*
KACA BERTUBRUKAN DENGAN KACA. Satunya pecah di tengah dan yang lainnya hancur tak bersisa. Davina melihat dirinya benar-benar hancur, lebih parah dari bayangan yang dilihatnya di retakan-retakan cermin. Kakinya berdarah menginjak butir-butir gelas, tapi sakit paling terasa adalah masa lalu yang pernah indah.
"Pergi saja. Kau memang tak pernah peduli dengan keadaanku." Gadis itu akhirnya menurunkan nada bicaranya hingga tingkat paling lemah. Mungkin saja ia bisa menerima diri sendiri dalam kesendirian untuk sementara waktu. Membiarkan cintanya pergi seperti anak yang meninggalkan rumah. Ruangan itu tiba-tiba dingin dan Davina membalut sendiri lengannya dengan telapak tangan.
Laki-laki itu, setelah pertahanan pendapat -yang sejatinya lebih banyak pengutaraan alasan-akhirnya pergi membawa punggungnya. Ia sempat ingin memeriksa telapak kaki yang menempelkan darah di lantai marmer putih, tapi Davina menolaknya tanpa kata-kata.
Perempuan itu berbalik menghadap kaca, melihat butir sisa air hujan yang menyaksikan perasaannya dari balik kaca. Mungkin dunia selalu bersimpati pada perempuan yang bersedih, karena memang ia tak punya tempat pengaduan lain. Ia berpikir masih memiliki seseorang yang memahaminya dengan hati, tapi saat tubuhnya berbalik, tak ada lagi kekasihnya di kamar itu. Satu-satunya yang berbeda adalah jurnal perjalanan bernama terang, terbungkus pita merah meski halamannya sedikit basah.
**
Duabelas hari berlalu dan Davina memilih menghabiskan waktu dengan menyelesaikan penerjemahan dua naskah sesuai pesanan penerbit kecil. Satu buku  bercerita fantasi tentang dunia luar biasa di bawah papan lantai sebuah gubuk. Sementara buku satunya menceritakan tokoh laki-laki yang tak pernah ingin menikah, memilih memulihkan keluarga orang lain sebagai detektif orang hilang sementara ia sendiri hidup dalam dunia yang tak begitu terang. Buku kedua ini cukup bisa membawa Davina memikirkan dunia yang lebih bermakna. Membantunya menyadari bahwa kesedihan akan diobati cepat atau lambat, dan bahwa obat kesedihan itu, terlepas dari kapan waktunya, pasti akan datang melalui seseorang. Pembawa obat hati, mungkin. Davina tersenyum di depan mejanya sendiri, menembuskan pandangnya keluar jendela ketika tiba-tiba memfokuskan penglihatan. Ada sosok di jalan bawah sana yang mengganggu pikirannya tiba-tiba.
**
Perempuan itu berusia setidaknya enampuluh, dilihat dari badannya yang seperti pernah gemuk karena daging di sebagian tungkainya telah hilang, meninggalkan kulit menggantung pendek. Meski begitu emak tua itu jelas pernah melahirkan, atau setidak-tidaknya menikah, karena sisa kegemukannya masih ada. Kepalanya ditutupi kain hingga membentuk semacam sorban yang melindungi rambut tebal yang masih hitam berkilau. Bajunya lebih modern dari usianya, kardigan khusus dari wol yang sekaligus penghangat, sementara di dalamnya manset tipis bercorak bunga melengkapi dandanannya yang tak muluk-muluk. Rok berlipit abu-abu membuat ia lebih mirip suster gereja, kecuali ia tak mengenakan kalung salib. Gerak tangannya lembut dan hati-hati, sesekali ia kembangkan payung berwarna peraknya jika gerimis turun, kemudian menutupnya lagi saat membuka buku bacaan di pangkuannya.
Bukan buku itu yang  menarik perhatian Davina hingga berani menghampir perempuan itu.
"Setengah Penuh Setengah Kosong itu buku yang bagus, Nek." Davina berbasa-basi, berharap sapaannya terbalas. Dan benar saja. Perempuan itu menghentikan bacaannya dan menyilakan gadis itu duduk di sampingnya.