*
Ada sebuah gambar. Dengan serangkai kisah di baliknya.
Archimedes tak pernah benar-benar meyakinkanku. Menurutnya kebingungan perasaan manusia itu bisa dihitung dengan kimia dan fisika. Itu aneh. Menurutku kebingungan serupa bagian dari riasan bilik emosional. Gurat tipis yang meliuk antara lembutnya perasaan dan cadasnya pemikiran. Aku tak punya banyak gambaran tentang kisah cinta yang mendayu seperti novel Gandamayu atau liarnya petualangan seperti dalam Saman. Saat aku coba menulis sesuatu, maka yang kutulis adalah apa yang kulihat, apa yang kurasakan, terkadang bercampur dengan apa yang kubayangkan. Lalu kebingungan pun dimulai.
Jika aku yang harus menceritakan kisah itu, maka aku menuliskannya seperti ini.
Kita punya kesamaan. Ya, kita bertiga. Kesamaan itu memberitahu kita perihal kebersamaan. Dan kita sepakat hanya dibutuhkan dua benda untuk melukiskan itu. Pulpen bertinta hitam dan kamera sederhana. Jepret, dan jadilah gambar tiga wajah lucu yang terlukis di ujung jari. Hanya mata, mulut, dan coretan pendek berbaris yang kita anggap rambut. Akan tetapi, kita ingin lebih. Menyampaikan ke orang-orang bahwa kisah di balik coretan itu melampaui pemahaman manusia tentang ajaibnya melukiskan tinta yang bercerita.
Akan tetapi gambar ini kabur. Dan aku terus bertanya mengapa semuanya kau bilang begitu indah, dari awal hingga akhir.
Kau memperkenalkan diri sebagai Lok. Pemuda dari pesisir Sabang. Aku tak begitu tertarik pada awalnya, tapi proses membawa kita pada hubungan yang mengikat perasaan sampai tahun ketiga saat karirmu menanjak sebagai juru foto. Kemudian Jakarta berubah, terasa lebih hangat, dan sesekali aku bisa mendengar samar bunyi ombak dan kayu yang mengapung. Aku bisa merasakan gersangnya semak Tanah Rencong dari ikal rambutmu. Aku yakin atas setiap ceritamu.
“Kita akan seperti ini.”
Kemudian untuk pertama kalinya, aku memelukmu di depan orang-orang. Membisikimu dengan terima kasih saat dua tanganku berkait tepat di tengah punggungmu. “Lok, menikahlah denganku.”
Entah mengapa aku mengatakan itu. Tak ada yang benar-benar tabu di dunia ini. Aku tahu.
Jari jari telunjuk kita telah tergambar wajah-wajah lucu. Mata dan mulut yang tersenyum. Aku tak berhenti memegangmu sampai sore berlalu. Dan terkadang sepasang kekasih di ujung jari itu saling lirik malu.
Kemudian semuanya berubah. Ada jari ketiga, dengan senyuman yang sama.
“Maafkan aku, Cil.”
Apa yang mau dimaafkan, aku juga tak begitu peduli. Aku kini paham apa maumu. Bagaimanapun aku yang paling paham kau. Tapi saat kau benar-benar memutuskan untuk menikah dengan jari ketiga itu, aku berhenti berpikir, melihat diri sendiri. Lebih banyak menyembunyikan jari di dalam laci.
“Kurasa kita bertiga bisa hidup bahagia, bersama-sama. Tidak saling ganggu dan kalian berdua bisa kembali bersahabat, sepertu dulu-dulu.”
Ya, tentu saja. Aku dan Puté memang bersahabat sejak SD. Aku tahu seperti apa kami akan berbagi kehidupan. Tapi bukan berarti berbagi suami. Cerita seperti itu indah hanya di film-film televisi. Bahwa mereka tak tahu banyak ada perasaan teraduk-aduk di sini, maka lebih baik kau membuka mata lebih lebar.
Setelah tiga tahun berlalu, aku luluh. Pada akhirnya persahabatan menarik dirinya masing-masing, bersatu dalam pemahaman yang sama bahwa naluri manusia adalah soal memberi dan menerima. Bukan meminta dan membalas budi. Aku melihatmu bahagia bersama Puté, dan aku bisa tersenyum atas itu. Satu-satunya yang membuatku berani menarik diri, adalah bayangan indah yang satu ini. Kiranya ketiga jari bisa bersanding dalam satu bingkai foto yang sama.
Kiranya jari telunjukmu berada di tengah dan aku berada di kiri. Biarlah istrimu, sahabatku Puté menemukan dirinya sendiri di antara kita. Toh dia sudah menguasaimu atas cinta yang kalian yakini. Yang kudengar hanya lewat bisik-bisik.
Kukira kita bisa terus hidup untuk yang satu ini. Mungkin jariku tak selalu harus bersembunyi di dalam laci. Mungkin suatu hari kita bisa berpelukan bertiga di tengah orang-orang. Mungkin, aku bisa tersenyum saat mengembalikan pulpen hitam ini kepadamu. Setelah tintanya kuhabiskan untuk menulis kisah singkat ini.
***
Aku tersenyum di depan tulisanku sendiri. Nyaris tak percaya aku bisa menuliskannya tanpa meneteskan air mata. Naluri ini telah menjauh, dan akan terus hilang sampai tersangkut di sebuah dahan suatu hari. Kelak kalau saat itu tiba, aku ingin kita membaca ini bersama-sama.
Pintu terketuk.
“Hai, Lok.”
Kau memelukku begitu hangat. “Hangat di rumah?” katamu.
“Ya. Dua jam kalian pergi, tak begitu lama. Aku rampung satu tulisan kecil.”
“Oh ya? Yang kau janjikan padaku tadi?” kata perempuan satunya. Kau, Lok, hanya tersenyum melihat keceriaan kami berdua.
“Jangan biarkan Lok membacanya. Rahasia kita saja ya, sayang.”
Lok menggeleng dengan senyumannya yang terlipat. Mengalah pada dua perempuannya. Senyumnya baru menghilang saat aku mengatakan kalimat terakhir sebelum makan malam.
“Tak kukira suamiku betah berjalan-jalan dengan mantan pacarnya. Apalagi, atas izin istrinya sendiri.”
Kemudian kita bertiga tertawa lepas. Beginilah cinta. Mimiknya selalu indah, meski terkadang gambarnya sedikit kabur dan tak diterima semua orang. Kiranya Archimedes bisa mendengar ini. Lalu menyusun rumus kebingungannya sendiri.
*
Kredit foto: Conni Aruan.
Ditulis untuk Kampretos WPC eps. 21: Foto Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H