Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Foto Hitam Vila Sawangan (7-habis)

20 Agustus 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:31 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13454340701789679600

“Jadi ketahuan ya. Anda memang hebat, Pak. Anak itu pantas mati.”

(Sebelumnya ....)

Adam menggumam. Pandangannya tak berpindah dari arah jalan. Mobil itu bergerak perlahan mengikuti gaya gravitasi yang tak memungkinkan mereka meraih kecepatan tinggi di jalan tiga puluh derajat. Yang baru saja mengakui itu hanya tertunduk namun terdengar tawa kecil dari mulutnya. Napasnya makin cepat tapi bisa menahan diri.

“Bu Retno. Anda punya alasan kuat apa sampai tega membunuh anak muda itu?”

Yang duduk di jok belakang itu hanya menggeleng perlahan kemudian menutup mulut dengan telapak tangannya. Sejenak ia terkejut bagaimana Adam bisa mengetahui bahwa ialah di balik semua ini. Lama ia tak bicara, akhirnya terdengar suara Adam lagi.

“Aku yakin ini masalah pribadi, tapi bagaimanapun Anda akan mengungkapkannya di depan polisi. Mengapa saya memutuskan mengambil cara seperti ini, semata-mata untuk mendengar semua cerita di balik kejadian yang memilukan. Termasuk, fakta-fakta yang mungkin Anda tidak ingin ungkapkan di depan orang berseragam.”

Adam melirik melalui visor di atas kepalanya, sementara Alina menyimak dengan siaga.

Retno berdecak.

“Bagaimana Anda tahu?”

“Foto hitam itu.”

“Foto hitam?” tanya Retno. Pertanyaan sama kemudian diulang oleh Alina yang nampaknya luput paham juga metode kerja mantan suaminya. Kemudian dengan satu tangannya Adam mengeluarkan selembar tercetak dari amplop coklat yang berisi selembar foto. Foto itu mengejutkan Retno dan Alina karena yang ditunjukkan itu tidak benar-benar hitam. Ada garis merah berliku yang membentuk rupa seseorang.

“Ini bukanlah benar-benar foto hitam,” komentar Adam merespon. “Seperti yang bisa Anda lihat, ini adalah foto Anda saat menarik tubuh Lingga ke kolam.”

“Lingga?” tanya Alina memastikan pikirannya.

“Siapa lagi,” jawab Adam. “Dia satu-satunya fotografer di rumah itu. Foto ini adalah hasil olah rupa dari foto yang awalnya benar-benar hitam. Setelah berdiskusi dengan tim INAFIS kepolisian, saya memutuskan inilah petunjuk itu. Korban mendapatkan gambar ini dalam kondisi setengah sadar dan menekan tombol shutter begitu saja dan mode potret seadanya. Karena koridor tempat Anda menarik korban begitu gelap, maka foto yang merupakan satu-satunya barang bukti ini menjadi nyaris tak bermanfaat.”

Adam membenarkan posisi duduknya ketika mobil menikung pelan. “Syukurnya saya belajar sedikit fotografi, adalah bahwa foto tidak hanya soal mengambil gambar, tapi juga menyuguhkannya. Belakangan saya sadar, Lingga tahu waktu itu bahwa apapun bentuk gambarnya, selama ada sedikit cahaya, meski gambarnya hitam, tetap akan terlihat garis kontras yang dijadikan bentuk bahan olah gambar. Dan dalam hal ini, setelah mencoba beberapa filter olahan, jadilah satu ini yang tepat. Efek neon. Lazim dipakai untuk mengungkap bentuk garis dari sebuah gambar dengan pencahayaan nyaris nol sekalipun. Yang nampak bercahaya di situ, seperti yang Anda lihat,”lanjut Adam ketika menunjuk gambar yang kini di tangan Alina.

“Itu adalah bentuk badan Anda, bulat di bagian pundak, dan konde kecil di puncak. Kalung tipis yang menggantung di udara malam itu juga bahkan kelihatan. Tak ada yang seperti itu rupanya di vila Sawangan. Cuma Anda. Malam itu setelah memberikan minuman beracun kepada Lingga, Anda menyeret tubuhnya melewati koridor, ketika orang-orang lain baru saja bersiap di kamar masing-masing untuk makan malam. Tentu mudah memancing Lingga karena dia satu-satunya yang aktif lebih banyak di luar ruangan. Setelah dia pingsan, barulah Anda membawanya ke kolam. Tapi sepertinya ia meninggal sebelum menyentuh air. Efek keracunan biasanya mulut berbusa, tapi jejak itu hilang begitu ia terapung dan air membuyarkan buih di bibirnya. Anda tidak melepas kamera itu karena memang sulit dan menyita waktu. Pekerjaan yang semberono, Sama seperti berantakannya Anda menaruh majalah-majalah dan beberapa kertas di meja dapur.”

Retno tak bisa bicara atas pengungkapan analisis itu. Begitupun Alina yang hanya mengangguk serius ketika nampak matanya benar-benar mengamati hasil jepretan yang kini terbentuk dengan lengkung-lengkung merah di atas bidang kertas mengkilap.

Retno bersandar.

“Saya menghormati Anda sama seperti saya menghormati pasangan keluarga ini, Pak Adam,” katanya.

“Yang saya lakukan tak ada hubungannya dengan Tomo, Ningrum, apalagi anak itu. Ini masalah dendam lama yang membuat saya merasa pantas membunuh Lingga. Ini masalah masa lalu ketika Anda, Bu Alina, begitu mencintai orang yang bahkan bukan lagi suami Anda.”

Mendengar kalimat itu, Alina terdiam dan menatap Adam sesaat.

“Saya punya cinta lama.”

Ketiga mobil terus bergerak dan polisi terus mengikutinya. Di dalam mobil yang tenang itu, Adam tak tersenyum atau membalas. Hanya mendengarkan pengakuan dari seseorang yang terdengar begitu tenang. Adam sama sekali berpikir ini akan mudah pada awalnya. Tapi orang ini begitu lancar mengungkapkan semuanya. Ia merasa sudah tak bisa lari ke mana-mana. Di luar kaca jendelanya polisi beriringan dan hanya sesekali menghindar jika kendaraan dari arah berlawanan melintas.

Pelaku itu menembuskan pandangannya keluar. Napasnya mulai melambat ketika jari-jarinya merapat ke dagu.

“Dua tahun lalu,” ia berkisah. “Saya jatuh cinta pada seorang pengusaha perkebunan yang merintis sukses. Saya mencintainya bukan karena ia sudah kaya, tapi melihat proses kerjanya yang begitu ulet dan tak banyak mengeluh. Kami berpacaran lama dan sangat dekat tapi tak pernah menikah. Laki-laki itu begitu spesial sampai saya tidak ragu mengungkapkan masa lalu saya yang sudah pernah bersuami dan cerai dengan satu anak. Kami akhirnya saling cinta ketika ia menerima semuanya. Dia dua tahun lebih muda dari saya, dan waktu itu karirnya sedang mulus sampai akhirnya terjun ke dunia politik. Tapi namanya manusia, siapapun bisa terpeleset.”

Retno menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Dia terjerat kasus suap dan berakhir di penjara. Setahun yang lalu, kemudian ditemukan meninggal dunia di selnya.”

“Bunuh diri,” sela Adam pelan.

“Dari mana Anda tahu?” tanya Retno.

Adam lalu mengangkat sebuah koran lama ke atas dasbor. Koran itu terbuka setengah tapi cukup jelas menunjukkan judul berita tajuk utama dengan gambar seorang politisi berkumis tipis itu.

“Berita tanggal 21 Februari 2004. Saya harus membayar seorang polisi dengan sebungkus rokok untuk berkas ini,” kata Adam kemudian menjelaskan.

“Maktum Salamah, politisi partai Perintis, terjerat kasus suap enilai sembilan belas miliar untuk proyek pengadaan fasilitas infokom di departemen pendidikan dan rumah tangga DPR.  Berita tanggal 21 ini sebenarnya waktu Maktum belum diperiksa. Gambar yang tak muncul di media dan justru baru memulai penyelidikan KPK atas kasus itu adalah gambar Salamah sedang bertemu dengan beberapa pimpinan kontraktor di sebuah kafe kecil berlampu remang. Lingga berada di sana secara kebetulan, atau mungkin disengaja. Transaksi terjadi dan jepretan dimulai. Foto-foto bukti transaksi yang pasti sangat jelas itu kemudian digunakan sebagai alat bukti oleh KPK untuk memenjarakan Salamah. Lingga ditarik sebagai peniup peluit dan identitasnya dirahasiakan untuk waktu yang tidak ditentukan. Salamah, saya yakin waktu itu adalah kekasih Anda, dijatuhi vonis dua tahun enam bulan penjara, tapi kemudian ditemukan meninggal sebagaimana Anda katakan tadi. Lingga tetap jadi pembocor rahasia. Tak ada yang tahu, kecuali ...”

“Saya tahu juga pada akhirnya, Pak Adam.”

Retno berbicara lebih pelan kini. “Maktum orangnya sensitif. Ia tak pernah tahan dengan perasaan sedih yang berlebihan atau keterkejutan yang mengecewakan. Saya yakin tak ada yang salah dengan kematiannya, dia memang bunuh diri. Tapi apa yang menyebabkan ia bunuh diri, adalah karena foto anak itu!”

Alina mulai menyiagakan tangannya melihat Retno begitu murka, terlihat dari matanya yang memerah dan otot-otot lehernya yang mencuat keluar.

“Saya mulai menelusuri jati diri Lingga yang sesungguhnya, kemudian akhirnya membawa saya ke sebuah keluarga yang paling dekat dengan dia, meskipun ini saja sebetulnya tidak ada hubungan sama sekali.”

“Sebentar,” Alina menyela. “Jadi, Anda bekerja di keluarga Pak Tomo …”

“Ya,” jawab Retno. “Sekadar upaya untuk menemukan Lingga ini, Bu Alina. Anda akan mencari kemanapun orang yang membunuh suami Anda, dan Anda akan menempuh cara apapun, termasuk yang paling sulit dicurigai orang. Jadi begitulah, kebaikan hati keluarga Tomo tak bisa saya rusak dengan pengkhianatan, makanya saya berhenti mulai hari ini.”

“Anda sama sekali tidak memperbaiki apapun.”

Komentar itu membuat Retno terdiam beberapa saat. Semua langkahnya tak lagi berarti kini.

Mobil itu hening sesaat. Lajunya makin pelan dan udara semakin dingin meninggalkan embun di dinding luar kaca. Radio di sepeda motor polisi pengawal gemerisik, berhubungan dengan dua mobil yang mengawal kendaraan lainnya menuju hilir.

Di dalam sedan keluarga itu, Tomo mendengarkan dengan seksama. Penjabaran yang masih sulit ia terima. Telepon genggam dengan pengeras suara aktif itu menjelaskan dengan jujur bahwa apa yang terjadi di mobil Adam benar-benar fakta yang tak bisa dipungkiri lagi. Pembantunya itu telah membunuh seseorang, dan bahkan masih menghormati mereka.

Adam lalu mematikan telepon genggam yang diselipkan di dalam saku jaketnya. Untuk selanjutnya perbincangan mereka lebih pelan dan teratur, menunggu Retno mengungkap lebih banyak lagi fakta. Kemudian tiba-tiba, Adam menepikan kendaraan dan berhenti.

“Bu Retno,” katanya. “Siapa yang membantu Anda dalam kejahatan ini?”

Retno tak langsung menjawab, tapi ketika Adam menarik kenop pembuka pintu, akhirnya ia bersuara. Jawaban itu tak benar-benar diinginkan Adam.

“Apa? Jadi Yoga itu anak Anda?”

Retno tak menjawab lagi dengan kata-kata.

Adam yang menyadari semua pengakuan itu terungkap begitu saja, kemudian menelepon komisaris Lusius yang sedang berada di mobil pengawal lainnya. Beberapa meter di belakang mereka, kendaraan kecil itu dihentikan. Yoga ditarik keluar kemudian ditangkap. Aini terlihat kebingungan namun langsung ditenangkan oleh Adam yang berbicara melalui telepon komisaris. Gadis itu kemudian dibawa masuk ke mobilnya yang disetir oleh seorang petugas kepolisian, mengarah ke hilir.

“Sekarang Anda bisa keluar sendiri, Bu Retno.” Adam lalu membuka pintu dan mengangguk kepada dua orang polisi yang sudah bersiaga di dekat situ. Retno ditarik keluar dan dipapah tanpa perlawanan.

Saat mengangkat tangannya ke udara dan menguap membiarkan suhu dingin tembus ke kerongkongannya, Adam merasa sedikit lega. Seorang petugas kepolisian kemudian menyodorkan telepon genggam yang langsung diangkat. Lusius mengatakan bahwa barang bukti itu valid dan bisa digunakan. Dan lagi, hasil visum sementara rumah sakit menyatakan ada kandungan sianida dan asam mefenamat dosis tinggi di dalam tubuh korban. “Kemungkinan diberikan lewat minuman, tapi masih kami selidiki. Terima kasih sudah membuat pelaku mengaku.”

Adam mengangguk puas, tapi ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Ada satu pertanyaan yang lupa ia tanyakan, ketika mobil polisi itu sudah berangkat ke hilir menuju kantor polisi di kota.

“Gawat!” Adam buru-buru masuk ke dalam mobil lalu mengangkat kembali teleponnya.

“Kapten, kapten!” katanya. “Siapa yang mengawal Tomo dan Ningrum?”

“Satu motor, kalau tidak salah.”

“Sial. Kontak mereka!”

“Tapi itu .. radio di luar jangkauan. Tidak bisa.”

“Ada apa lagi?” tanya Alina penasaran ketika Adam nampak sangat khawatir. Mobil bergerak cepat dan ban berderit memutar arah.

“Retno bekerja tidak sendirian.”

“Tentu. Yoga sudah ditangkap kan?”

“Bukan. Bukan Cuma Yoga. Tapi satu orang lagi, eksekutor.”

Adam kemudian mengeluarkan berkas-berkas hasil cetakan laman web yang menunjukkan nama sebuah studio foto hasil kolaborasi dua orang. Salah satu dari orang di dalam foto itu adalah Lingga.

“Dan orang ini …?” tanya Alina.

“Aslan Wistoyo, jurnalis foto yang sekarang bekerja untuk Kompas. Dia adalah rekan Lingga sewaktu masih bersama-sama mengendalikan bisnis ACCENT, studio jasa foto. Mereka berteman, tapi nampaknya Aslan kecewa karena Lingga memilih menjadi independen demi uang yang lebih besar. Akhirnya ia bertemu dengan orang yang disebut-sebut sebagai mantan istri dari Maktum Salamah.”

“Retno.”

Adam mengangguk.

Tomo melihat bayangan hitam mendekat melalui pantulan di kaca spionnya. Mobil sedan itu mendekat. Orang yang tak ia kenal, kini menyalibnya pelan. Sedan hitam itu tak menurunkan jendelanya sampai pintunya terbuka di sebelah kanan.

Ningrum cemas, ia menggenggam tangan suaminya di tuas gigi.

Orang itu berkaca mata hitam dan melangkah dengan tangan kanannya terselip ke saku celana. Ketukan di jendela Tomo. Kaca diturunkan.

Tomo terkejut, karena ternyata orang itu menyodorkan sebuah bundel kertas terlipat berisikan beberapa berkas perjanjian, bukti pembayaran, dan data kliping surat kabar. Setelah surat itu pindah tangan, orang asing itu kembali menjauh dan meninggalkan mereka. Mobil itu melaju tegas ke arah kota. Tomo kembali melihat kertas itu. Ada tanda tangan Retno dan seseorang bernama Aslan Wistoyo.

Tak lama kemudian, mobil polisi tiba bersama sebuah mobil kotak kecil yang dikendarai Adam. Tomo dan ningrum masih kebingungan dan Adam justru mengelus dada tanda lega.

“Ternyata ada orang yang bisa sadar di detik-detik terakhir. Tadi itu Aslan, dan dia sepertinya memutuskan untuk membatalkan rencananya terhadapmu.”

“Rencana apa, Adam?” Tanya Tomo cemas.

Adam melihat ke arah Alina, berpikir sejenak, kemudian tersenyum. “Bukan apa-apa. Maaf, kalau boleh saya ambil berkas ini …”

Dengan gesit Adam lalu menarik bundel kertas dari tangan Tomo dan menyerahkannya kepada Lusius yang baru saja turun dari mobil. “Biar polisi yang menyimpan semua fakta. Bagi Anda, yang penting sekarang sudah aman. Silakan pulang dan jaga diri baik-baik. Kami minta maaf soal Retno,”

“Tidak apa-apa. Ini semua perjalanan hidup. Terima kasih, Adam.”

Mereka berpelukan tanda persahabatan tetap berjalan, walaupun tragedi pahit telah terjadi dan membingungkan beberapa di antara mereka. Tak lama kemudian, tiba juga Aini yang diantar seorang petugas. Anak gadis itu lalu merangkul kedua orang tuanya sambil menangis.

Alina menyelipkan tangannya ke lengan Adam menyaksikan pemandangan itu. Udara menyeruak makin dingin ketika matahari tersembunyi di balik awan. Mereka kembali ke kendaraan masing-masing dan mengikuti langkah tegas polisi membawa mereka ke kantor daerah guna pemeriksaan lanjutan.

Kelip-kelip lampu sirene itu benar-benar menarik perhatian warga lereng Ketep. Ketenangan yang diharapkan tak pernah benar-benar datang. Tapi keluarga ini sepertinya lega, karena kebenaran terungkap meski melalui proses yang sulit. Aini tersenyum melihat orang tuanya dan berusaha melupakan Yoga yang pernah dicintainya. Sementara Tomo dan Ningrum belajar banyak dari tragedi kecil yang membawa momen keluarganya ke pelajaran berharga. Burung-burung terbang dari dahan pohon Tanjung dan pinus.

“Sepertinya pekerjaan polisi belum selesai,” kata Adam begitu saja menunjuk foto Aslan Wistoyo di dasbor.

“Ya. Biarkan mereka.” Alina membalas ringan namun tegas. “Sekarang kau harus istirahat. Kita, harus istirahat.”

Adam menghela napas panjang kemudian merekatkan jari-jarinya ke setir.

“Ayo liburan. Pantai, sepertinya akan jauh lebih tenang.”

*

SELESAI.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun