Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Nature

Dunia Sorot Hutan Indonesia

7 Maret 2013   05:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:11 2674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seekor Orangutan ditangkap di Tripa, Aceh, salah satu lahan konservasi terbesar untuk spesies ini. (guardian.co.uk/Paul Hilton)

[caption id="" align="alignnone" width="610" caption="Seekor Orangutan ditangkap di Tripa, Aceh, salah satu lahan konservasi terbesar untuk spesies ini. (guardian.co.uk/Paul Hilton)"][/caption]

Tingkat alih fungsi ataupun penggundulan hutan di Indonesia sedang disorot seksama oleh dunia. Betapa tidak, Indonesia yang separuh wilayahnya terdiri dari hutan (primer dan terkelola) menyumbang 18,7 miliar ton emisi karbon dan efek rumah kaca, hanya satu tingkat di bawah Brasil di urutan pertama. Demikian data Food and Agricultural Organization (FAO) melingkup termin waktu sejak 1990 hingga 2010.

Indonesia yang pada akhir 1890-an dikagumi sebagai paru-paru Dunia dengan Borneo sebagai sumber oksigen terbesar, kini terancam penggundulan dan alih fungsi hutan yang memprihatinkan. Sebetulnya, konversi hutan menjadi lahan tanam produksi kelapa sawit industri yang selama ini diduga sebagai “pelaku utama” penggundulan hutan di Sumatra, tak lagi sendiri. Ada beberapa faktor utama lain yang tak begitu diperhatikan.

Studi terbaru yang dirilis Mongabay, lembaga periset dan pemerhati hutan menjelaskan bahwa setidaknya 10% dari seluruh penyebab alih fungsi hutan adalah aktivitas manusia sehari-hari (bercocok tanam/berkebun, membangun pemukiman dan jual-beli lahan). Greenpeace yang selama ini gencar melakukan kampanye perlawanan terhadap penggundulan hutan di Sumatra dan menentang pertambangan batu bara di sebagian selatan Indonesia juga setuju bahwa industri kelapa sawit, kertas dan kayu tidak lagi bermain sendiri di Sumatra dan Kalimantan.

FAO mencatat sebesar 51% atau 94.432.000 hektare lahan Indonesia adalah hutan. Setengahnya adalah hutan primer dan sebanyak 3.549.000 hektare hutan perkebunan. Antara 1990 hingga 2010, Indonesia kehilangan 1,02% luas hutan per tahun, yang berarti total penggundulan atau alih fungsi dalam 20 tahun terakhir sebesar 20,3%. Kementerian Kehutanan hingga tahun 2012 telah mengeluarkan izin alih fungsi hutan seluas 342.709 hektare kepada industri dan perseorangan (The Jakarta Globe, 7/8/2012). Dirjen Pemetaan Hutan Joko Mulyono pernah mengatakan, izin alih fungsi hutan diutamakan untuk sasaran penanaman tanaman produksi masyarakat dan pengembangan industri gula, meski ia tak memungkiri bahwa sebagian besar pemohon alih fungsi ini adalah industri yang mengolah minyak sawit.

[caption id="" align="alignnone" width="568" caption="Indonesia berada di urutan kedua penyumbang emisi terbesar di dunia. (Mongabay.com/FAOSTAT)"]

Indonesia berada di urutan kedua penyumbang emisi terbesar di dunia. (Mongabay.com/FAOSTAT)
Indonesia berada di urutan kedua penyumbang emisi terbesar di dunia. (Mongabay.com/FAOSTAT)
[/caption]

Nah, pemerintah Indonesia berada di tengah-tengah dilema supervisi hutannya sendiri. Moratorium alih fungsi hutan yang disasarkan ke industri-industri kelapa sawit dan sekawanan yang berskala besar hanya berlaku dua tahun sejak 1 Januari 2011. Ini berarti, masa berlaku moratorium tersebut telah habis pada 1 Januari 2013 lalu. Pemerintah masih kekeuh bahwa perusahaan industri skala besar di Sumatra dan Kalimantan akan komitmen pada janji mereka untuk melakukan program penanaman dan penghijauan di setidaknya setengah lahan industri dalam termin-termin yang disepakati. Namun nyatanya tidak semua seperti itu. Dengan moratorium yang belum diperpanjang ini, hutan di Sumatra dan Kalimantan kembali akan menyambut industri-industri yang sudah punya alasan kuat mengapa mereka menunggu selama dua tahun yang “tidak produktif”.

Dari 64 juta hektare hutan Indonesia, sekitar 34 juta hektare di antaranya adalah hutan dilindungi, diharamkan untuk dibajak dalam bentuk apapun atas alasan apapun. Greenpeace berpendapat bahwa angka ini sudah kelewat batas dan pemerintah meninggalkan lahan terbuka untuk dialih-fungsikan bahkan di saat-saat moratorium berlaku. Pihak Kemenhut tidak banyak membalas dan hanya berpendapat bahwa Instruksi Presiden (INPRES) yang dikeluarkan perihal moratorium ini mengandung sanksi tegas bagi para pelanggarnya.

PT SMART, salah satu perusahaan raksasa pengguna terbesar hutan di Indonesia patuh terhadap moratorium tersebut. Direktur Daud Dharsono mengakatan tahun lalu bahwa moratorium ini merupakan kesempatan baik bagi pemerintah dan swasta untuk mengevaluasi penggunaan hutan dan mengembangkan skema perlindungan yang lebih baik. Senada dengan Daud, pihak istana menegaskan bahwa moratorium penggunaan dan alih fungsi hutan dibuat bukan untuk menghalangi perusahaan-perusahaan minyak nabati yang selama ini beroperasi. Staf ahli bidang Perubahan Lingkungan Agus Purnomo menambahkan, “Pemerintah tidak melarang industri minyak kelapa sawit, hanya saja merekomendasikan industri-industri ini untuk memperhatikan hutan sekunder.” Hutan sekunder dirujuk pada semua wilayah yang bisa dimanfaatkan selain hutan primer, atau dikembangkan sebagai wilayah alternatif pengembangan industri.

Harapan hidup

Hutan Indonesia adalah harapan hidup  untuk tidak hanya manusia dan industri, tetapi juga kehidupan satwa dan flora yang beragam. Sayangnya, tercatat sebesar 80% dari total luas lahan hutan gambut di Taman Nasional Tripa, Aceh telah rusak dan mengancam populasi orang utan (Guardian, 14/2). Perburuan, perusakan sampai konflik antar-manusia berada di daftar teratas ancaman keberlangsungan hidup orang utan Sumatra. Air hutan kering karena industri, sementara pohon-pohon yang ditebang tak lagi menjamin ketersediaan mineral cukup untuk 10 tahun mendatang. Pihak Sumatran Orangutan Conservation Programme mengklaim, moratorium yang ditetapkan pemerintah tak menjamin orang utan untuk tetap bisa hidup di hutan, nyaris percuma.

Pusat Monitor Konservasi Dunia (WCMC) mencatat Indonesia memiliki 3.305 (belum diperbaharui sejak 2011) spesies amfibi, burung, mamalia dan reptil. Sebanyak 31,1% dari jumlah ini adalah satwa endemik, yang berarti belum ditemukan di negara manapun, dan 9,9% terancam punah. Wilayah tropis Indonesia juga merupakan rumah dari 29.375 spesies tanaman vaskular, terdiri dari 59,6% flora endemik. Kesemua kekayaan flora-fauna Indonesia ini sudah dilindungi oleh organisasi konservasi dunia sesuai konsensus yang diratifikasi sejak beberapa dekade lalu.

Saat orang-orang di Indonesia sedang gamang, berita mengharukan justru datang dari Kebun Binatang San Fransisco, Amerika Serikat. Pada 15 Februari lalu, SFZoo berhasil menyambut anggota baru mereka, seekor anak harimau Sumatra. Leanne, nama anak harimau lucu itu, jadi satu lagi harapan dari tersisa 400 ekor spesies Harimau Sumatra di seluruh dunia. Kelahiran langka ini yang pertama sejak 2008 dan menjadi berita baik untuk kalangan pecinta satwa terlindungi.

[caption id="" align="alignnone" width="460" caption="Lianne dan Larry. (Reuters, SFZoo)"]

Lianne dan induknya. Reuters
Lianne dan induknya. Reuters
[/caption]

Optimisme terhadap keberlangsungan harimau Sumatra mengkhawatirkan lima tahun belakangan karena habitat asli mereka tak lagi stabil, bahkan memprihatinkan. Leanne saat ini “diurus” oleh seekor jantan berusia 6 tahun bernama Larry. Harimau Sumatra bersifat endemik, merupakan yang terkecil dari seluruh enam jenis harimau di dunia.

Harapan terhadap kebergantungan satwa kepada hutan-hutan di Indonesia memang semakin kecil. Akan tetapi ini belum berakhir. Dunia sedang seksama menyorot setiap pergerakan aktivitas pemanfaatan hutan di Indonesia, karena banyak pihak tidak mau keseimbangan ekosistem dunia terancam hanya karena “paru-paru” dan “jantung”-nya rusak. Pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi kembali semua peraturan yang melingkup penggunaan hutan, pengembangan industri hasil hutan dan perlindungan ekosistem. Tujuannya harus lebih spesifik, jitu dan tanpa celah.

[caption id="" align="alignnone" width="568" caption="Dinamika alih fungsi hutan Indonesia (Forest watch Indonesia/MONGABAY)"]

Dinamika alih fungsi hutan Indonesia (Forest watch Indonesia/MONGABAY)
Dinamika alih fungsi hutan Indonesia (Forest watch Indonesia/MONGABAY)
[/caption]


Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun