Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Foto Hitam Vila Sawangan (2)

13 Agustus 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:50 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13446113761725878480

Lingga, fotografer itu, meninggal di kolam. Kamera masih terkalung di tubuhnya.

Ada apa dengan Aini dan pacarnya?

(Sebelumnya ....)

Mereka semua telah selesai dimintai keterangan oleh kepolisian pada jam sepuluh malam itu. Tomo berusaha menenangkan Ningrum yang nampak gemetar. Meski pada kenyataannya Tomo sendiri terkejut dengan fakta tiba-tiba bahwa rumahnya yang baru pertama dibuka langsung jadi tempat kematian seseorang.

“Mungkin ini teguran, Pa,” kata Ningrum begitu saja saat masih bersandar ke pundak suaminya. Tomo yang mendengar itu tak kuasa berkata apapun, justru melempar pandang ke Alina yang duduk di sofa seberang kemudian melihat harap ke Adam yang sedari tadi mondar mandir menggosok dagunya. Aini dan Yoyga duduk di pojok ruangan itu saling menatap tanpa kata. Seperti ada perang dingin yang terjadi melilit kebingungan mereka atas situasi terbaru.

Pembantu rumah itu dapat giliran diwawancarai paling awal, karena ia adalah saksi pertama. Kini ia kembali ke ruangannya di pojok dapur dan coba membuat sesuatu yang bisa sedikit memulihkan perasaan.

Mereka tak banyak bicara malam itu sampai jam istirahat. Mayat korban sudah dibawa ke rumah sakit terdekat guna visum yang hasilnya baru akan diketahui paling cepat besok siang. Vila Sawangan berdiam ketika beberapa polisi mengawal gerbang depannya. Garis polisi seperti jadi pita pengganti dalam rencana peresmian yang mendadak berantakan.

“Aku tak pernah berpikir anak itu …” Alina berkata lirih ketika sudah bersama Adam di balkon lantai atas dan melihat pemandangan pintu depan dari jauh. Di bawah sana Tomo baru saja pamit istirahat kepada beberapa petugas polisi.

Adam yang tak bisa menenangkan pikirannya terus berkutat dengan kursi dan lantai. Duduk kemudian berjalan mondar-mandir lagi. Lalu duduk lagi. Maksud dari kalimat Alina barusan tentu saja benar di ruang logikanya. Tapi belum ada petunjuk sama sekali tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Tenggelam,” kata Adam seperti kepada dirinya sendiri. Matanya membesar tapi kosong. Jari-jarinya merapat di depan mulut. “Tidak. Anak itu tidak tenggelam. Mungkin serangan jantung …” Ia menggeleng lagi. Konstruksi belum terbentuk sama sekali.

“Ah, Adam. Mengapa kau selalu berpikir semua kematian adalah kesengajaan?”

Adam terdiam sejenak saat mendengar perkataan Alina. Dalam hati ia merasa tertampar, tapi apakah memang ia telah berpikir terlalu jauh soal ini? Ia coba menerka arah pikirannya sendiri sejak beberapa jam tadi.

Lingga ditemukan mengapung di atas air dengan posisi wajah di bawah. Semua pakaiannya masih lengkap kecuali sebelah sepatunya yang tergeletak di bidang rumput sempit di pinggir kolam. Semuanya nampak normal seperti kematian tenggelam atau kecelakaan air lainnya. Bisa saja anak itu sedang mencari gambar permukaan air yang memantulkan cahaya lampu ketika tiba-tiba kakinya tersangung dan badannya tercebur ke kolam. Tali kamera menyulitkannya berenang terlebih lagi karena ia berpikir untuk menyelamatkan kameranya terlebih dahulu.

“Tapi, apa benar anak itu tidak bisa berenang? Tenggelam di kolam yang tidak terlalu besar begitu.” Adam meraba-raba lagi pikirannya sambil berusaha mengingat kejadian sehari belakangan.

“Oh Adam, tolonglah.” Alina nampak mulai terganggu dengan reaksi Adam terhadap apa yang baru saja terjadi. Mantan suaminya itu hanya menatap tanpa suara.

Alina lantas pergi meninggalkan balkon itu dan mengarah ke dapur di lantai bawah. Segelas air hangat akan menenangkannya. Di dapur ia kemudian bertemu dengan Bu Retno yang nampak sedang menyiapkan beberapa bahan untuk sarapan pagi berikutnya.

Dapur itu tidak terlalu terang. Mungkin karena biliknya juga yang tidak begitu besar. Dengan ruang tamu hanya dibatasi koridor kecil yang di tengahnya terhubung jalan kecil menuju halaman samping. Di ujung terdalam koridor itulah terdapat beberapa rak dan sebuah meja tembok setinggi pinggang tempat dua kompor gas tertata, berdekatan persis dengan dinding bambu di belakangnya tempat panci dan wajan tergantung. Di bagian lain terdapat beberapa laci untuk bahan-bahan kecil seperti bawang dan merica, wastafel, dan lemari es yang pintunya setengah terbuka memperlihatkan warna-warni sayur dan beberapa biji telur.

Di meja rendah di bagian tergelap dapur itu, terdapat beberapa majalah bisnis dan kertas-kertas tipis yang nampak sebagai resi pembelian. Alina berdeham membuat Retno terkejut.

“Eh, Bu Alina. Maafkan saya,” katanya ketika langsung berjalan ke arah meja pendek dan mematikan radio kecil yang sedari tadi bersenandung dengan suara pelan. “Musik lembut selalu bisa menenangkan saya saat syok, Bu. Maaf,” kata pembantu itu kemudian menanyakan apa yang dibutuhkan Alina. “Akan saya ambilkan air hangat dan perasan jeruk. Ibu bisa tunggu di kamar atas.”

Tapi Alina memutuskan untuk berbincang sejenak, yang nampaknya membuat Retno kikuk. Perbincangan di ruang dapur dengan tamu istimewa belum pernah dilakoninya. “Sudah tidak apa-apa,” kata Alina. “Bu Retno suka baca majalah bisnis ya?”

Pembantu itu tersipu sambil membereskan majalahnya yang berantakan sampai ke lantai. “Dulu saya pedagang di kampung, Bu Alina. Tapi sejak suami saya meninggal, saya berhenti.”

Alina menyatakan simpatinya, tapi sepertinya Retno telah lama melupakan kesedihannya itu. “Saya mulai bekerja di keluarga Pak Tomo sejak lima tahun lalu. Waktu itu suami saya sedang sakit, dan keluarga Pak Tomo adalah satu-satunya yang sering datang menjenguk. Saya merasa mereka ini orang baik, dan atas tawaran mereka juga, saya memutuskan bekerja sebagai pembantu rumah tangga mereka. Saya tak berpikir banyak, dan langsung mengiyakan.”

“Apa hubungan suami Anda dengan Pak Tomo?”

Retno tak langsung menjawab pertanyaan itu setelah beberapa detik. “Pak Tomo pernah memodali usaha suami saya, tapi itu berpuluh tahun lalu ketika salah satu dari mereka masih kesulitan. Suami saya berusaha pertanian waktu Pak Tomo melayani jasa ekspedisi. Krisis beras dan harga jagung yang turun drastis karena pergeseran musim, usaha kami merugi sampai hampir bangkrut. Pak Tomo menutup sebuah cabang usahanya guna membantu suami saya. Itu yang membuat saya tersentuh, Bu.”

Retno tersenyum sambil coba menutupi kesedihan masa lalunya. Alina yang mendengarkan dengan cermat hanya bisa mengangguk paham ketika meletakkan cangkir jeruk panas ke atas meja. “Sepertinya vila ini juga cocok menyatukan keluarga kembali. Suasananya di dekat daerah pertanian, pasti sangat berarti bagimu.”

Retno mengangguk. Tapi sebelum perbincangan lebih jauh, Alina menggunakan kesempatan untuk bertanya sesuatu yang langsung mengejutkan pembantu itu. “Maaf, Bu Retno. Tapi kalau boleh tahu, suami Anda meninggal karena apa?”

Retno tergelak, kemudian terdiam. Pandangannya merapal permukaan meja sembari tangannya saling memijat. Alina baru saja berusaha membatalkan pertanyaannya barusan ketika tiba-tiba pembantu itu berkata lirih. “Bunuh diri.”

Alina terkejut, terlebih karena melihat Retno menundukkan wajah sampai bahkan matanya pun terselip di dalam bayang kegelapan. Alina kembali minta maaf lalu pamit kembali ke kamarnya. Pembantu itu diam saja.

Saat kembali ke balkon dan mengintip ke kamarnya, Alina mengerutkan keningnya karena tak ada siapapun di sana. Adam menghilang entah ke mana. Kemudian tiba-tiba terdengar lagi suara riuh dari kejauhan. Alina berjalan ke dalam kamar kemudian mengintip lewat lubang jendela yang menembuskan penglihatannya ke sebuah bukit di belakang vila dan lapangan rumput tanam kecil yang melintang miring di bawah. Saat coba memperjelas pemandangan itu, Alina sontak berteriak.

“Hey!”

Di taman bawah itu, Yoga lantas berlalu pergi. Meninggalkan Aini yang menangis sendiri. Gadis itu merasa terpukul, tapi terkejut karena teriakan dari jendela belakang itu menghentikan aksi kekasihnya yang nyaris mendaratkan tamparan ke wajahnya.

Alina berlari ke bawah dan langsung memeluk gadis itu rapat-rapat.

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun