*
DI ANTARA JALUR PESEPEDA dan bangunan utama Balairung Timur, ada sebuah gerbang horizontal yang ujungnya disebut-sebut sebagai “penyelesaian”, akhir paling jauh dari sebuah gang gelap. Konon, dulunya jalur ini dipakai oleh para ksatria Kraton dengan berjalan sambil berjongkok sebagai bentuk penerimaan mereka ke dalam lingkungan abdi royal. Terkadang di sini mereka berdiam dan berpuasa sampai ujung tombak mereka diasah tajam, dan purnama bulan ketiga berlalu setengahnya. Di era para tentara dari Eropa Barat memasuki Yogyakarta, lorong ini konon ditutup, dan dibuka jika dan hanya jika Sultan Hadiningrat mengalami mimpi di malam hari dan mendapat petunjuk untuk bersembahyang. Di setiap ujung malam pertapaannya, Sang Raja akan bertemu Ratu Penguasa Laut, untuk kemudian menyimpan ajian dan nasihat-nasihat yang dipakainya memerintah, selama ia masih hidup. Kemampuan metafisis yang separuhnya dianggap mitos ini bisa diwariskan ke keturunan raja, dan mereka akan menjaga semua rahasia tentang gerbang itu, sampai kapanpun.
Akan tetapi, nyaris tidak ada yang percaya cerita semacam itu di tahun 2011. Cahaya putih membentuk jelas degradasi tegas dan yang lemah. Dari arah luar jendela buram itu nampak dua bayangan yang saling menghardik. Kadang satunya diam saat lainnya menyergah, kadang sebaliknya. Hingga akhirnya, satu dari dua bayangan itu pergi meninggalkan yang lainnya.
Doktor Frans Kulewu datang ke Yogyakarta pada bulan Juni tahun itu. Ia membawa dua rekannya dari Maluku dan Surabaya, hanya untuk meraih kesempatan memetakan efek demografi dari mitos-mitos dan bangunan sejarah di lingkungan Kraton. Namun belum juga penelitian mereka memasuki paruh waktu, Valen, rekan dari Maluku itu, berpulang dengan cara yang sulit mereka percaya. Tubuh itu tergantung di bawah jembatan Kuning, belasan meter di atas aliran Kali Opak yang menderu ke arah Parangtritis. Jeratan akar beringin menghentikan jalur napasnya hingga lidah terjulur keluar. Ada tiga warga menemukannya mayatnya pagi itu, dan belakangan polisi menutup kasus itu tanpa merangkum Berita Acara Pemeriksaan atas ketiga saksi. Frans, dalam kebingungan yang mencekam, menyekors penelitiannya dan kembali berkonsolidasi, tapi kemudian rekan satunya lagi memilih pulang.
“Sudah kamu saja kalau mau lanjut. Aku takut, Frans,” ujar rekan arek Surabaya itu di suatu malam di penginapan mereka. Frans memprotes dan bertanya apa alasannya.
“Kalau karena kematian Valen, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin aku juga salah sudah memarahi dia. Tapi… kita sudah sejauh ini, lo!”
“Sudah. Sudah. Aku ‘tu bermimpi! Leherku diikat tali, diseret sampai ke bawah ranjang. Lalu aku jatuh ke sumur yang tidak ada dasarnya, yang gelap. Abyss!”
“Tapi… sedikit lagi.” Frans tak kuasa berargumen panjang, melihat ketakutan nyaris melompat dari dua bola mata rekannya. “Aku juga sering mimpi buruk sejak Valen meninggal. Tapi ini bukan alasan…”
“Ada iblis yang mendekati kita. Seperti penelitian ini sebaiknya dihentikan saja. Lalu, ada seseorang yang datang ke dalam mimpiku, yang wajahnya seperti pernah kukenali tapi tak kunjung kuingat. Dia seperti membawa mitos yang berusaha mengingatkan kita untuk… untuk… Dia seperti mau menyampaikan sebuah kata! Ya… sebuah kata. In… ah… mengerikan sekali!”
Frans mengangkat kedua tangannya menunggu kelanjutan kalimat rekannya. Ia berusaha menunjukkan sebisanya bahwa ini adalah isyarat protes terhadap jalan pemikiran rekannya yang ia kenal sebagai seorang sangat logis itu.
“Tiga malam berturut-turut, Frans. Kamu mimpi enggak tiga malam berturut-turut? Aku didatangi… Ah…, teringiang-ngiang sampai sekarang ini. Kepalaku tidak pernah stabil lagi sejak hari itu.”
Frans jatuh terduduk, logika ilmiahnya tak bisa menerima alasan seperti itu begitu saja, walau terdengar agak ekstrem dan mungkin memang ada maksudnya. Ia tak bisa meluruskan kata-katanya sampai rekannya itu menutup obrolan. “Sudah. Buat kamu saja. Aku nyerah.”
**
Bulan November, Frans Kulewu berdiri mematung di depan sebuah meja lebar yang bagian atasnya ditutupi kotak kaca pelindung. Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada agak lengang di hari Kamis, dan ada banyak kursi di lantai dua dan empat yang tidak terisi. Frans, mengapit tumpukan kertas yang dimap plastik seadanya, selama dua puluh menit terakhir berdiri di depan maket itu, memastikan matanya tetap fokus dan pikirannya tetap melayang ke masa lalu, sebagaimana diperintahkan oleh tulisan-tulisan kertas buram di bawah lindungan kaca. Sesekali ia benarkan posisi kacamatanya yang agak lengser karena keringat.
Tanpa perbuatan, revolusi tidak ada artinya. Tanpa perbuatan, revolusi akan mandeg. Kalimat demi kalimat pidato tertanggal 11 Desember 1961 itu ia baca. Nyaris tidak ada kalimat yang berulang, jadi bukti bagaimana orator dan proklamator itu berpidato seperti kata-kata puitis itu masuk lalu melompat keluar begitu saja dari otak dan mulutnya. Seakan-akan, orator itu mengajarkan sejarah perdagangan dunia kepada ribuan mahasiswa di depannya, sembari sisi otaknya yang lain mengikuti pelayaran Magelhaens dan Colombus di antara riuh-riuh ombak Pasifik, yang konon mencari jalur sendiri ke Timur guna keuntungan niaga yang berlipat. Seolah-olah, orator itu menggelar tikar dagangan jubah emas dan rempah-rempah Maluku di depan para penyimaknya sementara pikirannya yang lain bercengkerama dengan Jawaharlal Nehru di Mumbai dan Patrice Lumumba di Kongo. Di halaman kelima, Frans melemaskan matanya.
“Hipotesis yang salah.”
Konsentrasi Frans tiba-tiba buyar karena nyaris tak menyadari seorang anak kecil tiba-tiba berdiri di sampingnya, mengeluarkan perkataan yang sama sekali ia tidak mengerti. Anak itu berpakaian biasa, bahkan lebih mirip akan bermain-main di rumahnya, dengan celana selutut dan sandal ala hotel yang lebih tebal dari biasanya. Ada sesuatu dari perangai anak itu, yang membuat Frans --tanpa ia ketahui dari mana datangnya perasaan itu-- gemetar. Keringatnya membanjir di kening hingga ke hidung. Badannya seperti menoleh sendiri dan pikirannya tak lagi bisa fokus pada naskah-naskah itu.
“Rekanmu mati karena berusaha mengungkapkan hipotesis yang melawan mitos,” ujar anak itu beberapa saat kemudian, sembari merapatkan kacamata lebar yang seperti tidak sesuai dengan ukuran matanya yang kecil.
“Maaf… maksudnya?” Frans memberanikan diri menyampaikan ketergangguannya.
Anak itu lalu melirik tajam, dengan seringai lebar yang menakutkan. “Hm… Tapi sepertinya kamu akan baik-baik saja. Kenapa tidak kau cegah Valentino melakukan itu? Apa namanya… bunuh diri?”
“Aku baik-baik…? Tunggu dulu. Dari mana kau tahu soal…”
“Kalian bertengkar di petang hari sebelum ia melompat dari jembatan. Awalnya hanya bertukar pandangan soal apakah perlu kalian membuat hipotesis baru soal peruntukan terowongan di bawah Kraton. Hipotesis Valentino bahwa terowongan itu tak lebih dipakai oleh prajurit untuk penempaan kemampuan, ternyata tidak memuaskanmu. Dan kau menyanggah hipotesisnya dengan mengatakan bahwa fakta seperti tertuang dalam Kitab Kraton bahwa terowongan itu adalah tempat sembahyang para raja, tidak terbantahkan lagi. Lalu, untuk apa kalian datang kalau cuma membenarkan mitos lama? Kalian para ilmuwan, tapi malah mengikuti mitos dan legenda yang hanya diucapkan para abdi dalem tanpa pembuktian saintifik sama sekali --Kira-kira demikian argumentasi Valentino, yang lalu kau bantah mentah-mentah. Sial baginya, karena ia menyeganimu sebegitu dalam sehingga tak lagi yakin pada pendapatnya sendiri. Akan tetapi bukannya menenangkannya, kamu malah menghardiknya dan menyuruhnya pulang jika tidak suka dengan…”
“Aku tidak benar-benar bermaksud begitu.”
“Benar. Tapi sayangnya kalimat yang keluar dari reaksi spontan justru lebih membekas bagi hati yang terluka. Dan opini berikutnya tidak akan mengobati apapun.”
Frans terdiam dan termenung sesaat. Lalu saat ia mulai sadar, pikiran kritisnya kembali. Ia memasang kuda-kuda dan langsung menanyakan jati diri anak cerewet di sampingnya. Gengsi pria dewasanya menuntut dia melindungi diri agar tidak kalah dari anak kecil yang entah datang dari mana itu.
“Pulanglah, dik. Ibumu pasti masih di sekitar sini.”
Akan tetapi, setelah mengucapkan kalimat sanggahan yang meleset dari konteks itu, Frans tak bisa berbuat apa-apa lagi. Fokusnya kembali hilang; pikirannya seperti terhalang sesuatu yang kuat. Sampai-sampai ia merasa lidahnya sepat dan mulutnya kering.
**
Cahaya mulai padam satu-satu di sepanjang koridor lantai dua Balai Arkeologi Yogyakarta. Jendela-jendela yang menghadap ke barat menjadi satu-satunya sumber cahaya tersisa, dibantu sepasang lampu neon di ruangan akhir koridor yang terhubung dengan tangga memutar. Valentino Yohanus bertumpu pada pegangan tangga itu sembari membaca ulang hipotesis yang akan diserahkannya. Ada gambar kisi-kisi jendela di situ, terowongan-terowongan di halaman lain, beberapa sketsa sumur, dan grafik perkiraan populasi tahun 1783 ketika Kraton masih sebentuk lingkungan yang tertutup.
“Kau tidak bisa mengambil hipotesis seperti itu, Valen.” Perdebatan itu dimulai sepuluh menit kemudian ketika Frans Kuwelu membaca ulang salinan hipotesis itu. “Ada mitos-mitos…”
“Mitos? Kenapa kita harus percaya mitos? Lagipula ini Tanah Jawa. Dan kita orang Timur. Kalau bukan karena Syarif yang orang Surabaya, aku tahu kita berdua bisa lebih tegas menekankan ilmu pengetahuan di atas semuanya. Kau tahu sendiri… Sudah kubayangkan… kelak, nama yang cocok untuk penemuan kita, sudah kutemukan. Indigenesis.”
“Apa artinya itu?”
Valentino berkilah. “Anu… ah… gampanglah nanti artinya. Ini kata baru, di kamus pun belum ada. Nanti kita bikin definisinya sesuai penemuan baru yang menggemparkan Tanah Jawa… Tidakkah kau memimpikan itu?”
“Tapi, ada banyak bukti yang menegaskan terowongan Kraton dipakai untuk sembahyang, ritus Jawa --kau juga pernah menulis tentang Kejawen--, dan pelatihan spiritual Para Abdi. Lagipula… kitab-kitab Kraton…”
“Frans, saudaraku, maaf. Sudah sejak awal aku tidak setuju kita meneliti berdasar kitab-kitab kerajaan. Kita ini scientists, bekerja atas hipotesis dan penemuan. Kitab-kitab yang kau pakai itu belum bisa diklarifikasi. Kau tahu alasan kenapa orang-orang Belanda dan para peneliti Inggris dulu dijauhkan dari kompleks keraton? Karena mereka tidak ingin mitos yang mereka buat diganggu oleh penelusuran ilmiah yang dibawa orang Barat! Nah, sekarang kita di sini. Kau seorang arkeolog, aku geolog, dan Syarif sejarawan. Sebagai geolog aku memutuskan, tidak ada tanda-tanda terowongan itu pernah mengandung bunga-bunga terkait ritual, tidak ada kendi tertimbun, apalagi air laut. Pada akhirnya kesimpulan kita hanya mentok pada hipotesis bahwa terowongan itu adalah instrumen perang, dan ada banyak fakta tidak benar disampaikan ke masyarakat Jawa.”
Frans bernapas cepat. Matanya menyipit dan rasa kesal sudah bertumpuk di dadanya.
“Aku menghormatimu, Frans. Sebagai ketua tim, kau sudah berkontribusi banyak. Hipotesisku ini mungkin tidak akan lebih baik dari apa yang kau temukan bersama Syarif. Aku pun menimbang-nimbang itu. Tapi tolong…”
“Kau tidak tahu apa-apa…!” Frans melemparkan kemarahannya seketika ia menarik kerah baju rekannya yang sudah ketakutan itu. “Kau tidak tahu… berapa lama aku menginginkan penghargaan atas penelitian ini. Usahaku selama sebelas tahun… aku tidak ingin… semuanya berakhir seperti ini. Buang saja teori persekongkolanmu, dan tetaplah bersama tim. Kita akan dapat keuntungan besar dan kesempatan konservasi kompleks Kerajaan Mataram yang masih tersisa. Ini sesuatu yang besar, Valen!”
“Frans, senirku. Tolong….” Valen tidak menunjukkan pendapatnya goyah sedikitpun, meski rasa takut mulai pecah bersama matanya yang berkaca-kaca memerah. “Biarkan aku…”
“Kau… tidak… berhak…” Frans tidak menyelesaikan sanggahannya, tetapi langsung saja melayangkan kepalan tangan kanannya ke rahang Valentino.
“Frans… jangan!”
Dua pukulan di wajah dan satu di perut memecah darah di mulut rekan itu. Valentino meringis dan memohon ampun. Tanpa bicara lagi, Frans lalu berjalan cepat ke sisi lain koridor sementara rekannya itu tertunduk di tangga, sebelum menghilang ke kegelapan malam.
Menggunakan previlese yang diberikan khusus untuk tim peneliti, Valentino Yohanus berjalan di kegelapan Kauman, menjauhi lalu lintas dan menyusuri gang-gang yang sepi. Hanya terdengar cengkerama keluarga di beberapa tikungan, sebelum akhirnya ia tiba di mulut terowongan berdinding beton, mengarahkannya ke sebelas meter di bawah permukaan tanah. Ia nyalakan lampu, memberi sebungkus rokok kepada penjaga yang ia minta menunggu di luar, kemudian berjalan sendirian dari satu kisi ke kisi yang lain. Ilmuwan itu mencari sudut di ujung terowongan tempat tangga empat sisi berdiri, menghubungkan terowongan bawah dengan ruangan panjang di lantai dua sisi utara. Valentino duduk di bawah terowongan, mengeluarkan sekop kecil dari balik jaketnya, kemudian mulai menggali. Ia siapkan juga dua tanaman mawar yang akan diletakkanya di atas bekas galian nantinya. Valentino menutup lembar hipotesisnya, mendongak, kemudian terkejut melihat bayangan yang berlari zig-zag, begitu cepat, kemudian melompat ke atas kepalanya. terdengar sebuah teriakan melengking, dan memancing anjing melolong dari kejauhan.
Penjaga tua yang duduk di dekat mulut terowongan dikejutkan dengan padamnya semua lampu di terowongan itu. Saat penjaga tua itu masuk dengan tertatih-tatih dan ketakutan, ia tak bisa merogoh saklar --dan kalaupun berhasil ia pegang, saklar itu tak mampu bergeser ke posisi menyala. Seperti sesuatu yang padat menahan tuas kecil itu tetap pada posisinya. Penjaga itu lalu lari menjauhi terowongan, dan warga sekitar gempar.
Franz Kulewu terbangun dari tidurnya, dan ia begitu saja melompat meraih celana dan sepatu, keluar dan langsung mengendarai sepeda motornya sejauh lebih dari tiga puluh kilometer. Mimpi-mimpi dan bisikan yang ia dengar setengah jam yang lalu memberitahunya untuk mendatangi suatu tempat, yang ia sendiri tidak tahu di mana. Ikuti tangan dan kakimu, kata bisik-bisik itu, dan ia pun melaju, membelok, dan menjauh dari kota.
Frans baru menyadari dirinya ketika sudah menyusuri jalan sepi yang lebar menuju ke selatan Bantul, melewati sawah-sawah sunyi dan beberapa truk yang terparkir. Lalu lintas sangat sepi, lampu penerangan jalan tak semuanya menyala. Setelah lima belas menit fokusnya kembali, ia mulai mengerem, dan berhenti. Seratus meter di depannya, barisan lampu kuning kemerahan berjajar dua baris di kedua sisi jalan. Jembatan Kali Opak setinggi sembilan belas meter dengan panjang seratus dua puluh meter. Lebarnya cukup untuk dua jalur cepat dan dua jalur lambat. Frans memarkir motornya di pinggir jembatan, mencari-cari sekeliling, dan mendengarkan apapun yang bisa didengarkannya.
“Sisi kiri, ujung.” Bisik itu terdengar lagi di telinga. Frans menyeka keringatnya dan berlari ke arah yang dimaksud. Dan dengan jantung berdebar-debar, ia tiba-tiba berhenti. Sesosok tua perempuan bersepeda, menyapanya, “Alon-alon, Mas.”
Pagar jembatan itu hanya setinggi satu meter dengan dua palang pipa besi yang melindungi pejalan kaki. Truk baru saja lewat dan memendam teriakan Frans kepada sesosok bayangan yang mengikatkan tali ke satu pipa itu, terseyum padanya kemudian melangkah melewati pipa. Frans berlari mendekati sosok itu, meneriakinya tapi tidak dihiraukan.
“Valen… Valentino! Stop!” Frans terengah-engah sembari mencoba meraih orang itu. Saat akhirnya ia tiba di pagar jembatan, Frans bisa melihat aliran Kali Opak yang menderu ganas di bawah sana, ketika bulir-buliran halus air merasuk ke lubang hidungnya.
“Valeen… Valentinooo….!” Teriak Frans. Tidak ada jawaban dari bawah sana.
Kemudian ketika Frans mulai menyadari tali dari akar beringin itu menegang dengan sendirinya, ia terduduk di jalan itu. Ia bisa melihat tali itu berayun-ayun kecil di dekat simpulnya, membenarkan bobot tubuh yang ditahannya di bawah sana. Frans menutup dua mukanya, kemudian meminta maaf dengan ketakutan, entah kepada siapa. Kemudian ketika Frans kembali membuka matanya, sosok bayangan kecil yang suaranya sangat ia kenal, sambil tertawa menghilang ke kegelapan arah selatan.
Kau tidak bisa menghentikan apa yang jadi sebab-akibat. Indigenesis berarti penglihatan, pengakuan, atau penyampaian. Mengubah masa depan dari mengetahui asal-muasal. Orang itu serakah dan berani. Dia akan jadi bagian dari naskah sejarah yang diabaikan.
**
Frans Kulewu terkesiap. Ia mengira dirinya telah disihir, atau dihipnotis, ia tidak bisa menebak. Kemudian dari maket di depannya, ia menemukan sebuah kata yang ia tak tahu artinya, tercecer di antara naskah pidato sang proklamator. Kata itu sebelumnya tidak ada di sana, terselip begitu saja di antara kata-kata lain dan sama sekali tidak menyambung alur cerita.
Indigenesis.
Dengan rasa getir dan kebingungan yang memeluknya dengan rasa lelah sangat, ilmuwan itu lalu meminta tolong. Perpustakaan itu gempar, dan anak kecil itu menghilang.
------------------------------
Ilustrasi: sabdalangit.wordpress.com/
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H