Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Penulis Surat

14 Juli 2012   09:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:58 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

*

Romli punya pilihannya sendiri. Ia memilih untuk tidak memilih. Keyakinan mantap yang ia serap mentah-mentah dari kebiasaan orang tuanya dulu. Orde baru membentuk keluarganya hingga berketetapan sebagai pendengar, bukan pembicara. Sebagai penerima, bukan pemberi masukan. Akhirnya Romli pun ikut padu, menerima dirinya sebagai seseorang yang tak mau mengurusi orang lain. Dalam kelimpangan masa lalu ia menikmati perannya di masa kini. Menjadi orang tua tunggal membiayai sekolah si buyung yang kini naik kelas empat.

“Mau kirim surat lagi, Pak?”

Romli mengangguk sambil mengucek-ucek rambut anaknya yang menengadah. “Ya, Nak.”

“Tapi surat-surat Bapak tak memberi kita uang,” protes si buyung. PIkirannya tumbuh lebih masuk akal seiring volume otaknya makin besar.

Romli terenyak oleh komentar itu. Ia perhatikan tulang sisa ikan cucut di piring plastik. Betapa anaknya tumbuh sebagai pemikir. Kemudian ia lekas-lekas menyeberangkan si buyung hingga anak bersandal itu melambai sambil berteriak-teriak, kemudian  menghilang di tikungan.

Romli mengoreksi suratnya di atas tanggul. Pensil kayunya ia serut lebih tajam kini. Pensil yang lebih cocok dipakai mencoret kusen pintu.

Hari ini ada yang spesial, tulisnya.

Si buyung naik kelas empat, dan pertama kalinya ia membuatku terkejut dengan komentarnya yang masuk akal.

“Surat-suratmu tak memberi kita nasi,” katanya coba. Apa aku tidak terkejut?

Kalau kau ada waktu tengah malam nanti, tolonglah aku. Agar bisa memberikan jawaban atas protes si buyung.

Romli.

***

Kota meredup.

Jakarta menggelayut seperti mencari ekornya sendiri. Kebingungan untuk mengetahui ke mana saja jejaknya ia tinggalkan dengan kibasan ekor dan sapuan kulit perut. Ia selalu bergerak namun tak pernah tahu apa yang telah ditinggalkannya. Kamis petang saat udara mendingin, Razak menghela napasnya sambil berkacak pinggang di depan jendela yang dua kali lebih tinggi dari tubuhnya. Di bawah sana kendaraan bergerak seperti kunang-kunang yang kehilangan sayap. Menggeliat seperti semut yang bingung menemukan lubangnya sendiri.

“Kita harus ambil keputusan ini, Pak,” sapa seorang muda yang berdiri di belakangnya. Pemuda berkulit putih dengan kacamata yang merapikan citranya sebagai insan terdidik abad kedua puluh satu. Beberapa kali ia berdeham agar atasannya itu mendengar apa yang baru ia katakan.

“Pak?”

Razak berbalik badan, lalu tersenyum singkat. Ia menepuk pundak asistennya itu dengan telapak tangan kirinya, kemudian berlalu setelah menyambar jasnya dari kepala kursi. “Siapkan berkas likuidasi kita, Li. Mulai sekarang kaulah yang memimpin perusahaan ini.”

Reformasi ekonomi tak menjanjikan apa-apa. Krisis berlalu, begitu kata pemerintah. Tapi Razak tahu betul bahwa kerapuhan sistem ekonomi membuat banyak perusahaan akan benar-benar gulung tikar dan merumahkan ratusan ribu pekerja. Ia melepaskan perusahaannya, dengan beberapa syarat agar TEXCO tetap hidup. Ia lalu memilih berdiam di kolam rumahnya. Merasakan dinginnya air di telapak kakinya sambil menunggu segelas perasan jahe yang segera diantarkan pembantunya.

Surat terbaca.

Razak tersenyum, lalu tertawa lepas. Bulan seakan-akan dibuat bingung oleh derai tawanya. Lalu kembali hening setenang permukaan air yang ditinggalkan serangga malam.  Razak membalas pesan itu.

Sahabatku Romli, ia memulai. Pena Hero adalah teman setianya sejak Suharto naik takhta. Meski tangannya gemetar akibat tremor alamiah, ia tahu betul apa yang akan ditulisnya di lembaran itu.

Si buyung sudah menemukan dirinya sendiri. Itulah mengapa dia berkata seperti itu.

Tapi, apakah kau juga sudah? Atau jangan-jangan, kau merasa kehilangan sesuatu yang berharga?

Teruslah berjalan di jalur yang kau inginkan, Romli. Kita hidup di zaman ketika tiap orang mengambil keputusannya sendiri. Orang-orang berjuang untuk hidupnya sendiri. Untuk itulah kau menang karena memiliki keluarga kecil yang menuntunmu setiap kali melenceng. Seperti si Buyung.

Tapi aku?

Razak berhenti sejenak. Ia merasakan napasnya melambat, darahnya nyaris beku. Ia tarik dua kakinya dari dalam air, melilitkan baju hangat ke badannya, menggigil selama beberapa detik, lalu memandang langit.

Aku sendirian.

***

Romli tersenyum membacanya. Meski begitu ia bersimpati tanpa bicara. Lagipula siapa yang akan mendengarnya.

Tiga tahun berlalu dan ratusan surat sudah terkirim dan terbalas. Romli merasa ada sesuatu yang didapatkannya. Pun, ia merasa rela harus melepaskan banyak hal tentang dirinya.

Si buyung kini berseragam biru. Seperti mahkota yang bersinar di atas kepala anak itu. Romli menyeka air matanya karena anak semata wayangnya telah dibawa pergi oleh orang lain. Beasiswa ke Yogyakarta ia syukuri sampai ke tanah, tapi membuatnya mendapati sungai yang terbentang luas antara ia dan kebahagiaan masa lalu.

Foto-foto semasa main bola di sungai. Baju yang terlampau kecil bergambar partai yang dipakai anak itu ketika mengenakan topi merah di tengah lapangan. Semua tentang si buyung kini ia rapikan di dalam satu kamar. Mengintip sesekali kala kangen.

Aku tak pernah membayangkan si buyung jadi orang seperti apa.

Tapi kalau aku boleh memilih, lebih baik ia tak jadi seorang pemulung sepertiku.

Kantor pos membuatnya menunggu sampai dua jam. Paket sepeda motor dan setumpuk baju muslim membuatnya duduk berkali-kali. Senin adalah hari emas bagi penyuplai barang. Dan Romli menerima itu. Tapi apa yang ia genggam, adalah surat yang lebih penting. Dan harus sampai sebelum matahari terbenam keesokan harinya. Kulit legamnya mengkilap karena keringat. Diseka hampir setiap menit.

Surat akhirnya terkirim.

***

Bendera berkibar-kibar. Orang berteriak-teriak. Matahari begitu menyengat tapi orang-orang itu terus bernyanyi. Sebagian berjoget di atas pundak rekannya yang terengah-engah sambil coba ikut tertawa. Orkes dangdut membahanakan dentuman bas yang lebih menonjol daripada vokal biduannya.

Razak berdiri di tengah panggung. Meski lengannya harus dipapah oleh dua pemuda, ia masih bisa melambai. Setali ia mengangkat telapak tangannya, ribuan pasang telapak tangan ikut mengudara. Sorak-sorai dan siulan membuat biduan senyum, ikut bangga. Koordinator mengetuk-ngetuk pengeras suara sambil berdeham hingga khalayak kembali senyap.

Razak maju beberapa langkah. Punggungnya membungkuk tapi senyumnya masih terpaut.

“Terima kasih.” Ia mengangkat wajah. “Terima kasih,” ulangnya.

“Kita berada di depan pintu besar yang baru. Di baliknya, ada negeri yang lebih hijau dan lebih menerima kita. Kita kadang munafik atas harta dan kepercayaan semu. Tapi kita tak pernah menyangkal kuatnya sebuah persahabatan. Seperti yang saya rasakan dengan kalian semua. Persahabatan yang akan membawa perubahan buat negeri ini.”

***

Romli berlari. Sandalnya terlepas. Pandangannya menembus udara dan menangkap pandang ribuan bendera di seberang sana. Dua jalan tol membentang, tapi ia seperti bisa mendengarkan suara dari tribun dan rumput. Langkahnya semakin cepat.

Tapi orang-orang tiba-tiba berteriak. Ibu-ibu bangkit dari lapak sayurnya. Petugas meniup peluit sambil melambai-lambaikan tangan.

Tapi Romli tak mendengar apapun kecuali suara bas yang seperit mengiang di telinganya. Tentang janji dan tentang harapan hidup yang lebih baik. Tentang persahabatan dan setelan jas yang lebih rapi. Tentang beasiswa untuk si buyung dan pertemuan dengan seorang teman di atas panggung.

Kereta melintas.

Orang-orang berteriak histeris.

***

“Saya berdiri di depan kalian semua …,”

Ada yang membuat kata-kata Razak tidak keluar. Matanya terpicing beberapa kali. Debu masuk tanpa dinyana. Telinganya berdengung. Setelah helaan napas, baru ia melanjutkan lagi.

“… saya…  bukan sebagai pahlawan. Bukan sebagai pejabat. Apalagi sebagai musuh. Saya tidak akan jadi bagian dari pemerintah, tapi bagian dari pelayanan. Saya adalah tukang jahit. Saya adalah guru sekolah …”

Sorak-sorai kembali membahana. Beberapa kain terlempar ke udara.

“Saya adalah petugas kebersihan. Saya adalah bos perusahaan. Saya adalah seorang … pemulung. Pencari rezeki untuk keluarga. Dan saya … dan saya … akan bersatu dengan kalian semua agar kita bisa menerima keadaan, dan membuat perubahan.”

Lapangan semakin riuh. Siulan tak terbendung, teriakan tak terelakkan.

“Izinkan saya mewakili suara kalian. Pilih saya sebagai presiden. Terima kasih.”

Terompet bertalu-talu. Stadion itu, untuk setengah hari itu, benar-benar dimiliki oleh rakyatnya.

Razak turun dari stadion dan terkejut karena Li, mantan asistennya itu, berdiri di depannya. Tepat sebelum ia memasuki ruang peristirahatan bagi orang penting. Razak terheran karena semua orang di ruangan itu tertunduk.

Li maju perlahan. Membenarkan kacamatanya sebelum mengeluarkan sebuah surat.

“Pak Razak, saya mohon maaf. Pak Romli meninggal pagi ini.”

Rozak terengah-engah. Berusaha lari keluar ruangan itu tapi langsung ditahan oleh beberapa pengawalnya.

Calon presiden itu terjatuh tidak sadar.

***

Ada satu hal yang membuat kehidupan tak ubahnya permainan wayang. Tentang menemukan makna indah di balik bentul-bentuk dan rupa aneh tokoh utamanya. Siapa sangka Hanuman yang berwajah jelek punya kebaikan di dalam hatinya. Pelajaran penting  bahwa apapun pakaian seseorang, isi pikiran dan hatinyalah yang mengubah dunia.

Razak bertopang dagu dan hanya bisa melihat kertas itu terlipat rapi di atas meja. Sinar matahari jatuh miring menyeka setiap serat kertas yang mulai menguning itu. Lipatannya masih utuh.

Ruangan itu kosong. Tepat seperti suasana hati Razak yang berusaha menemukan kembali sesuatu yang hilang di dalam sana. Pada akhirnya, keberanianlah yang membuatnya berani membuka lembaran itu. Menyeka kesedihannya jauh-jauh bersama bulir air mata yang pecah di ubin.

Sahabatku Razak.

Aku tahu niatmu merubah dunia tak pernah padam. Aku sangat yakin bahwa keinginanmua menolong orang-orang sepertiku akan selalu ada sampai kau menutup mata.

Aku masih benci dengan seorang presiden. Kau tahu itu.

Tapi aku ingin melihatmu di atas panggung itu dengan penuh senyuman, bukan karena kau akan menggantikan orang itu. Kau selalu menjadi pendengar dengan cara yang diterima orang sepertiku.

Untuk pertama kali dalam hidup, aku memutuskan untuk memilih di bilik itu.

Tapi ingatlah, Razak.

Bahwa kehidupan yang lebih menjajikan, akan membawa rintangan yang lebih mengerikan. Aku telah melalui pahitnya hidup, dan kuharap sisa kebaikannya terkumpul di tubuh dan pikiran si buyung.

Surat-surat kita membuatku menyadari satu hal. Pertemanan tidak akan bisa dibeli dengan apapun. Tapi kita butuh banyak sekali harga yang harus dibayar untuk mempertahankannya.

Kau butuh seseorang untuk kau warisi, Razak. Untuk setiap kebaikanmu yang tak diketahui banyak orang. Jujurlah pada dirimu sendiri, dan orang-orang akan percaya padamu.

Semata-mata supaya kau bisa menutup mata, dalam kebahagiaan atas memberi.

Semoga ini bukan surat terakhirku untukmu. Setelah kau duduk di kursi hangat itu.

Razak tersedu. Ia merasa sendirian. Mendengar suara Romli yang bahkan tak pernah ia dengar sedetikpun. Ia membayangkan senyuman Romli dengan banyak bayangan yang tak pernah ia kenali sejenakpun. Pintu tetap tertutup, dan ia benar-benar sendirian di ruangan itu.

Garuda tak mendengarkannya. Apalagi gambar tiga presiden sebelumnya. Sang presiden menangis seperti bayi.

***

Romli dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tepat seperti instruksi sang presiden.

Si buyung kini menggandeng seorang gadis. Menatap nisan ayahnya yang dihiasi banyak bunga. Menunduk dan sejenak merasakan tiupan angin di rambutnya. Lembut seperti sapuan telapak tangan ayahnya. Telapak tangannya digenggam kuat.

Di sampingnya, sang presiden menunduk. Memanjatkan doa kemudian membuka kotak besi yang berisi ratusan lembar kertas. Mengeluarkan salah satunya, kemudian menuliskan serangkai kata di atasnya.

Sahabat sejati yang dirindukan negeri.

Saat mereka bangkit, Razak mengangguk ketika seorang staf khusus menanyakan perihal kepentingan kotak itu dibawa.

“Bukukan. Jadikan arsip negara. Anak-anak kita butuh diwarisi nilai penting persahabatan tanpa batas.”

Angin membawa keheningan dan kerinduan. Lalu presiden itu, di bawah sinar matahari, tersenyum kepada si buyung.

"Terima kasih, Nak. Kalimat yang tak sempat kusampaikan kepada ayahmu."

Anak itu membalas dengan ramah dan wajah berbinar. Dalam kebahagiaan singkat itu Razak merasakan bahwa Romli sejatinya tak pernah pergi.

*------------

Ilustrasi: futurepkg.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun