[caption id="attachment_140770" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Waspadai modus baru peminta-minta ini. Meski sebagian orang menamakannya "pengemis" bagi para pelakunya, saya dalam hal ini menggunakan istilah peminta-minta. Hal itu tidak lain karena memang pada dasarnya mereka meminta dengan cara yang lebih halus, nyaris meyakinkan, dan nominalnya mereka tentukan sendiri. Ini adalah modus baru yang saya temukan setidaknya setahun terakhir di Yogyakarta. Yang, saya yakin, juga tersebar di beberapa kota lain di Indonesia. Dua hari lalu, Sabtu (8/10/2011) sekitar pukul 18.30 WIB, saya sedang berjalan kaki di Jalan Magelang dekat batas kota Yogya-Sleman. Setelah beberapa menit, di dekat pertigaan lampu merah saya dihampiri seorang perempuan, umurnya saya kira sekitar 30 tahun, tidak cacat fisik, dengan pakaian yang normal dan sebuah tas jinjing. "Mas, Maaf mengganggu. Saya boleh minta tolong?" Setelah saya mengiyakan, dia melanjutkan, "Gini mas. Saya mau ke terminal Giwangan, tidak ada ongkos dan kemalaman. Boleh minta delapan ribu buat ongkos kesana?" Rp 8.000,-. Saya sebetulnya tidak begitu terkejut dengan modus ini, karena sebelumnya sudah sering saya temui orang-orang semacam ini. Pikir saya, mereka menjelaskan latar belakang alasan minta uang itu sebagai akal-akalan saja. Sejatinya, mereka mengumpulkan uang dari kebaikan hati orang lain. Saya menolak dengan halus. Bukannya tanpa bukti, saya pernah melakukan riset kecil-kecilan yang berawal dari ketidaksengajaan. Sekitar bulan April 2009, saya dihampiri pelaku peminta-minta yang seorang laki-laki paruh baya saat menunggu bus di daerah kampus timur UGM. Dengan menjelaskan alasan yang mirip, waktu itu saya menyanggupi memberikan Rp 3.000,- kepada bapak itu. Yang mengejutkan adalah, dua hari setelah kejadian itu, saya ditemui oleh orang yang sama, di bagian lain kampus, dan meminta uang jumlah yang sama dengan alasan yang sama. Pikir saya, tidak masuk akal seorang kesasar dua kali dalam dua hari yang berdekatan, apalagi di kota yang sama! Sejak itulah, saya menyimpulkan ini sebagai modus baru peminta-minta ataupun pengemis. Saya menolak memberi uang kepada perempuan dua hari lalu karena nominal yang diminta terlalu tinggi dalam konteks "minta begitu saja". Apalagi, saat saya perhatikan dandanannya tak mirip orang yang lelah kesasar atau mencari tumpangan. Bedaknya masih tersapu tipis kelihatan rapi, apalagi dengan gincu yang masih lembab. Saya simpulkan, ia baru saja berangkat "dinas", bukan mau pulang. Tentu saja kasus yang saya alami bukan yang pertama. Setelah mencari beberapa laporan yang mirip, salah satu tulisan sama saya temukan ditulis oleh Kompasianer Prawita Arumdhini. Ia mengaku pernah ditemui pemuda yang membawa permintaan yang sama dengan mengaku sebagai mahasiswa salah satu universitas swasta di Jakarta. Kembali ke penilaian masing-masing kita terhadap para pelaku aksi ini. Tidak ada salahnya jika memang kita ingin tulus membantu sesama. Hanya saja, rasanya kecewa jika amanah dari niat pemberian kita ternyata digunakan tidak seperti yang diutarakan sebelumnya. Sebagai petunjuk, para peminta-minta ini memiliki ciri khas sendiri, saya tuliskan sebagai berikut:
- Senyum dari jauh, lalu mendekat dan meminta waktu mengobrol.
- Penampilannya lebih rapih dari pengemis kebanyakan.
- Jika perempuan, seringkali membawa tas lengan. Jika laki-laki, seringkali berbusana atasan kemeja dan bawahan celana panjang dan sepatu.
- Beraksi di jalan-jalan yang gelap dan tidak terlalu ramai, atau di ruang tunggu publik.
- Berdalih membutuhkan dana transportasi, pengobatan, dan bayar hutang.
Di atas semua itu, semoga kita sama-sama waspada terhadap modus-modus yang berpotensi mengandung niat tidak baik. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H