Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dio Eros

9 Desember 2012   03:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:58 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1355024713242272999

*

Desa itu digemparkan oleh kasus percobaan pemerkosaan oleh seorang bertopeng. Rum, mahasiswi tingkat tiga itu akhirnya mengurung diri di rumah penampungannya lantaran trauma. Penduduk desa sedang mencari pelaku, tapi akhirnya tak membuahkan hasil sampai akhirnya kehidupan desa kembali normal.

CINTA KINA pada Luk sudah seperti sinar matahari untuk lumut. Datang untuk menunjukkan warna yang sebenarnya, bentuk yang semestinya. Meski dalam bulan-bulan terakhir pertemuan mereka bisa dihitung jari lantaran garis adat, Kina bisa paham apa yang selalu ingin disampaikan pemuda itu. Surat-surat dan pesan singkat mungkin penuh polesan gombal, tapi ia paham perasaan di balik kata-kata yang ia sendiri pernah baca hanya di buku-buku.

Tinggal seminggu masa kuliah lapangan Luk di desa Takabonerate. Untuk selanjutnya rombongan Unit 27 Universitas Sumatra Utara akan melanjutkan perjalanan panjang ke Atambua, Boven Digul dan berakhir di Miangas pada malam natal. Kina resah, tentu saja karena bayang-bayang kuat tak akan bisa lagi ketemu dengan Luk. Kekhawatiran sebesar itu mungkin bisa tercegah, jikalau pemuda itu mendatanginya malam ini sesuai janjinya. Gadis itu duduk di batu besar di bawah deretan pohon kelapa, menggenggam gulungan surat bersama serangkai kabel daya. Rencana tergilanya adalah ketiduran di balai-balai itu jika sampai Luk benar-benar telat karena rapat mingguan di dusun atas.

Diamini deburan ombak yang saling menyusul dari bawah lambung kapal-kapal kecil, Kina berusaha memecahkan sebuah teka-teki. Tentang bagaimana seorang gadis bisa jatuh cinta pada seorang pria, dan bagaimana itu semua tidak akan berjalan mulus ketika melibatkan orang lain. Siapapun itu. Ia bertanya-tanya, mengapa rasa iri diciptakan hanya atas hal-hal yang menyenangkan. Tidak seorang pun menjawabnya, termasuk orang yang ia anggap sebagai musuh terberatnya selama beberapa pekan belakangan.

Dio Eros. Ia membaca penanda amplop yang ia rasa adalah ditulis oleh tangan Luk sendiri. Ia tak tahu artinya, tapi ia senang membacanya. Mungkin itu berbicara cinta. Ia pernah membaca dio memang banyak dijumpai sebagai nama di masyarakat Batak. Sedangkan eros sudah indah bahkan tatkala ia pertama membacanya, membawa rindu pada nyanyian dari seseorang. Tapi saat pikirannya baru saja menyentuh senyuman Luk, tiba-tiba semua gambaran itu berganti jadi hawa panas yang menunjukkan wajah seorang perempuan. Perempuan yang menyebalkan.

Bagi Kina, Cheryl lebih dari seorang Puang Enceng. Puang Enceng meski menyusahkan ratusan orang, tapi itu untuk mengurusi kehidupannya sendiri, memberi makan dirinya sendiri. Di matanya, perempuan tua dukun beranak yang ketamakan dan kerakusannya sebagai rentenir sohor seantero desa itu masih lebih manusiawi ketimbang mahasiswi tingkat akhir yang sehari-hari berdiri di antara dia dan Luk. Naluri perempuannya sontak melawan dan berpikir bahwa naluri Cheryl untuk menghalangi hubungannya dengan Luk semata-mata karena kecemburuan buta. Kina berpikir, bahwa pandangan orang kota Cheryl tidak semerta-merta bisa dipakai untuk mengganggu kisah cinta yang tumbuh di desa.

“Kau hanya cemburu!” Kina menghardik di tengah-tengah acara memasak panitia masjid. “Kau tidak suka melihat orang lain senang. Oh, memang orang kota memakai cara licik, sok manis di depan orang-orang padahal tujuannya menikam dari belakang. Munafik. Kau hanya cemburu!”

“Tapi, Kina …”

“Sudah, Cheryl. Tolong jangan bicara denganku lagi.”

Maka terputuslah pertemanan itu. Dan puluhan pasang mata yang menyaksikan pertengkaran pagi itu tak menyadari bahwa beras ketan dan kacang hijau di dalam panci sudah terlanjur matang. Sendok beradu keras dengan panci karena digerakkan oleh amarah yang tak mengalir ke kelenjar air mata. Anak-anak yatim piatu lahap menikmati bubur yang lembut berlebihan sambil.

Di bagian lain ibu-ibu rumah tangga saling bisik tentang banyak hal, termasuk sisa percobaan pemerkosaan yang nyaris dilupakan. Perkembangan terbaru berbisik bahwa pelakunya sudah kabur ke desa lain. Di dekat meja tempat ratusan gelas plastik dituangi teh panas satu demi satu, Luk pura-pura tak merasakan senggolan lengan temannya. Ia menyaksikan pertengkaran itu, dan hatinya sendiri tetiba merasa jadi panci yang diaduk-aduk di atas dua mata api.

Untuk tiga hari berikutnya Kina menahan senyuman, kecuali untuk Luk. Perjalanan mereka lebih panjang dari setapak RT 10 yang dijejaki menuruni bukit sebelum fajar mengembangkan layar-layar.

“Aku paham situasimu berhadapan dengan Cheryl.”

Kalimat itu membuat Kina melepaskan pegangan tangannya. Ia tak suka komentar barusan, tapi ia juga ingin tahu apa pendapat Luk yang sebenarnya. Ia ingin tahu, ia sedang berdiri sebagai malaikat atau iblis.

“Terima kasih, Kina.”

“Maksudmu?”

Luk berhenti melangkah. Ia seperti meraba-raba kerikil dengan kakinya, mengajak turut kaki Kina untuk saling berhadapan, sebelum dua tangan itu kembali berkait.

“Terima kasih, karena kau telah melindungi perasaan kita. Aku tahu tak mudah menghadapi Cheryl. Aku juga tak begitu suka dengannya.” Luk membiarkan angin berlalu sebelum melanjutkan. “Tapi … menurutku kita tetap  bersimpati kepadanya. Dia sudah …”

“Iya, aku tahu, Luk.” Kina berdecak. “Dia sudah membiayai banyak sekali acara panitia kampung. Juga membayar santunan dan membantu pengobatan bapakku. Tapi pendapatnya soal dirimu …”

Luk mengangguk sambil mengisi rongga dadanya dengan udara yang menghangat. Uap terlepas dari mulut menandakan cahaya keemasan benar-benar sudah mencapai pepohonan.

“Dia yatim.”

Kina baru tahu hal itu.

“Aku selama ini menghargainya sebagai seorang teman yang setia, penyayang dan pemurah. Aku tidak ingin membuatnya terlalu sedih karena kehilangan orang-orang terdekatnya. Cheryl menganggap kita berdua adalah orang terdekatnya. Mungkin ya memang dia kadang lepas kendali dan terlalu mencampuri. Mungkin ya terkadang dia terlalu menunjukkan dirinya sebagai orang perkotaan dan kurang menghormati adat istiadat. Lagipula aku juga orang kota, dan tidak seperti dia kan. Tapi lihat mataku, Kina. Aku tidak akan menganggapnya halangan di hubungan kita. Jadi kau tidak perlu khawatir. Kelak, saat ruas jari kita saling ketemu seperti ini, bahkan sebutir pasirpun tak akan bisa menghalanginya.”

Kina tersenyum puas untuk jawaban itu. Darahnya mengalir semakin hangat dan membuat pipinya memerah tanpa terasa. Angin begitu sejuk dan daun-daun jati saling bergesek. Kina merasa perasaannya perlahan membaik, dan ia yakin apa yang dikatakan Luk memang untuk kebaikan. Ia bahkan sempat mengelus bekas luka gigitan di tangan pria idamannya itu.

“Luk, aku mau tanya sesuatu. Dio Eros, apa artinya?”

Butuh lima detik sampai jawaban itu terdengar. “Cinta yang sempurna.”

Luk melihat camar beriringan di atas sana pada detik-detik setelah mengucapkan jawaban itu. Burung-burung itu tak membalas tatapannya.

Sore hari berikutnya pertengkaran di rumah Haji Mansur kembali pecah. Cheryl datang tiba-tiba dengan sebuah amplop putih yang lusuh. Mendobrak pintu rumah begitu saja dan membangunkan Kina di pagi buta. Mereka terlibat pertengkaran sampai Haji Mansur selaku tuan rumah menarik separuh badik dari sarungnya yang membuat kedua perempuan itu diam. Tuan rumah itu sosok terhormat karena pernah menempuh pelatihan singkat di Atena sebagai guru konseling. Orang tua itu menyuruh mereka agar bicara lebih tenang dan Kina agar menyeimbangkan emosi.

“Tolong tinggalkan Luk, Kina. Dia tidak baik untukmu.” Cheryl akhirnya melunak, tapi perkataan itu dibalas keras.

“Heh dengar ya. Aku tahu kau anak yatim, tapi tolong jangan pakai itu untuk mengelabui orang lain dong. Kau berpura-pura baik hanya untuk memamerkan kekayaan, barang-barang berkelas dan menjadikan kami merasa rendah. Tapi ini desa kami, tempat kami. Ini tempatku. Kau bisa berbuat apa saja di kota tapi di sini, kau orang biasa. Terima kasih sudah membantu banyak, tapi kami tidak perlu lagi uangmu.”

“Kina, bukan itu …”

“Sebaiknya kau pergi saja dari desa ini, Cheryl.”

Kina terlanjur dikuasai amarah. Orang santun pun akan mudah tersulut emosi kala bangun dalam keterkejutan, dan Kina merasa dirinya sudah benar. Ia teringat kata-kata Luk, bahwa hanya angin hangat yang menyelip di antara hubungan mereka. Tidak orang ini, tidak siapapun.

Cheryl meninggalkan rumah itu dengan membawa dua tasnya, mengangkat telepon dan langsung menghubungi pembantunya untuk menjemput. Program wajib sudah selesai dan ia merasa benar untuk segera pergi dari pulau ini, ketimbang terlibat dalam pertengkaran yang menyebalkan.

“Baca dulu ini sebelum memaki-maki orang. Dasar tak berpendidikan! Harusnya kau malu pada dirimu sendiri.” Itu adalah kalimat penutup setelah serangkaian maki balasan yang dilontarkan di tengah ruangan.

Cheryl pergi dengan api amarah yang sama besarnya. Ia mengangkat telepon dan menghubungi pembantunya agar dibawakan mobil jemputan sesegera mungkin. Di pinggir jalan, Luk tiba-tiba datang dan berusaha menahan gadis itu agar tetap di desa. Tapi Cheryl mengibas angin dan tak sedetikpun menolah pada laki-laki yang singgah di hatinya selama beberapa hari.

Kina membaca surat itu, dan Luk kurang cepat untuk merampasnya.

Dio Eros. Kata sama dengan surat yang disimpannya. Tapi yang ini, ditujukan untuk nama yang berbeda.

Pada titik ini Luk merasa bodoh karena menggunakan amplop yang sama, dan ia sendiri sedang mencari jawaban apa gerangan arti dua kata asing yang tercetak sebagai merek amplop itu. Kina terlanjur mendapatkan jawabannya, dan ia sama sekali tak tahu apa yang disampaikannya pagi di bukit itu.

Mereka tak menyadari bahwa surat itu diintip oleh Haji mansur dari sela bahu.

Dio eros! Wah! Keterlaluan.”

Kina tersentak. “Maaf, Pak Haji. Kenapa?” Luk sama herannya dengan reaksi tuan rumah yang menggeleng keras dan mengetuk-ngetukkan badiknya itu. Ketiga anak gadis pak haji itu juga sama kagetnya di depan televisi yang baru menyala.

Dio eros itu artinya kurang bisa diterima, Nak. Itu bahasa Yunani. Dio artinya dua dan Eros itu artinya cinta. Entah apakah ejaannya benar, tapi seingatku demikian. Wah wah … Luk … Luk.” Haji Mansur berlalu dan gelengan di kepalanya tidak berhenti.

Kina tak bisa menahan diri. Napasnya cepat dan tangannya terkepal. Luk berusaha menenangkan tapi dalam sepersekian detik ia sudah merasakan panas luar biasa di pipi kirinya. Tamparan yang tak nyaris tak terlihat, karena Kina sudah masuk dan mengunci kamar. Sekilas pintu terbuka kembali dan beberapa lembar surat dilempar begitu saja dari dalam.

“Pergi!”

Hari kepulangan rombongan kerja lapangan tak semeriah saat penyambutannya. Tak ada bubur kacang hijau dan teh hangat. Tapi dua keranjang ikan segar mungkin akan bernilai bagi mereka yang kepulangannya tak terlalu jauh. Takabonerate melepas rombongan Unit 27 tepat sebelum matahari berada di tengah langit. Kina tak melihat dua orang yang pernah dekat dengannya. Ia perempuan lokal dan tidak dalam barisan almamater, tapi ia merasa dua bulan petualangan perasaan dengan orang kota adalah pelajaran berharga. Setidaknya ia sadar, bahwa kata-kata indah tak selamanya bermakna. Atau setidak-tidaknya, kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut siapa saja, termasuk penjahat.

Luk diam sekosong pikirannya saat diapit dia petugas di atas mobil polisi yang melaju. Topeng kain di pangkuannya. Pemuda itu akan diproses selama dua minggu di kepolisian setempat atas kasus percobaan pemerkosaan terhadap korban Rum, yang pada akhirnya menceritakan sebuah tanda gigitannya pada tangan pelaku malam itu. Laki-laki terduga pelaku itu tidak akan pulang kampung sebelum kasusnya rampung. Jelas Atambua tidak akan menyambutnya.

Ombak kembali saling menyusul dan burung-burung camar kembali mengumpul.

Kina untuk hari-hari berikutnya hanya sibuk dengan telepon genggam. Berharap nada dering dan puluhan pesan itu terjawab dari seorang sahabat di seberang sana.

Selesai.

*Ilustrasi dari dokumen pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun