*
SELALU ada alasan untuk setiap kejadian. Bapak mengajarkanku itu. Meski ia tak mengajarkan semua itu lewat kata, selama ini aku melihat hal-hal terjadi begitu sempurna, sampai aku tak berani bertanya. Ketika matahari terbit, ikan-ikan berenang dan sebagiannya terbawa jala, atau nelayan menghilang sampai akhirnya matahari tenggelam lagi saat kaki langit memerah. Semuanya terjadi tidak begitu saja.
Tapi satu hal yang akhirnya menjadi pertanyaan buatku, bahkan sampai tiga tahun sejak kutinggalkan Butta Panrita Lopi. Tanah leluhur pembuat kapal.
Hari itu panas di bulan Desember. Kapal penangkap ikan yang disebut parenggek lebih banyak diam di tepi pasir. Banyak lelaki paruh baya duduk di atas dipan-dipan seharian dan memilah sobek di jala mereka, atau membetulkan lambung perahu sandek yang bocor. Aku tak begitu peduli dengan badan-badan kapal Pinisi yang berdiri megah lebih tinggi dari atap rumah. Seperti teronggok mati sebelum lahir. Saat para pemodal menghentikan aliran uangnya, tinggallah bongkahan kayu ini sebagai pekerjaan tak selesai. Kalah sebelum menghadapi ombak, meski para pembuatnya bersikukuh bahwa haluan tetap harus digotong ke arah ombak, meski menunggu seratus tahun. Kupikir mereka tentu tidak menghitung perkiraan cuaca atau umur kayu sebelum berjamur dan lapuk, atau mungkin itu sekadar kiasan untuk menghibur anak-anak yang berlarian di dek-dek kasarnya sepulang sekolah.
Saat tiga bocah kecil berlari itulah aku bertengkar hebat dengan bapak sepulangnya melaut.
“Apa maksudnya, bapak? Tidakkah bapak sayang padaku?”
Bapak berlalu. Jala tersangkut di pundaknya dan terseret di atas pasir. Ombak menderu saat angin barat mulai datang. Di saat seperti itu, ikan-ikan menjauh dan tangkapan tak begitu menggembirakan. Aku bisa melihat kepayahan di muka bapak yang menua dan legam di ujung matanya. Tapi keterkejutanku semata-mata, memaksaku bertanya kepada bapak. Mengapa.
“Kukira kau sudah besar, Yusuf. Tanah setengah hektar itu tidak seberapa besar. Dan adikmu lebih membutuhkannya. Kau tahu dia.”
“Iya saya tahu, bapak. Tapi, bukankah waktu kecil bapak sudah menjanjikan tanah itu kepada saya?” Protesku sambil mengikuti langkah kaki telanjang bapak yang menapaki tumbuhan-tumbuhan menjalar berbiji kecil yang hijau dan berduri. Aku meloncat-loncat menghindari tusukan sambil terus mengomel. Tapi entah mengapa, bapak memilih diam setelah jawaban terakhirnya itu.
Dan orang-orang justru menatapku tajam tanpa suara. Untuk seharian itu aku duduk merapatkan badan di atas pasir putih. Memandangi laut flores yang bergemuruh seperti mengejek. Bahwa aku akhirnya tak mendapatkan apa-apa dari harta hasil tradisi melaut keluarga, itu sudah pasti. Tapi aku butuh alasan. Mengapa si botak Wayan itu yang mendapatkan tanahnya. Tanah keluarga satu-satunya yang dijanjikan padaku dua puluh lima tahun lalu, tepat di bawah pohon kelapa yang batangnya bercabang.
***
Surabaya tak begitu menyenangkan seharian ini. Presiden melintas membuat lalu lintas di hampir separuh kota semrawut seketika. Kantor berkegiatan seperti biasa. Setia pada rutinitas yang membuat penuaan hanya makin cepat dan makin banyak perempuan muda bunuh diri di luar sana. Begitu kata orang-orang. Aku bertahan dengan pekerjaan rancang bangun dan konstruksi ini juga semata-mata karena pemerintah terlalu rakus membangun ini-itu. Semuanya begitu menuntut, begitu menekan. Bahkan di hari Sabtu ketika sebagian orang di luar sana santai dengan setelan kemeja pantai mereka dan tertawa bersama anak-anaknya di pinggir kolam air mancur.
Aku juga punya anak. Syukurlah ia lahir selamat tigabelas bulan yang lalu. Demian, namanya. Mempunyai arti kemaslahatan yang dibawa oleh bidadari. Istriku Reni, adalah pekerja keras. Pekerjaan sebagai konsultan hukum tentu cukup melelahkan, tapi ia selalu bisa membuatku merasa beruntung. Ia ibu yang baik dan seorang istri yang pengertian. Saat hari sudah gelap seperti ini dan aku belum juga mengetuk pintu rumah, ia sudah berdiri di sana dan membantuku menyimpan tas. Jaketku dibuka dan tanganku digiring ke meja.
Reni duduk di kanan sedangkan si kecil Demian mengetuk-ngetuk piring plastiknya dengan sendok yang penuh bubur. Kami tersenyum sesekali anak itu tersedak lalu membelalakkan matanya.
“Sepertinya dia akan jadi seorang pemberontak seperti dirimu, Mas.”
Aku tersenyum. “Semoga tidak. Biarkan dia jadi penurut saja, anak penurut yang mendapatkan jalan hidupnya sendiri.”
Reni sepertinya paham maksud kalimatku. Jalan hidup itu ditempuh sendiri, mengambil dari banyak pilihan yang nampak. Kadang memang sulit dan menjebak, tapi itulah jalan hidup. Bedanya, yang ini tak pernah ada jalan kembali. Karena itulah disebut sebagai takdir.
Terdampar di Jawa Timur dan meninggalkan Butta Panrita Lopi murni pilihanku. Ibu menyayangkan tapi akhirnya mengerti. Bapak, aku tak tahu apa pikirnya kini. Aku sudah besar dalam artian sebenarnya, dan aku memilih. Meski akhirnya aku belum menemukan jawaban yang kucari darinya, tapi semuanya telah berlalu begitu saja.
“Aku tak pernah mau jadi pemberontak,” kataku membuat Reni menghentikan kunyahannya. Ia melipat tangan dan menyimak dalam-dalam. Lampu meja menampakkan wajahnya yang ayu dan sangat menerima.
“Mungkin kau masih bertanya-tanya bagaimana akhir dari pertengkaranku dengan bapak.”
Istriku mengangguk. “Aku paham. Tapi kukira kau hanya menunggu jawaban, bukan meminta tanah itu setelah bapak memberikannya kepada Wayan dan bukannya kepadamu.”
Aku mengangguk.
“Waktu bapak tahu Wayan terkena multiple schlerosis, ia berubah. Ia jadi tak banyak bicara, lebih suka di laut daripada di rumah, dan mulai melakukan hal-hal yang tak biasa. Budidaya rumput laut, misalnya. Padahal dulu ia salah satu yang menentang rencana itu. Laut untuk kapal, katanya. Dan bukan untuk tali-tali yang digantungi rerumputan kenyal. Ikan-ikan harus makan bukannya dihalau. Angin berubah arah, dan bahkan bapak pun tak bisa menghasilkan banyak rumput laut. Tidak tanpa bimbingan orang-orang yang pernah dimusuhinya.”
Memang demikianlah adanya. Meski pada akhirnya bapak memberikanku sesuatu yang lain, yang ia sebut sebagai ‘masa depan yang bisa dibangun’, aku tetap belum terima alasannya. Sebuah kapal pinisi yang belum jadi, siapa yang mau mengambil benda seperti itu.
“Mungkin kau perlu ke sana lagi dan berbicara dengan bapak.”
Aku menghela napas. Rasanya aku bisa melakukan itu, tapi ketakutan terlanjur menguasai diriku. “Sudah lima tahun lebih aku meninggalkan Bulukumba. Entah apakah bapak masih mau ketemu denganku.” Reni tak menjawab langsung tanggapan itu, memberiku ruang untuk berpikir kembali.
Bayang-bayang ingatan ketika bapak mengangkat palu dan melayang-layangkannya di depanku, di depan orang-orang saat aku akhirnya pergi, dan ibu yang menjerit melihat pertengkaran itu, bukanlah sesuatu yang mudah. Aku meninggalkan Bulukumba hanya beberapa bulan setelah aku menanyakan pertanyaan yang seharusnya bisa dijawab.
Mengapa Pinisi dan bukan tanah?
***
Aku bekerja seperti biasa setiap hari. Memasuki relung kesibukan kota dan orang-orangnya yang tak pernah mau saling kenal. Hidup keras di sini, persis seperti gambaran para perantau yang tiba di Bulukumba setelah bertahun-tahun mengadu nasib. Padahal tempat mereka juga tak sampai semegah Surabaya, tapi itu sudah terdengar mengerikan.
Aku berjalan di jalan sempit Waru yang penuh kafe kopi di beberapa sudutnya. Asap-asap dari dapur rumah makan melayang dan bercampur dengan asap karbon timbel di atas aspal. Bunyi-bunyian bercampur dari musik Koplo, tawa beberapa karyawan yang beristirahat di warung-warung Tegal, sampai bunyi sepatu dan kaca yang bertindih di balik jendela kaca toko. Dari jendela itulah bisa kulihat jelas, apa yang selama ini kupikirkan.
Kapal pinisi, dan sepertinya ada suara orang yang menjelaskannya. Laut begitu biru entah mereka merekamnya di mana. Orang-orang bertengger di atas tiang-tiang dan tujuh layar itu akhirnya terkembang dengan warna merah tuanya yang cemerlang. Gagah memang, tapi aku perlu tahu apa bagusnya kapal yang selama ini hanya kudengar dari cerita-cerita.
Bulukumba penghasil kapal Pinisi, tapi aku belum sekalipun melihat sosoknya yang jadi, apalagi berlayar di atas gelombang seperti di gambar televisi ini. Maka kuminta penjaga toko untuk membesarkan suaranya hingga aku bisa mendengar jelas apa yang dikatakan narator.
Sejarah kapal Pinisi dimulai pada abad keenam belas. Kalimat narasi itu mengalir lancar dengan suara latar berat seorang laki-laki tua. Aku menyimaknya sendirian karena nampaknya orang-orang ini tak mau tahu.
Menurut manuskrip tertua Lontarak I La Galigo, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu ketika berlayar menuju negeri Tiongkok sekitar tahun 1500. Ia berniat mempersunting seorang putri Tanah Cina Daratan waktu itu, Wu Cedai. Setelah dua bulan perjalanannya yang dikawal sebelas tentara Bugis dan satu prajurit Makassar, ia akhirnya tiba dan berhasil menikahi sang putri. Selama beberapa bulan berikutnya ia tinggal di Tiongkok, belajar filsafat dan strategi perang dari banyak petinggi kerajaan, sebelum akhirnya kembali. Pinisi dikagumi oleh orang-orang Tiongkok, tapi Sawerigading belum mau menjanjikan apa-apa, termasuk memenuhi permintaan ayahanda Wu Cedai untuk dibuatkan sebuah Pinisi. Tiga tahun kemudian, ia memutuskan kembali ke Luwu membawa istrinya.
Tapi nasib malang menimpanya. Sebuah badai jelang fajar mengombang-ambingkan Pinisi Sawerigading, hanya beberapa mil sebelum melewati pulau terluar wilayah laut Luwu. Kapal itu terbelah tiga, dan keberadaan mereka tak pernah diketahui.
Ketiga potongan Pinisi hanyut sampai ke tiga wilayah berbeda: Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo.
Aku tahu tempat-tempat itu. Bahkan, ternyata inilah alasan mengapa kampungku, Tana Beru Bulukumba, jadi sentra pembuatan Kapal Pinisi. Aku berpikir lama mengapa bapak tak pernah menceritakan sejarah panjang ini. Ara dan Lemo-lemo padahal berjarak ratusan kilometer dari Tana Beru. Jadi begitu ternyata. Untuk sesaat itu, aku mengingat kembali alasan-alasan yang pernah disampaikan bapak, meski samar. Pinisi punya banyak cerita, tapi aku tak pernah mengetahuinya sejelas ini.
Selalu ada ritual untuk membangun Pinisi. Biasanya pembangunan dimulai pada hari kelima atau ketujuh bulan berjalan. Angka tujuh pun terus dipakai sampai menentukan konstruksi dan rancangan beberapa bagian kapal. Tujuh layar pada Pinisi juga melambangkan hal-hal sakral seperti iman, tujuh filsafah hidup Tumanurunga atau orang-orang cendekia, sampai makna vokal hurufnya yang berarti ‘tujuan hidup yang penuh rezeki.
Aku bergegas pulang jelang sore itu. Meninggalkan pekerjaan di kantor dan menitipkannya kepada seorang staf ahli untuk beberapa hari. Reni terkejut karena aku tiba-tiba menyodorkannya tiga tiket pesawat untuk terbang pagi berikutnya.
Bulukumba, aku datang lagi.
***
Tana Beru Bulukumba tak pernah berubah. Kehangatan orang-orangnya masih sama, sehangat udaranya yang membuat kulit tak pernah benar-benar basah. Aku membawa Reni dan Demian turun dari mobil tepat di rumah panggung tempat aku dulu lahir. Aku melihat sekeliling dan terpana.
Pinisi itu ternyata telah rampung. Badannya sepanjang tiga lapangan voli dan puncak deknya kira-kira setinggi satu rumah panggung dua lantai. Bidaknya mengarah ke selatan sementara haluannya nyaris tegak seperti menunjuk matahari. Seperti berbicara bahwa ia telah siap menyambut ombak. Beberapa pekerja nampak masih kesulitan memasang layar yang lebarnya selama ini kulihat melalui televisi di pesisir Darwin. Biru muda sewarna laut dan langit. Dibalut cat kayu mengkilap warna putih dan garis lis merah beberapa senti dari tepian atasnya, kapal itu benar-benar gagah. Seorang pekerja sedang menyeret kuas besarnya di dinding luar, meliku pelan dan memulai entah kata apa yang ditulisnya.
Reni sudah masuk ke rumah ditemani ibu, tapi aku masih berdiri di atas pasir itu. Tak lama kemudian, orang-orang menyingkir ketika aku berjalan mendekat. Lalu dari jauh kulihat Wayan tersenyum di atas kursi rodanya. Adikku itu sudah besar rupanya. Aku begitu mengenalnya meski jarang berbicara kepadanya. Ia menyalamiku kemudian mengantarkan sampai ke anak tangga kapal. Aku naik sampai ke dek, lalu berbicara kepada orang yang mengukur putaran setir.
“Bapak,” sapaku.
Yang memutar setir itu lalu balik badan, diam sebentar dan langsung memelukku. Badan bapak terasa jauh lebih kurus di pelukanku. Tulang-tulangnya menonjol dan kulitnya semakin kotor. Orang-orang menyingkir saat kami diberi ruang bicara berdua.
“Bapak menyelesaikan kapal ini.”
“Ya. Pinisi namanya. Seminggu setelah kau meninggalkan rumah, lima tahun lalu itu, kapal ini mulai dikerja. Sedikit demi sedikit, tapi berlanjut terus. Orang-orang sudah berjanji merampungkannya, dan … inilah. Pinisi untukmu.”
Aku tertahan dalam kata-kata. Menunduk dan berpikir. Pinisi ini ternyata benar-benar untukku. Bapak memegang kata-katanya, dan kapal ini benar-benar selesai. Saat kuangkat wajah, bapak sudah tersenyum kemudian menengadahkan telapak tangannya ke arah setir. “Silakan.”
Aku bisa melihat Laut Flores lebih jelas dari balik kemudi itu. Roda kemudi bagian modern dari Pinisi yang aslinya dulu berbelok hanya menggunakan tuas kayu melintang yang terhubung langsung dengan bilah tegak di bawah buritan. Tentu aku baru mengetahuinya dari dokumenter di toko televisi itu. Tapi memegang kemudi kayu dan berdiri di tengah badan kapal, rasanya benar-benar hangat. Seperti Sawerigading, mungkin ini alasan mengapa aku manusia harus membuat keputusan besar, meski ia sendiri tak tahu apa yang akah menghadangnya di tengah laut.
“Bapak minta maaf tak pernah benar-benar menjelaskan alasan memberikan tanah kepada adikmu, Yusuf.”
Bapak menjelaskan begitu tenang, sesekali menyeka keringat di keningnya. “Tanah hanyalah tanah, dan bapak tahu itu tidak akan cocok denganmu. Bapak selalu tahu kau adalah anak yang mencari tantangan dan akan menempuh jalan apa saja. Memberikanmu tanah di Tana Beru yang terpencil ini hanya akan menahanmu melangkah lebih jauh, melihat dunia secara lebih luas,” jelasnya sambil melempar pandangan ke arah laut.
“Adikmu …,” suaranya lirih kini. “Kurasa dia tidak punya kesempatan lebih baik darimu, Nak. Dan sebagai bapak kupikir harus ada sesuatu yang membuatnya terus hidup nanti. Ia sama sekali tak ada niat dengan laut, kapal, apalagi rumput laut. Tapi kau …”
Mata bapak begitu dalam dan melihatku penuh keyakinan yang tajam. Rasa itu selalu kutahu sejak kecil, setiap kali bapak mengarahkan matanya kepadaku.
“Aku tahu kau akan jadi orang besar. Dan Pinisi, sejak dulu dikenal sebagai pengawal orang-orang besar. Sawerigading dulu adalah pahlawan Celebes, seorang pengambil keputusan, dan seorang perancang bangunan yang pintar. Dia membangun pinisi, saat tak seorangpun berani melintasi laut. Tujuh layar artinya pilar kehidupan. Keimanan, Keberanian, Kesungguhan, Kejujuran, Kepedulian, Kemakmuran, Kerendah-hatian. Semuanya kunci kebahagiaan orang-orang dulu. Bapak tidah hapal betul apakah benar begitu ceritanya, tapi bapak yakin dengan itu semua.”
Ada keheningan sejenak, kemudian bapak berkata begitu saja sambil berkacak pinggang, lalu menepuk punggungku sebelum berlalu. “Sejak kau lahir, bapak sudah tahu kau akan jadi orang besar seperti Sawerigading. Ambillah ini, Yusuf. Dan bawalah Pinisi kemanapun kau melanjutkan hidup. Tugas bapak sudah selesai. Sekarang, laksanakan tugasmu, Nak. Permisi, bapak mau menengok cucu.”
Aku berdiri begitu saja di tengah kabin, ketika semuanya sudah kembali turun. Aku berdiri tepat di bawah tiang utama. Dengan tujuh layar terkemabangnya. Pinisi adalah kapal legendaris, dunia mengakuinya. Tapi kupikir banyak orang sepertiku, yang terlalu bodoh untuk melupakan sebuah rancangan kendaraan, senjata, rumah, kebanggaan luar biasa seperti Pinisi.
Ini, adalah jawaban paling pas. Untuk semua pertanyaanku lima tahun lalu itu. Sekarang tidak ada lagi mengapa di dalam benakku. Terlebih karena aku bersyukur, masih bisa menemui bapak di sini.
Di Tana Beru Bulukumba, tempat cerita tujuh layar Pinisi lahir.
Saat turun, tulisan di badan luar kapal telah jadi. Dan aku langsung berlutut di atas pasir dan menitikkan air mata begitu membacanya.
DEMIAN.
Selesai.
===============
Ilustrasi diambil lewat indigenoussails.org.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H