[caption id="attachment_147743" align="alignnone" width="300" caption="Ilustrasi (daydreamer6123.deviantart.com)"][/caption] *** Lady Papyrus Kompasianer sejak 9 Maret 2010. Layar itu berpendar dalam kegelapan. Tak banyak bunyi malam ini. Ketikan-ketikan lancar terdengar nyaris beraturan, seperti derap langkah keramaian yang menuju persimpangan jalan. Lalu terdengar udara terhirup melewati rongga yang basah. Wanita muda itu bersin untuk ketiga kalinya dalam lima menit terakhir. "Romansa Utopis" Kata demi kata terketik. Mata wanita itu berkedip kadang cepat kadang lambat. Kedua telapak tangannya sama sekali tak terangkat dari ujung bidang terdekat komputer lipat warna hitam yang nampak keperakan di bawah cahaya purnama pertama. Jendela sengaja tidak ditutup rapat. Angin masuk melewati sela-sela kerainya meski udara di dalam ruangan berdinding kayu mahoni itu tak kunjung dingin.
Aku terbayang sebuah tangga. Tumbuh dari akar rumput hijau, ujungnya menghilang di awan yang kebiruan. Dirimu yang menapak sesaat telah berlenggok di barisan tengah tangga, tepat di puncak Hotel Aston yang tertinggi. Aku baru saja menginjak anak tangga nomor satu, lalu pikiranku berkata tidak. "Terlalu utopis", gumamku. Tapi kau tak mendengarkan. Sekarang saatnya kugorok semua tungkai tangga ini, hanya agar kau kembali kepadaku.
Alinea ketiga tidak begitu jelas. Wanita itu menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, sekali ke atas. Ia lalu mundur dan berdiri. Layar monitor sudah menayangkan tulisan ketiga malam itu. Pukul 23.45. Telepon berdering. "Halo." "Bagus. Kita butuh lebih banyak konten untuk yang satu ini. Kuharap kau bisa memahami situasi yang kualami. Terima kasih." Kucing itu tertidur pulas. Tak didengarnya sama sekali telepon yang tiba-tiba dibanting ke atas kasur dan teriakan dangkal seperti tertahan di kerongkongan wanita itu. Ia lalu bergegas kembali merapatkan diri ke kursi dan membuka laman demi laman. Jari telunjuk kanannya lincah mengikuti pergerakan bola matanya yang mulai berair. Andreas Malik Kompasianer sejak 1 Januari 2010. "Mati kau! Mati kau!" Wanita itu mengumpat sendiri. Ditekannya tetikus seperti menggenggam sebuah batu yang siap ia lemparkan ke dalam monitor. Napasnya memburu. Kemudian mulai melambat seiring matanya perlahan sayu. "Sayang.... Oh... Sayang.... Apa yang harus kulakukan?" Wanita itu, dalam baju kemeja panjang yang menutup hingga tengah pahanya, tergeletak dalam keresahan hingga kantuk menyergapnya. Kedua lengannya terlipat mengalas pipinya yang merapat jatuh. Kaki-kaki jenjangnya berayun tertekuk di depan kaki kursi. Udara yang mengalir masuk kini lebih dingin. Kerai-kerai kain jendela mengembang dan berombak-ombak. Wanita itu pasrah dalam rasa lelahnya. *** Bunyi televisi cukup kencang untuk menutupi bunyi riuhnya lalu lintas kendaraan di depan. Wanita itu berjalan lunglai dan menggamat saklar lampu satu per satu hingga semuanya padam. Rumah dua lantai itu sebenarnya mungil, hanya sekitar 80 meter persegi. Namun terlalu besar untuk ditinggali seorang wanita muda yang lebih sering sibuk dengan hanya dua ruangan. Jendela dibuka dan seorang tetangga melempar senyum di bawah terangnya cahaya matahari Desember yang sejuk. "Selamat pagi, Ibu Desi." "Selamat pagi," kata Desi sang pemilik rumah. Dua bilah jendela lalu ditahan tetap terbuka. Udara sejuk dari dua pohon ketapang dan satu pohon jambu air menyeruak memberi pengobatan dini bagi kekotoran udara ruangan dan keresahan pikiran penghuni rumah. Saat Desi mengangkat pengendali jauh televisi untuk merubah level bunyi ke tingkat lebih rendah, telepon kembali berdering. "Aku tahu rahasiamu...." "Halo? Siapa ini?" "Kau orang picik yang menyembunyikan setan di balik kecantikan. Tunggu saja, dan kau akan menemui kehancuran." "Jangan bercanda ya Mas. Ini siapa?" "..." "Halo...! Halo...!" Telepon terputus. Siang harinya, Desi sudah duduk di ruang tunggu Pos Pelayanan Terpadu Kepolisian Daerah Yogyakarta. Kedua tangannya saling memijat dan merapat di atas kedua lututnya. Seorang wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya menyapa ramah dan menanyakan perkara yang sebenarnya hanya bagian dari basa-basi penghilang kikuk. Desi mengangguk ramah dan hanya menjawab beberapa kata sebelum kembali menerawang ke atas lantai paket di depannya. Pikirannya baru kembali ke dunia nyata saat seorang petugas polisi memanggil namanya. "Ada masalah apa, Bu?" "Saya diteror, Pak." "Diteror? Maksudnya?" "Saya ditelepon orang asing yang mengancam akan membahayakan jiwa saya." "Maksudnya, ada yang mengancam akan membunuh Anda?" "Saya kira begitu." "Bisa diceritakan bagaimana kejadiannya?" Setelah terdiam beberapa detik, akhirnya Desi menegakkan badan dan menatap mata petugas itu dalam-dalam, membuatnya salah tingkah. "Kejadiannya berawal tadi pagi... Sebetulnya.... sejak tiga bulan terakhir." Petugas itu mendengarkan dengan saksama, namun pada akhirnya ia hanya menggeleng dan tersenyum. Desi melangkah keluar dari kantor polisi dalam diam. Saat mengendarai mobil pun ia seperti tertidur dan sedang berada di tempat yang jauh. Kedua lengannya lemas, matanya yang sayu dibiarkan kelihatan, tak seperti biasanya mengenakan kacamata lebar berlensa gelap. Lalu tiba-tiba, sebuah mobil menyalipnya dari kanan di jalur cepat. Ia membunyikan klakson berkali-kali. Tapi apa yang ia lihat di kaca belakang mobil itu membuatnya terkejut. Matanya melotot, napasnya kembali memburu. Tangannya tak bergerak. Lampu merah menyala. Andreas Malik. www.kompasiana.com/papyrusman Desi menggelengkan kepala beberapa kali. "Tidak mungkin...." Ia panik. Beberapa kali berusaha menutup mata, namun tak berhasil. Tulisan itu tetap ada di sana. Ia lalu mencoba tenang, tangannya ia gerakkan sedikit demi sedikit dalam kebimbangan. Jempol kanannya sudah berada tepat di atas tombol klakson, namun belum sempat ia menekannya, suara klakson lain terdengar bersahutan dari arah belakang. Lampu berubah hijau. Dan Desi melihat kaca belakang mobil di depannya itu. Tak ada tulisan di sana. Siang itu, ia kembali ke rumah dan langsung merebahkan badannya di atas kasur. Pikirannya melayang, memikirkan tentang Makam Shah Jehan di Agra dan Puncak Monas yang nampak miring. Ia mencoret beberapa kata dengan tinta berwarna-warni di buku diarinya, kemudian terlelap. Dalam bayangan itu, Pria berbadan tegap mendekat kemudian jongkok dan di depannya. Pria itu lalu menunjukkan senyuman ramah, lalu menepuk pundaknya. "Sayang, sudahlah. Keluarkan saja semua. Tunjukkan siapa dirimu." Dirinya yang meringkuk memeluk lutut di bawah tembok berlapis tumbuhan merambat itu, lalu mengangkat wajah. Ia membalas senyum pria itu, merasakan belaian telapak tangan yang bergerak-gerak teratur di pundaknya, lalu menutup mata menikmatinya. Belaian itu kemudian hilang, ia mencarinya, tapi apa yang nampak di matanya sungguh tak mengenakkan. Pria itu berjalan cepat, menjauh, dan mengarah ke sabuah tembok berbentuk lingkaran. Tak menoleh sedikitpun, pria itu menceburkan diri ke dalam sumur dengan kepala jatuh terlebih dahulu. Desi tak bisa berkata apa-apa. Suaranya tertahan. Pundaknya sontak terasa sakit, ada bekas biru yang samar di sana, lalu dunianya menjadi sangat silau, tapi terasa suram. Ia terbangun dari mimpinya. Satu mimpi yang membuatnya berkeringat hingga terasa seluruh tubuhnya menggigil. Pukul 19.40. Jam berbentuk hamster itu seperti meledeknya. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia memberanikan diri untuk bangkit dan duduk di sisi kasur. Ia lalu berdiri kemudian menunduk ke lantai. Sebuah kotak berwarna merah tua dikeluarkan dari bawah ranjang tempatnya bermimpi. Desi membuka kotak itu setelah menimbang-nimbang. Di dalamnya, selembar surat menemani beberapa asesori berbentuk hamster dan sebuah kunci. Desi membaca surat itu. Ada dua nama di sana. Desi Furqaya dan Andreas Malik. Di bawah kedua nama itu, tertulis dua kata yang membuatnya tergelak. "Dua Penulis" Sungguh ia memiliki banyak gambaran masa lalu yang tak mengenakkan terkait kata-kata itu. Desi lalu menutupnya rapat-rapat, mengikatnya dengan pita putih, lalu ia letakkan di atas kasur. Ia memelototi kotak itu selama sepertiga malam. Ia lebih banyak bergerak sendiri dan tertawa sendiri.  Berbisik kepada dirinya sendiri sedikit mengobati kegelisahan yang membuatnya meneteskan air mata. Kucing Persia itu hanya bisa melihatnya hingga tertidur. Kucing itu senyap seperti biasa. *** Dalam keramaian, Desi merasakan dirinya berdiri sendirian penuh ketegasan. Sikapnya mantap. Ia menghirup dalam-dalam angin bulan Januari yang sejuk mengantarkan musim hujan menemui ujungnya. Gaun terusan dengan bagian rok yang lembut menemani langkah kaki jenjang yang berlapis sepatu hak tinggi. jejak-jejak berbentuk lubang kecil berbaris panjang mengikuti langkahnya. Rambut berwarna coklat nampak kontras dengan birunya air yang mengombak. Suara angin mengalir damai di telinganya. Langkahnya mendekat. Layang-layang yang melayang jauh di atas kepalanya seperti mengiyakan. Desi berjalan lurus sambil melepaskan sepatunya. Roknya basah diterpa ombak. Ia lalu menunduk dan merapatkan kedua tangan ke atas air. Kotak merah tua itu lalu mengapung dan bergoyang-goyang menjauh ketika wanita itu kembali menegakkan badannya. Beberapa orang melihatnya dari jauh tapi tak memiliki nyali untuk mendekat. Pikirannya kini damai. Kegelisahannya sontak pergi begitu kotak itu nampak semakin kecil terhisap ombak. Senyum terangkat dari kedua bilah bibir yang merona dilapisi pewarna lembut yang menampakkan permukaan kulitnya yang segar tak sedikitpun retak. Angin berhembus kencang. Lalu saat semua suara menghilang di telinganya, ia hanya bisa mengatakan kalimat pendek. "Andreas, kini kau telah tiada. Dan aku memulai yang baru." Wanita itu merebahkan dirinya ke arah depan. Wajahnya terhempas keras di atas air asin yang tiiba-tiba beriak bercampur lumpur perairan dangkal Laut Selatan. Tak sedikitpun napas bisa ditarik, tubuh itu mengapung begitu saja, sedikit meronta, lalu terdiam dalam kedamaian panjang yang membawanya mengikuti arus yang tegas. Rambut cokelat bersatu dengan lembutnya ganggang dan kaki-kaki ubur-ubur. Ikan-ikan kecil menyelam dan bermain di helai kain lembut yang menutupi tubuh indahnya. Keajaiban Tuhan, tubuh itu hanyut berlawanan arah dengan kotak merah berbalut pita putih. Jauh di atas perairan yang biru, sebuah kertas terapung. Permukaannya basah namun tulisannya terlihat jelas.
Dunia, Aku sebetulnya tak pernah ada. --Andreas Malik
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H