktu putraku menanyakannya. Tapi di balik ini semua, aku mencium gelagat anehmu, Misbah. Kau seperti orang yang lupa telah berutang pada seorang teman lama.”

“Cih! Siapa yang teman lama…? Utangku tidak seberapa dibandingkan ancaman masa depan yang kutaruhkan jika Kadek harus menikah dengan putramu. Ini… ini. Kau bisa langkahi mayatku dulu.”

“Bapak!” Kadek menyergah, tetapi seakan itu tidak ada apa-apanya berpengaruh di antara dua tetua yang beradu sisa logika diselimuti harkat.

“Ha-ha-ha!” Makdim Luntung memegang perutnya seraya melepaskan gelak melewati rongga mulutnya yang menghitam terbuka. Rusak-karang bekas pembakaran rokok dan residu minuman keras jelas kelihatan di banyak bagiannya. “Misbah… Misbah….” Ia lalu menggeleng. “Jangan kau banyak berburuk sangka dengan menduga aku kemari untuk pertumpahan darah. Ya… melihatmu mati atau menderita mungkin aku senang-senang saja, tapi membunuhmu… tidak, tidak. Aku bodoh tapi tidak sebodoh itu. Kepalaku masih ada sisa ruang untuk kebaikan. Tidak seperti kau yang bertahun-tahun menyembunyikan hal penting dari putrimu sendiri?”

“Menyembunyikan?” Misbah menyergah.

“Hal penting? Bapak, sebenarnya ada apa ini?” Kadek ikut mendesak.

“Ha-ha-ha. Ya ya. Nak Kadek, pernahkah nak Kadek bertanya bagaimana masa muda bapak Nak Kadek? Bagaimana… semua cerita ini berawal… lebih-lebih, bagaimana ia mengangkatmu sebagai anaknya?”

“Angkat anak? Apa…” Kadek menggeleng keras, melihat antara bapak dan tamunya yang sama membingungkannya. “Bapak… Apa sebenarnya yang…”

“Misbah… aku  beri jalan keluar. Kau anggap saja kita impas, dan utang-utangmu lunas. Berapapun, aku anggap lunas! Tapi… kau harus restui putrimu menikah dengan anakku. Adil, ndak, kalau begitu?”

“Kurang ajar!”

Makdim Luntung tidak bisa mengalahkan waktu sepersekian detik, tiba-tiba matanya sudah tertutup sendiri saat tubuh pendek itu melompat menyergapnya. Misbah Hamid sudah menindihnya saat tubuhnya rebah ke pintu dan terdengar jeritan dari sang putri semata wayang. Dua tubuh kekar bergulat di kaki kursi, parang tertarik keluar lalu masuk lagi, diperebutkan, mereka terguling-guling. Misbah yang geram menahan cengkeramannya di leher lawan, sementara Makdim meronta-ronta dengan tendangan lutut, pukulan tangan, dan hentak-hentakan kepala. Tenaga jelas tidak berimbang, tapi otot-otot kecil yang didorong amarah bisa berlipat-lipat kekuatan melewati batasnya. Ketakutan dan histeris, Kadek berusaha melepaskan ayahnya sebelum satu dari mereka terbunuh. Akan tetapi usaha itu gagal. Kadek terhempas ke belakang dan tersandar di dinding kamar, menangis dan memohon agar kekerasan ini terhenti.

Makdim Luntung nyaris kehilangan napas dan mulai tersengal, saat akhirnya ia menyadari kemenangannya yang tersembunyi. Dengan sekali gerak ia melepas tangan kanannya dan membiarkan cekikan masuk lebih dalam. Ia angkat perutnya, menyelipkan tangannya ke bawah punggung, meraba lantai, kemudian dengan sekali hujam membuat lawannya berteriak. Misbah Hamid melepaskan cekikan, menarik diri ke belakang, terjatuh. Darah mengucur deras dari lengan kirinya, tertembus bilah belati yang berkarat. Sementara berhasil membalikkan keadaan, Makdim Luntung berdiri meraih parangnya yang kemudan ia hunus, dan pasangkan ke leher lawannya.

Titik di mana tak ada jalan kembali. Misbah tertunduk lemas. Parangnya sendiri sudah menghilang entah ke mana. Pertarungan telah usai dan ia kalah. Tinggal matanya melotot tinggi sementara posisi duduknya makin rendah ke lantai. Kadek menghambur memeluk bapaknya, menutupi luka dengan kain seadanya. “Sudah, sudahlah, Pak. Serahkan saja semuanya. Serahkan saja saya!”

Mendengar isak tangis anaknya ternyata jauh lebih pedih dari luka tusukan sajam. Makdim mengaku kalah dan meminta maaf, tergopoh meraih kursi dan merintih karena harga diri. Pasrah pun ia akhirnya bercerita, sembari waspada jikalau tamunya bisa membunuhnya kapanpun.

“Maaf, anakku,” ujarnya. “Kalaupun aku tahu seberapa cintanya kau pada Arsyad, aku tetap tidak merestui hubungan kalian berlanjut.” Misbah mengatur napas terengah-engah, rasa panas seperti pasir merayap di bawah kulitnya saat darah belum berhenti. “Seperti sering kubilang… Ini semua soal sebuah cerita. Cerita mimpi. Kau harus dengar sesuatu, dan mungkin seusai ini semua, aku bisa mati dengan tenang.”

“Tidak, Bapak. Tidak! Bapak tidak akan mati! Pak Makdim, tolonglah. Sudahi saja ini. Saya bersedia menikah dengan Arsyad, tapi tolong jangan sakiti bapak.”

Mendengar hal itu Makdim bersimpati. Ia masukkan parangnya ke sarung lalu mendekat menenangkan keadaan. Tanpa kata, tanpa irama. Begitu saja ia malah menyerah pada rasa pasrah si gadis yang dihormatinya. Sementara Misbah, menarik lengan anaknya menjauh dari sang tamu, mendudukkannya dengan posisi baik agar kata-katanya dapat terdengar jelas.

“Ini semua salah bapak, Nak,” aku Misbah. “Sejak awal, bapak sudah bersalah atas dosa-dosa di masa lalu. Kalau kau masih ingat cerita soal kapal tenggelam dan ‘keluarga yang bapak tolong’…, pasti akan lebih mudah memahami. Kisah kapal tenggelam itu menyimpan banyak rahasia. Satu rahasianya bapak tidak sengaja ceritakan kepada orang ini berbulan-bulan lalu. Rahasia bahwa…”

“Bahwa apa?”

“Bahwa kau bukan anak kandungnya, Nak.” Makdim Luntung mengambil alih jawaban. “Keluarga yang bapakmu tolong itu, keluarga Bali, yang jadi korban kapal tenggelam, menitipkanmu dengan nama Kadek kepada orang Sulawesi yang dikenalnya di dek. Dan inilah, aku yakin bapakmu tidak pernah cerita apa dan darimana asalnya arti namamu. Kadek, yang artinya ‘anak kedua’ atau ‘adik’, bukan nama biasa di kampung seperti ini.”

“Tapi… bapak…?” Kadek memohon  bahwa apa yang didengarnya bukan kebenaran. Tapi anggukan pembenaran dari bapaknya seperti telah menjawab semua.

“Cerita ini tersimpan lama...."

**

Gelombang tinggi cepat menyebarkan apung-apungan korban. Orang-orang berteriak dan menangis meminta pertolongan dari Tuhan. Saat Misbah Hamid akhirnya tersadar di atas apungannya, sesosok tubuh mendekat dengan sisa kayu yang menyangga, menarik keranjang yang berisi bayi mungil tak tahu apa-apa. Misbah mengenali wajah itu, seorang istri Bali yang menyerah pada keadaan.

“Tolong jaga anak saya, Pak. Tolong jaga anak saya,” demikian pinta perempuan itu. “Semua orang akan mati, ini kuasa Hyang Kuasa. Tapi saya ingin anak saya tetap hidup, melihat dunia yang kami cintai.” Misbah yang merasa tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri, akhirnya hanya berjanji sebisanya. “Kami titip nama anak kami ‘Kadek’, artinya ‘yang kedua dan yang tercantik. Tolong besarkan dan temui pengurus warisan kami. Suksma, semesta akan membalas.”

Saat sosok itu hanyut pergi tak bernyawa lagi, di situlah ia dengan keranjang bayi itu. Wajah balita gemuk yang memandanginya penuh cinta dan harapan.

**

Misbah menghela napas sesak. "Orangtua kandungmu menyimpan warisan yang jumlah dan tempat persisnya cuma bapak yang tahu. Mereka juga berpesan kalau kau tidak akan kunikahkan kepada siapapun, pindah ke keluarga manapun, sebelum warisan kedua orangtuamu itu kau dapatkan nak, yang harusnya baru kau terima di umur dua puluh. Tahun depan harusnya… Sementara orang ini…”

“Oh, aku hanya menyimpan rahasia yang tak sengaja dibocorkan.” Makdim menyanggah tuduhan yang urung dilayangkan. “Bapakmu menceritakan kebenaran ini sewaktu kalian mau bangun rumah dan nak Kadek mau ujian di sekolah. Uang tujuh juta tentu lumayan banyak kalau kau pinjam dan aku menyimpan rahasia dari putrimu, Misbah. Pada dasarnya aku orangnya tidak tega merusak kehidupan orang, tetapi mendengar kau menolak begitu saja pinangan putraku, oh… aku cuma berpikir ‘orang ini lupa pada utangnya’. Dan lalu, di sinilah aku… mengingatkanmu bahwa kita masih ada urusan.”

Sisa kilat terakhir menyambar saat langit mulai menampakkan wajah aslinya yang lebih terang. Adzan magrib berkumandang seiring bulir-bulir hujan tersisa menetes dari ujung-ujung daun di kebun belakang rumah. Malam menggeliat mengganti kehidupan, tetapi di ruang tamu itu, kelabut badai masih menggantung. Setidaknya, serupa penyesalan yang menyesakkan dada Misbah Hamid. Ia terjatuh ke lantai dan lantas berlutut sesengukan. “Aku tidak tahan, Nak. Semua ini salahku. Semua ini salahku. Sejak awal aku adalah pendosa dan… kesempatan di kapal tenggelam itu kukira jalan keluar bagi kehidupanku yang antah-berantah.” Tersedu-sedu dan terisak seperti anak kecil yang dihukum bumi.

Misbah Hamid merasa dirinya pelan-pelan kembali tenggelam, kembali mengapung di antara puing-puing KM Labuhan puluhan tahun lalu. Makin sedih ia saat mengingat wajah ceria keluarga Bali yang menyambutnya dengan tangan terbuka, dan memohon padanya saat meregang nyawa. Dalam berdekade episode hidupnya yang ini, cerita perihnya mengalir deras di dalam darahnya, terlebih saat melihat bulir air mata juga berjatuhan dari pipi Kadek, putrinya. Sisa-sisa lain hidupnya telah berserakan di jalan-jalan berdebu dan mimpi-mimpi yang mengiringi badai.

--------------------

Sumber ilustrasi: highway28.blogspot.com/Flickr.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun