Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gen

24 Februari 2015   01:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:38 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

DETAK MELAMBAT. Seakan ada sesuatu di otaknya yang membuat Binar tetap terjaga. Kegelapan membuainya tapi matanya dapat melihat jelas sekeliling. Pupilnya melebar dan bergetar.

Menggantung tinggi di depannya, jam dinding kamar SEIKO berlatar putih dan jarum-jarumnya yang warna emas nampak kehitaman. Tempo detakannya seperti tidak beraturan. Saat terfokus Binar dapat menghitung tepat detik per detik, tapi saat pikirannya melayang-layang ia seperti terbang hingga tak sadar ternyata sudah pukul dua lebih empat puluh. Aku tak berdaya dengan segala upaya sepanjang masa. Hatinya berbicara sendiri, tapi kalimatnya begitu tidak beraturan. Bapaknya membungkuk dan menunjuk-nunjuk memarahinya, tapi kemudian berubah menjadi Ibunya yang membuai getir dan memintanya merenung dan merunduk. Dia memang tidak pernah berupaya apa-apa, pikirannya bertabrakan. Sekali ia terbayang perkataan bosnya tentang neraca yang tidak seimbang, dan roknya yang terlalu panjang seperti sekretaris kelurahan. Ini bank tapi lebih mirip kelab malam. Galau. Terlalu ramai, terlalu riuh. Semua pikir-pikiran ini, membuatnya kerap mengingat bagaimana hidupnya sebetulnya melaju, dan dalam tempo yang jauh lebih lambat. Binar menyadari semua ini ada mulanya, dan mungkin akan sulit diubah. Kemalangan bisa saja tertanam di dalam gen-nya, mengikutinya seperti bayangan. Binar tak kuasa tidur, kantung kemihnya tertekan akibat menahan kencing.

Belum selesai urusan “neraca yang tidak berimbang”, Binar sudah pusing dengan tagihan kartu kredit yang hampir tenggat, langganan domain blog yang menguras ATM-nya tanpa peringatan, dan tiga pasang sepatu yang rusak bersamaan. Pendapatannya krisis, sepeda motornya sekarat, gajinya untuk menutupi kerugian lain. Di luar struktur kemapanan yang rapuh, ia masih harus melayani tamu-tamu berjudul klien yang serakah dan lebih senang main mata dengannya, beberapa rekan yang senang bergunjing, dan  polusi jalanan yang menyesakkan paru-parunya. Pekerjaan tetap yang ia dapatkan sebelas bulan yang lalu awalnya menyenangkan dan membuatnya bangga dengan dirinya. Fotonya berseragam biru berlis kuning, dengan tag nama gantung di dada kanan serta sanggul sedang yang tergulung bak pramugari melengkapi senyumnya di foto-foto Facebook. Banyak yang mengaguminya. Mereka yang perempuan memujinya dengan jempol namun begitu mencolok menunjukkan rasa iri dan tidak suka. Sementara mereka yang laki-laki memberinya semangat (lengkap dengan tanda seru), sedikit menyinggung gincunya yang terlalu merah dan dengan basa-basi bernuansa pedekate, sudah cukup bagi Binar untuk menyadari betapa bangga ia pada dirinya, dan betapa mungkin ia berakhir sebagai primadona, setidak-tidaknya di dunia maya. Mengalahkan puluhan perempuan bernama sama di kolom pencarian Google. Ia membuktikan tidak harus mampu menyetir mobil dan berfoto dari balik stirnya agar dilirik dan digoda manisnyaa….

Akan tetapi kecantikan nyaris sempurna bahkan tidak begitu menguntungkannya. Selain sikap iri dan basa-basi, ia sempat berhubungan dengan tiga laki-laki yang awalnya menyenangkan, kemudian brengsek di belakangan. Sejak enam bulan terakhir tak satupun laki-laki mendekatinya. Para bos menjaga jarak dengannya. Bahkan Facebook tak lagi menjempoli foto-fotonya. Dari tuturan kawan-kawan sejawat ia tahu, bahwa saingan kecantikan saat ini banyak, dari berbagai macam pekerjaan, dari berbagai model sanggul, dari berbagai warna gincu. Ia sempat tergoda menambahi nama profilnya dengan cute dan maniez, tapi itu justru membuatnya seperti perempuan penjaja diri. Konsepsi kecantikan membawa kecantikan lalu ditolaknya mentah-mentah. Di usia duapuluh tujuh dan masih melajang, Binar mulai merasa dirinya hanya kurang beruntung dan bukannya belum laku. Di saat banyak wanita yang lebih muda sudah hidup “santai” dengan pasangan dan menghabiskan sore di bawah senja yang matang, ia masih harus pulang sendirian untuk menatap dirinya sendiri di cermin lalu menyemangati diri dengan membatin “Masih ada Jalan. Kau masih cantik. Tenanglah.” Jauh di dalam pikirannya yang berusaha matang, Binar mulai melihat hari-harinya dulu, masa-masa kecilnya. Hari-hari di mana banyak ketidakberuntungan bernaung di bawah atap rumahnya bak bohlam tua yang ditumbuhi ramat. Diabaikan tapi  nyata adanya.

Nyonya Yulia Suratman pernah dipuji setinggi langit ketika mengusir jauh-jauh preferensi materi yang biasanya disyaratkan dalam pertautan cinta. Tiga bulan lamanya perkenalan dan pendekatan, Yulia muda sudah jatuh cinta pada seorang tukang jahit yang usianya enam tahun lebih tua, Zain Abdulgani. Pertemuan itu seperti angin sepoi. Seorang mahasiswi memerlukan seragam jaket goni untuk acara inaugurasi awal, dan Zain adalah satu-satunya tukang jahit yang memenuhi kemampuan itu. Saat seharusnya pelanggan lain dilayani lebih dulu, laki-laki ini rela bergadang dua malam demi menyelesaikan jaket sang mahasiswi. Yulia terharu dan memberi bayaran dua ribu rupiah lebih banyak. Ia senang dengan Zain. Mungkin nama depan lelaki ini mengingatkannya pada tokoh Persia dari buku-buku klasik yang disukainya, atau memang seorang penjahit Zain dapat mengerti dirinya lebih dari mesin jahit Stensreich keluaran tahun 1930 yang dirawatnya sejak tinggal di Jepara. Laki-laki itu membuatnya paham bagaimana cinta mengalahkan hegemoni harta, bagaimana sayang tak punya waktu untuk dibuang-buang. Maka di bulan Rabiul Awal tepat setelah gempa mengguncang selatan Jawa, Yulia resmi menjadi Nyonya Abdulgani.

Mereka bersanding di teras sebuah rumah Limasan milik almarhum ayah Zain, seorang petani yang diasingkan akibat cap tapol. Seragam mereka dijahit sendiri oleh mempelai pria dan bertahan sampai sepuluh tahun kemudian. Tidak banyak kemilau dalam pernikahan itu, tapi berhasil membuat iri belasan gadis desa lain. Yulia dipeluk dan ditangisi teman-teman sekelasnya di Gadjah Mada, tak rela melepas ketua kelas dan sumber bahasa Inggris mereka menjadi istri orang. Tapi Yulia senang. Yulia bahagia. Dua tahun saja, dan Yulia sudah dikaruniai dua anak: satu laki-laki dan satu perempuan. Bahkan setelah anak-anaknya besar, usaha jahit suaminya tetap berjalan, meski kalah oleh toko-toko barang jadi dan pakaian impor Cina yang lebih murah. Yulia merasa bahagia, meski kehidupan mereka tahun-tahun setelahnya tak sedikitpun beranjak dari gaya pedesaan yang serbaterbatas, mandiri, dan berjuang.

Saat anak sulungnya beranjak SMA dan kuliah, keluarga menjual banyak barang untuk melunasi tuisi. Zain tak punya keahlian lain dan terlalu tua untuk pekerjaan serabutan kasar. Sementara Yulia, yang tertatih-tatih mengurusi keperluan rumah tangganya, mulai menyesali masa lalunya yang meninggalkan kelas bahasa Inggris untuk menikah. Tapi bahkan dengan pertengkaran-pertengkaran yang menyakitkan setelah itu, Yulia tetap bertahan pada suaminya, membantu sekadarnya dengan les privat dan sedikit pekerjaan ketik di bank swasta. Saat krisis menghantam Indonesia, Yulia kembali ke tanah, merapal doa di atas lututnya. Zain divonis kanker limpa dan meninggal di usia 69, dan Yulia tak punya pilihan selain menjual rumah mertuanya untuk biaya hidup. Sementara ia tak mungkin kembali ke keluarga orangtuanya yang pelit lagi serakah, ia memboyong anak-anaknya ke Klaten dan menyewa sebuah ruko kecil yang digubahnya menjadi warung kelontong. Di tempat barupun ia masih menghadapi kesulitan, dikejar-kejar rentenir atas utangnya untuk biaya sekolah. Beberapa duda menggodanya dengan nada merendahkan. Sulungnya lalu bekerja di Kalimantan dan tak pernah ada kabar. Sementara anak keduanya, yang tak banyak bicara dan jarang bertanya, dengan setia menemaninya hingga SMA. Binar, anak dengan mata besar dan mulut kecil cantik ini, hanya menikmati prosesnya sendiri. Dari dirinya Yulia menghibur dirinya, membayangkan masa-masa lincahnya dulu, saat primadona dalam hidup dan dua matanya. Binar benar-benar cantik, tapi Yulia tak ingin putrinya berakhir seperti dirinya. Anak itu hanya pernah bertanya sekali, “Apa dulu nenek juga tersiksa seperti kita?” Dan Yulia tak langsung menjawab. “Dunia di luar sana keras, Nak,” pesannya suatu hari. Tapi apalah namanya remaja lugu, Binar tak pernah benar-benar mengerti kalimat itu.

Sampai kini ia merasakannya sendiri.

Kemalangan demi kemalangan Binar pikirkan sendiri setiap malam, menatapi jam dindingnya berdetak tak beraturan. Ia merasa dirinya cukup diberkahi, cukup dibekali. Pendidikannya tinggi, meski pencapaiannya tak begitu banyak. Sertifikat-sertifikatnya lusuh dan menganggur, hasil pelatihan dan kursusnya tak diperlukan lagi oleh zaman berganti. Ia ingin lari dari pekerjaan memulai sesuatu yang baru, tapi keberanian mengekangnya dalam-dalam. Ia merasa seperti Ibunya yang mungkin telah mengambil sesuatu yang salah. Ia merasa mungkin dirinyalah penyebab hubungannya tak pernah berhasil, dan ia mungkin terlalu sering mengandalkan keberuntungan sampai nasib menenggelamkannya.

Seminggu setelah kejadian neraca, ia mengundurkan diri. Keputusan yang lalu disesalinya. Menemukan pekerjaan itu sulit, terutama jika kau memasang target tinggi. Dua perusahaan media dan sebuah event organizer menolaknya. Kalah oleh kandidat berpendidikan SMA yang meminta gaji lebih rendah. Binar trauma dengan beberapa isu, dan mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Jelang tidur, ia kembali menatap jam dindingnya, mengeja tulisan SEIKO tapi tak juga terlelap. Semua ini pertanda, pikirnya. Kemalangan sudah mendarahdaging, ia curiga pada nasibnya. Plak-plak ketidakberuntungan mungkin menyusun bulir-bulir di gen dalam dirinya. Atau gennya sendiri mungkin tidak tersusun sempurna, ada bagiannya yang tercecer entah di belahan dunia mana. Ia berkali-kali teringat tulisan di sebuah banner di Facebook: Setiap kita dilahirkan untuk menjadi bintang, yang diumpatnya berkali-kali sampai kegelapan menariknya jauh. Dasar iklan pembohong murahan.

Indische Koffie adalah kafe berpencahayaan hangat di pojok Benteng Vredeburg, selalu sempurna untuk duduk di bawah sore yang tua. Jauh dari kemaraian dengan nuansa heritage yang membawa ke masa lalu. Terakhir di kafe. Setelah ini cukup angkringan dan warung-warung bakso. Meski tak punya banyak teman bicara, Binar selalu punya tempat meminta nasihat, bahkan itu dari teman kelas jauh sekalipun, selama ia tahu orang itu mampu membantunya. Dan dalam bahasan kesuksesan karir dan percintaan, ia tak punya ide selain Bimo Setyawan, seorang arsitek yang memimpin firma kecil berkaryawan delapan sarjana muda. Pendapatan delapan juta sebulan sudah cukup sebagai kredibilitas, meski nasihat yang diperlukan tak melulu soal uang dan kesejahteraan. Dan secara kebetulan yang ajaib, menurut Binar, adalah karena Bimo juga, secara ajaib, juga banyak belajar tentang gen manusia dan gandrung dengan berita-berita stem cell lewat National Geographic Channel dan BBC Life.

“Sebetulnya tidak ada tips khusus untuk kesuksesan, Binar. Perempuan dan laki-laki sama saja.” Laki-laki di depannya menggeleng dengan senyum sembari menyesip sirop selasihnya dengan jantan namun bersahabat.

“Tidak ada… yang cantik lebih sukses dan orang kampung terbelakang?”

“Tentu saja tidak! Itu pemikiran dangkal yang dipengaruhi oleh stereotip iklan kosmetik dan kulit putih di televisi. Masyarakat kita banyak membangun persepsi dari hal-hal yang paling sering didengarnya. Itu psikologi, dan otak kebanyakan orang memang bereaksi seperti itu. Tapi kalau kita pikir, manusia semua sama saja. Kesuksesan yang mereka raih bukan karena seperti apa bentuk muka, mata, hidung, atau berapa tinggi badan mereka. Yah, tentu saja ada tentara atau model, atau pramugari yang membutuhkan kriteria itu, tapi lagi-lagi, konsepsi sukses tidak bertaut pada pekerjaan tertentu, atau seragam tertentu. Semua orang punya kesempatan dan kapasitas yang sama untuk sukses. Orang menanggung kebanggan sebagai hasil dari kesungguhan. Penghargaan datang sebagai rasa terima kasih, dan lalu dijawab dengan rasa terima kasih pula. Karir bukanlah siklus yang berputar, tapi tangga yang menanjak. Sementara nasib, walaupun di banyak kitab dan ilmu sains digambarkan seperi roda, manusia disiapkan untuk menghadapi keduanya. Kita semua beriman, bukan?”

Binar mengangguk. Tentu saja, beriman berarti percaya pada nasib baik yang “dibebankan” Tuhan kepada kita. “Tidak bermaksud curiga pada jalan yang digariskan Tuhan. Mungkin aku sedang ada di bagian bawah roda dalam siklus itu saja. Hanya saja aku pikir, apa yang terjadi padaku mungkin ada sangkut-pautnya dengan masa laluku, atau mungkin di keluargaku.”

Bimo tersenyum. Ia ingin menyulut rokok tapi diurungkannya. “Menurutmu begitu?”

“Iya. Di pesan aku sudah cerita soal ibuku, bagaimana berat kehidupannya, sampai akhirnya meninggal dan kini tak banyak cerita yang kukenang. Maksudku, dia perempuan hebat dan aku mewarisi sebagian dirinya. Tapi, apakah yang kuwarisi dari ibuku tidak hanya fisik dan sikap, tetapi juga nasib hidup? Apakah itu mungkin, Bimo?”

Bimo tersenyum lagi. Kini ia tarik badannya menyandar di kursi dan menerawang jauh ke arah jalan. Sebelum melanjutkan, laki-laki itu membesarkan pandangannya dan mengatur nada suaranya yang sejak awal terdengar dekat sekaligus santun. “Nasib ditentukan untuk manusia, satu manusia. Aku percaya nasib tidak dapat diwariskan.”

“Bagaimana dengan karma?”

“Karma?”

“Ya. Karma. Mungkin ibuku pernah berbuat sesuatu yang buruk dan disumpahi orang. Mungkin keluargaku kurang bersedekah, mungkin kakek-nenek-buyutku pernah begitu melimpah sampai menindas orang, aku tidak tahu. Menurutmu aku mengalami karma?”

“Kau pernah melakukan dosa.”

“Tentu saja. Iya.”

“Tapi kau beriman. Salat tepat waktu, memberi sedekah ke orang?”

“Tentu.”

“Tapi tidak pernah begitu bahagia menindas orang atau melihat penderitaan orang, kan?”

“Iya tentu saja tidak. Betapa mengerikan itu.”

“Kalau begitu ini bukan karma, Binar. Lihat sekelilingmu, alau ini karma, menurutku bahayanya akan lebih besar, dan mungkin aku tidak akan berani bicara padamu sekarang. Mungkin bahkan aku tidak membalas email-mu. Karma itu… karma itu berat. Bukan hal yang sederhana untuk dituduhkan kepada seseorang, apalagi diri kita sendiri. Percayalah, menurutku ini baik. Setidaknya, kau memilih untuk memikirkannya.”

Binar menopang dagunya. Bimo benar. Ia sering memikirkan ini, bahkan, mungkin terlalu memikirkannya. Ia baru tiga bulan tidak punya kebahagiaan apa-apa, tetapi merasa dunianya hampir kiamat. “Aku cuma takut, Bimo. Jangan-jangan, ada yang salah dari diriku. Ada yang salah sejak dari dalam diriku. Bagian gen-ku yang tidak cocok dengan semesta yang mengeliliku ke mana-mana.”

Semesta yang mengelilingimu ke mana-mana. Wow itu puitis sekali.”

Binar sontak tercekik tawa. “Apa iya? Kata-kataku keluar begitu saja.”

“Dan membahas gen dengan kebahagiaan itu rasanya terlalu jauh.”

“Aku ingin mendengarnya, tidak masalah.”

Setelah membalas (lagi-lagi dengan senyuman), Bimo menarik dirinya ke depan dan menopang dagu dengan jari-jarinya yang bertautan. “Biar kuberitahu sedikit soal gen. Gen itu istilah sebagai kumpulan sistem penyusun awal mula kehidupan manusia. Sebagai zat hidup, kita terdiri dari jutaan sel hidup yang bekerja bersamaan, seperti ini. Kita merasakan hal-hal fisik sampai yang kita sebut perasaan. Dalam ilmu sainsnya, gen terbentuk dari struktur rumit yang kita kenal sebagai dideoxyribonucleic acid--kita kenal sebagai DNA, dan ribonucleicacid atau RNA. Itu yang di gambar-gambar bentuknya dua spiral yang saling berkait dan terhubung. Di rantai luarnya, kemudian kita mengenal kromosom. Seperti otak dari sel itu sendiri. Di kromosom dan DNA kita mewariskan sifat-sifat biologis dan fisiologis dari orang tua kita: bentuk badan, wajah, kecenderungan emosi, bahkan konon kebiasaan-kebiasaan di masa pertumbuhan. Seiring kita tumbuh dan berkembang, lalu menjadi matang, susunan genetika kita tidak pernah berubah. Alasan yang sama mengapa orang-orang yang punya kelainan atau menderita penyakit genetika juga sulit disembuhkan. Gen itu paten, dan unik bagi setiap individu. Bahkan kalau kau kembar identik, susunan gen-mu dengan saudara kembarmu tidak akan sama. Gen juga dalam studi psikiatri dipercaya sebagai struktur fisik pembentuk sifat manusia, apakah kita penggerutu, pemurah, dermawan, atau penyayang binatang. Jelas ada juga orang-orang yang gen-nya sudah jadi pemimpin sejak ia masih kecil.”

“Seperti Sukarno dan John Kennedy.”

“Atau Nabi Muhammad. Perkembangan gen dapat direkayasa tapi sebatas menyesuaikan kebutuhan selnya, itupun sekadar untuk penyembuhan dan praktiknya memerlukan ketelitian ekstra-tinggi. Guanine, Citosine, Thymine dan Adenine dengan pola kimia double-hexagonal-nya saja sudah terlalu rumit dan ilmuwan mati belum menyelesaikannya. Meskipun ilmunya sudah ada sejak Gregor Mendel di tahun 1822, genetika masih jadi misteri terbesar peradaban manusia. Sayang kita tinggal di kota dan negara di mana ilmu pengetahuan hanya untuk meraih gelar dan pekerjaan--jangan tersinggung. Tapi kalau kita mau pelajari soal gen itu saja, kita bisa merenungi banyak hal. Tentang rahasia penciptaan manusia, silsilah keluarga sampai prediksi garis keturunan kita. Bahkan di India, peneliti genetik menghubungkan struktur gen bawaan lahir dengan cerita-cerita soal titisan dewa atau kehidupan sebelum-sesudah.”

“Luar biasa.” Binar tak banyak berkata dan mulutnya ternganga. Penjelasan barusan jauh melebihi apa yang dinanti-nantikannya. Awalnya ia hanya penasaran bagaimana nasib mungkin didasarkan pada keadaan masa lalu keluarga atau fisiologi genetik ibunya. Tapi penjelasan Bimo benar-benar cemerlang. Ia serasa duduk bersama seorang Ph.D. Harvard yang laris tampil di seminar-seminar Asia-Pasifik. Letup-letupan terasa di dalam dadanya. Kepalanya menghangat dan jantungnya berdetak tak beraturan, persis seperti jam dinding di kamarnya. Saat ia berusaha menutupi kekagumannya, Bimo sudah menyesip siropnya lagi. Bibir laki-laki ini memerah. Dan kelihatan begitu indah.

“Binar? Hoi!”

Terkesiap. Binar mendadak kikuk karena Bimo sepertinya mengetahui apa dilamunkannya. “Em… jadi menurutmu, apa aku baik-baik saja? Ini bukan kutukan?”

Bimo tertawa. “Kalau maksudmu nasibmu akan membaik. Aku percaya itu. Saya percaya. Kita lahir di tahun 80-an, dan sekarang adalah waktu keemasan generasi kita. Lihat ini…banyak orang yang terlalu sibuk dengan konsumsi duniawi mereka, dan tidak mampu bahkan untuk mengendalikan dirinya sendiri. Aku ingin kita--kau, juga aku tentunya, tidak seperti itu. Aku tidak begitu suka Mario Teguh--orang itu lebih mirip artis ketimbang motivator--tapi aku percaya beberapa perkataannya. Sibuklah melebihkan dirimu sendiri ketimbang mengurusi kekurangan orang lain. Kurasa beberapa ungkapan lainnya juga bermanfaat. Bersemangatlah, Binar. Tarik napas…”

Saat itu juga Binar menarik napas.

“Oke…” Bimo tertawa halus. “Tarik napas, lalu katakan pada dirimu bahwa kebaikan akan selalu datang.”

Kebaikan akan selalu datang. Kepadaku.

“Dan apa yang terjadi sekarang bukanlah nasib atau takdir.”

“Bukan takdir.”

“Juga bukan soal gen.”

Kali ini Binar yang tertawa. “Ya, jelas bukan soal gen. Tapi kalau misalnya besok saldo ATM-ku berubah menjadi duapuluh juta, mungkin aku akan sempatkan memborong majalah National Geographic!”

Mereka tertawa bersama. Dalam letup-letupan aneh yang dirasakan di dalam batinnya, dan dengan perasaan bahagia yang hangat ini, Binar melupakan kesedihannya. Biarkan saja jam SEIKO­-ku. Aku tak peduli selama setelah ini aku dapat tertidur nyenyak. Sepulang dari kafe Binar melewati berderet-deret mobil yang dari dalamnya keluar gadis-gadis cantik yang hedonis. Ia tak peduli. Ia hanya senang karena pantulan wajahnya di kaca-kaca mobil itu tampak lebih sumringah, lebih ringan dan manis alami. Baru saja ia menoleh ke arah parkir dan mungkin Bimo masih akan tinggal beberapa saat menemaninya makan malam. Sebuah romansa seperti Ibu dan Ayah dulu, bagian gen yang membentuk cinta, mungkin. Dan benar, laki-laki mengagumkan itu menunggunya.

--------------------------

Sumber Ilustrasi: walls4u.com.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun