Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Diremehkan di Dalam, Diperhitungkan di Luar

12 September 2012   07:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:35 2451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benjamin Sutu, mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di Camberwell Grammar School, Inggris, berfoto di depan galeri makanan asli Indonesia, 7 Agustus 2012. (Foto oleh Eddie Jim/The Age)

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Benjamin Sutu, asal Taiwan, mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di Camberwell Grammar School, Australia, berfoto di depan galeri makanan asli Indonesia, 7 Agustus 2012. Ia berpendapat bahwa berita terorisme yang menggoyang Indonesia bukan alasan untuk menolak budaya termasuk mempelajari bahasa Indonesia. (Foto oleh Eddie Jim/The Age)"][/caption]

Membicarakan bahasa Indonesia dengan orang dalam negeri tentu beda rasanya ketimbang dengan orang luar. Di dalam negeri bahasa Indonesia kerap kali diremehkan dan dianggap gampang, enteng, tidak mendesak dan sebagainya. Media sosial muncul dengan bahasa yang punya legitimasi publiknya sendiri. Bahasa Indonesia lantas diterima sekadar sebagai polesan formal dan retorika.

Di luar sana, orang-orang justru mulai khawatir terhadap bahasa yang oleh Oxford University Press dianggap sebagai “seksinya Asia abad ke-21” ini. Khawatir tentang kemerosotan penggunaan ataupun pembelajarannya di negara mereka, atau sekadar was-was tak mau ketinggalan karena bahasa Indonesia sedang gencar dipelajari dunia sebagai bahasa diplomasi penting untuk G-20. Masih segar di ingatan kita bagaimana pengamat politik Hugh White prihatin atas merosotnya tingkat pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia dalam kurun satu dekade terakhir.

White adalah guru besar studi Asia Pasifik dari Australia National University. Dalam pendapatnya kepada The Age Mei lalu setelah merujuk laporan tahunan Indonesian Language in Australian Universities yang disusun rekannya David T. Hill, ia berpendapat bahwa kerugian besar bagi Australia jika tidak melibatkan Bahasa Indonesia dalam konstruksi diplomasi kedua negara. “Kita harus pintar menentukan diplomasi semacam apa yang pantas kita jalin dengan Indonesia ketika ekonomi mereka menjadi dua kali lebih kuat daripada Australia satu dekade mendatang. Kita harus mengembalikan rasa ingin tahu orang-orang Australia terhadap Bahasa Indonesia.”

Sebagai catatan, Maret lalu di sela-sela kunjungannya ke Indonesia, Perdana Menteri Australia Julia Gillard di depan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kesedihannya karena minat warga Australia terhadap bahasa Indonesia mengalami penurunan. Sebelumnya The Age mencatat, rata-rata penurunan pembelajaran bahasa Indonesia di Australia sebesar 41% jika dibandingkan dengan tahun 2001 lalu saat kedua negara menyepakati penguatan hubungan diplomasi. Hal itu didasarkan pada laporan ALP Leadership Ballout yang diselenggarakan parlemen Australia beberapa hari sebelum kunjungan Gillard ke Jakarta, sebagaimana ditulis The Conversation. Laporan itu menjelaskan, penurunan terparah terjadi di kalangan pelajar dan masyarakat New South Wales, yaitu sebesar 71% yang mengakibatkan sebanyak 6 universitas terpaksa menutup program studi Bahasa Indonesia mereka antara 2004 hingga 2009.

Kegelisahan Gillard bisa saja bernuansa politis. Australia dan Indonesia disebut-sebut sebagai dua negara yang menjadi sorotan paling cerah di kawasan Asia Pasifik, baik dari sektor ekonomi maupun pertahanan.

Tapi di balik itu semua, menarik untuk membayangkan bagaimana reaksi orang-orang Australia melihat minat orang Indonesia yang enggan berbahasa Indonesia di negaranya sendiri. Apalagi, laporan terbaru Kompas.com mengutip Presiden Direktur Wall Street Indonesia Angsuman Sirait menyebutkan bahwa ada 59 juta siswa di Indonesia yang berkaitan dengan bahasa Inggris dalam kegiatannya sehari-hari.

Kedwibahasaan dan nilai jual

Keengganan belajar bahasa Indonesia yang melanda sebagian kalangan di dalam negeri sebetulnya lebih pada alasan sosial dan keterdedahan bisnis. Dalam tulisan Bahasa Indonesia Hadapi Nilai Jual dijelaskan bahwa media sosial seperti Twitter dan Facebook adalah senjata terkini bagi perusahaan yang ingin menyampaikan pemasarannya kepada masyarakat. Sebagai ekses logis, muncullah istilah-istilah yang diserap masyarakat sebagai tren media dan istilah komunitif. TL untuk timeline ‘linikala’, mention ‘sebutan’, atau bahkan perbedaan kasta verbal untuk community melawan komunitas; atau group alih-alih kelompok.

Saat proses asimilasi terjadi secara kontekstual dan bahasa-bahasa media mulai dicampur-adukkan dengan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, potensi untuk meremehkan bahasa Indonesia mulai terbentuk. Bahayanya, karena bahkan lembaga sekelas Dewan Bahasa pun tak mengelak bahwa gempuran media tak bisa disalahkan atas diremehkannya bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang penggunaannya diwajibkan masih hanya untuk urusan-urusan formal dan administratif kelembagaan, masyarakat dibiarkan memilah sendiri kekuatan-kekuatan bahasa pemersatu ini di tengah-tengah gempuran bahasa media yang alirannya bak hujan meteor. Jatuh menghempas dan meninggalkan kawah besar.

Sebuah artikel menarik bertajuk “Kedwibahasaan (2)” yang ditulis oleh indonesianis André Moller pada kolom bahasa Kompas 7 Februari 2004 lalu menyindir, anak-anak di Indonesia sejak lahir tidak diajarkan untuk konsisten berbahasa Indonesia. Tentu, pengaruh daerah paling masuk akal sebagai dalih untuk hal ini. Padahal, ada beberapa metoda yang bisa ditempuh untuk mencerdaskan proses belajar anak bahkan jika ia memilih untuk berdwibahasa. Satu contoh yang diangkat André adalah solusi une personne une langue (Grammont, 1902), artinya satu orang satu bahasa. Ayah yang seorang Jawa konsisten berbahasa Jawa kepada anak, sementara Ibu yang orang Bali juga harus konsisten berbicara bahasa Bali kepada anak yang sama. Seiring pertumbuhan, jika proses belajarnya normal, anak tersebut bisa menguasai dua bahasa sekaligus. Hal sama bisa dilakukan jika orang tua terlalu sering mencampurkan bahasa Indonesia dengan English.

Contoh solusi lain adalah minoritas-mayoritas, di mana orang tua mengajarkan bahasa minoritas di rumah, dan bahasa Indonesia untuk kegiatan anak di luar rumah. Tentu semua kembali pada tingkat pertimbangan orang tua apakah pertimbangan bahasanya mengarah pada penguatan kemampuan berbahasa Indonesia anak, yang, biasanya terpikirkan seiring rencana masa depan untuk anak.

Kemudian Profesor Barbara Heatley dari University of Tasmania's Emeritus berceletuk, "Adalah konyol menganggap remeh Indonesia."

Kalau keengganan dan pandang remeh terhadap bahasa Indonesia sudah bisa dihilangkan oleh kelompok-kelompok pembelajar dalam negeri, maka tentunya prospek penguatan bahasa dan bangsa tidak terkesan terlalu klise. Berawal dari penerimaan bahwa memang secara alamiah bahasa Indonesia masih belia dengan dengan kurang lebih 78.000 kosa katanya, publik dalam negeri perlu sekali-kali menemukan sisi baik dan memikat dari bahasa pemersatu ini, sebagaimana orang-orang luar melihat bahasa Indonesia sebagai bahasa yang diperhitungkan.

Jika proses itu sudah secara kolektif dilalui, maka jajaran Badan Bahasa Kemendikbud bisa tersenyum lebih sumringah ketika menerima kunjungan para mahasiswa jurusan bahasa Indonesia dari Universitas Napoli Orientale, misalnya. Atau seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Ritsumeikan Asia Pasific University Jepang mengangguk bangga tapi malu melihat rekannya Katagiri Ayane tersenyum riang ketika berucap dengan terbata-bata,

Nama saya Ayane, Katagiri Ayane. Umur saya 20 tahun. Saya belajar bahasa Indonesia karena saya punya banyak teman di Indonesia. Pacar saya juga orang Indonesia. Saya suka nasi goreng dan soto ayam.” –Kompas.com, 5 Juli 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun