*
Belum pernah terjadi dalam kehidupan Nirma sesuatu hal yang seperti ini. Sejujurnya kalau ia pikir, hal inibisa terjadi atas kekuasaan Allah, apapun bisa terjadi. Seharusnya akal sehat juga bisa menerima. Akan tetapi ia tak tahan dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Ia tak kuat mendengar gunjang-gunjing para tetangga. Kemudian begitulah sejak dua tahun terakhir ini, ia hanya mengurung diri di rumah. Sesekali keluar mengantar anak bungsunya ke sekolah dan hanya menyapa orang-orang yang mengerti. Berharap, sesuatu terjadi dan memperbaiki pandangan orang sekampung tentang hal tak biasa.
Tepat 15 Februari waktu itu, Nirma menerima kabar dalam keadaan didudukkan oleh ibunya sendiri. Rumah tua berdinding kayu itu masih terawat meski lantainya yang berkotak-kotak gelap terasa semakin dingin. Nirma bangkit dari kursi bersekat tali-tali, bertanya mengapa, memprotes, tapi akhirnya tak kuasa. Ia kemudian jatuh lemas memegang keningnya sendiri, menggeleng-geleng, belum bisa menerima. Meski ia memahami cinta tak bisa dihalang-halangi.
“Dia laki-laki yang bersungguh-sungguh, tulus kepada Ibu,” ujar ibunya, Parmi, lima puluh enam tahun, janda. Beberapa kali perempuan paruh baya itu memperbaiki tatanan ciput di kepalanya.
“Iya tapi kenapa harus menikah, sih Bu? Kenapa tidak, bersahabat saja begitu, atau…”
“Atau apa… tidak ada hal lain yang bisa membuat hubungan saya dengan Pak Kartono kelihatan lebih beradab kecuali menikah.” Parmi duduk menghela napas. “Sebetulnya dua bulan ini Ibu sudah berusaha menghindari Pak Kartono itu. Tapi dia terus datang, membantu Budi pelihara kambing-kambing di peternakan, menyewa orang menata halaman rumah di depan itu, bahkan mendengar cerita-cerita ibu kalau kadung sepi.”
“Tunggu. Tunggu. Ibu tidak bicara yang macam-macam kan ke Pakde Kartono? Rahasia keluarga tetap milik keluarga lho bu.”
Parmi mengangguk. “Iya, paham. Ibu yang ajari kamu dulu itu, Ibu tidak cerita kecuali soal peternakan atau yang kelihatan-kelihatan saja. Dan dia, Nirma, aduh. Orangnya nrimo sekali. Menyimak, ibu merasa didengarkan. Perempuan mana yang tidak merasa nyaman kalau merasa didengarkan?” Lagi-lagi perempuan paruh baya itu menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya. “Ibu juga tidak tahu, kenapa akhirnya Ibu merasa tersanjung diperhatikan sama dia. Sepeninggal bapakmu, kukira tidak ada lagi laki-laki yang mau memperhatikan kehidupan ibu yang sendirian. Pensiunan, tidak ada kesibukan kecuali mengurus pekerja, dan tidak ada prospek. Siapa yang tertarik? Ibu tidak pikirkan itu mau punya suami lagi. Sampai Kartono ini datang. Dia padahal orang kampung juga, tidak begitu akrab, tapi entah apa yang bikin saya bisa balik menghormati dia. Mungkin karena sedikit banyak dia mirip bapakmu.”
“Ibu!” nada bicara Nirma agak tinggi, membuatnya lantas meralat cepat-cepat, meminta maaf. “Tidak ada yang bisa menyamai bapak.”
Parmi menatap mata anaknya itu, membelai pipinya, tersenyum. “Tidak ada memang.”
Keheningan menyeruak sejenak, datang bersama angin yang lewat begitu saja memenuhi ruangan, sebelum kembali keluar lewat tiga jendela tahun tigapuluhan. Lantai semakin dingin.
“Jadi, kamu setuju?”
**
Jam sepuluh yang panas, Nirma sudah berdiri di depan gerbang SDN 5 Jatiasih. Melongok menembuskan pandangannya lewat teralis gerbang. Tak berapa lama menyeka peluh dari panasnya sinar matahari, ia melihat anak keduanya berlari. Disapanya anak itu, disambutnya salim hormat sampai di punggung tangannya juga menempel keringat anaknya, kemudian mereka pulang.
Kampung tempat tinggal Nirma tidak begitu besar, hanya terdiri dari lima rukun tetangga dan dua rukun warga. Meski satu-dua bagian sudah diisi rumah seharga di atas lima ratus juta, sebagian lainnya masih a la desa. Kampung yang dekat, akrab, dan peduli satu sama lain. Jika saja tempat tinggal Nirma adalah kompleks apartemen yang mengadopsi individualitas sebagai bagian gaya hidup, ia tak khawatir. Atau kompleks asrama militer yang sangat diperhatikan sampai borok-borok selokannya, tidak masalah. Yang ini, ia tinggal di kampung yang dipikirnya akrab-tidak-akrab. Akrab karena semua orang bisa mengetahui masalah orang lain dan menggunjingkannya kanan-kiri; Tidak akrab karena sehari-hari mereka justru tidak bertegur sapa kecuali mengangguk. Informasi beredar dari mulut ke mulut begitu saja seperti berita yang liar. Parahnya lagi, ketua RT tidak lebih tegas dari ibu-ibu penggunjing itu. Demokrasi terpimpin oleh para istri penggosip.
Seorang ketua RT menyapa Nirma yang kemudian menghentikan kayuh sepedanya tepat di depan masjid.
“Bu Nirma, Silvi sudah dapat ruangan belajar bersama?” tanya ketua RT ramah, menegakkan kopiah.
“Eh, Pak Dito. Iya, sampun, Pak. Dia di balai tiga sama anaknya Pak Husein dan beberapa dari RW 30.”
“O, syukurlah kalau begitu. Mm…, wah baru pulang sekolah ya, dik. Bagaimana pelajarannya tadi? Ketua RT mulai basa-basi, bertanya kepada anak kedua yang duduk manis di boncengan sepeda. Nirma tidak suka itu, dan langsung bisa mencium gelagat aneh dari sikap seorang duda yang tidak biasa. Maka kemudian ia membalas seperti biasa kemudian berlalu. Hatinya panas setiap kali melihat aksi duda yang sedemikian punya niatan. Menyapa anak-anak biar bisa mendekat ibu-ibu mereka. Cara lama! pikirnya. Lagipula, mungkin saja memang tidak punya peluang apapun.
Nirma bukannya tinggal dan hidup sendirian. Suaminya, Pitoyo, adalah pekerja ulet. Di kantor kontraktor tempatnya bekerja, Pitoyo dikenal seorang yang bisa mengerjakan apa saja. Dari mengelas tangga, membuat pola campuran cor, sampai menakar kadar aspal dan kandungan tanah yang pas untuk dibanguni jembatan. Gajinya tidak sedikit karena kemampuan itu, yang juga membuatnya kerap lebih banyak waktu di tempat kerja ketimbang di rumah.
Setelah enam bulan menikah, mereka makin kokoh. Kehidupannya dengan Nirma meyakinkan setelah mereka bisa membangun rumah sendiri yang mungil dengan halaman seluas lapangan voli. Oleh Pitoyo Nirma mendapat pengaruh baik tentang bagaimana mengelola kepemilikan, maka mereka memutuskan tidak tinggal di kota --yang dikenal tingkat konsumsi warganya tinggi--, melainkan mereka cari perkampungan yang nilai tanahnya masih rendah. Dengan rumah tetap dan lapangan pekerjaan menjanjikan, Nirma meninggalkan kampung keluarganya di kelas tinggi Kebumen dan hijrah membangun keluarga di Bekasi. Ia merasakan penuh anugerah pernikahan. Ketiga anaknya: si bungsu Cita, anak kedua Andini, dan sulungnya Silvi lahir dan tumbuh di kampung baru itu.
“Lho, kok bisa begitu?”
Pitoyo menyergah Nirma begitu mereka selesai makan malam. Di saat seperti ini rumah mereka terasa hening, tenang, hangat. Letak ruang keluarga yang jauh dari jalan depan memungkinkan mereka bertukar wicara meski suara rendah. Si bungsu sudah tertidur di ayunan sementara Andini belajar di kamarnya. Anak sulung mereka, Silvi, di jam-jam seperti ini memang lebih sering di luar, menikmati pubertasnya sebagai anak SMP akhir. Nirma menyeduh teh di meja untuk suaminya yang nampak masih kelelahan.
“Aku juga sudah bilang ke ibu, Mas. Coba meyakinkan, pakai banyak alasan. Coba buka pikirannya kalau-kalau berita semacam itu sampai ke kampung ini. Tapi tetap ngotot. Kata ibu, bisa sakit dia kalau menahan-nahan yang seperti ini.”
“Kayak anak abege saja menahan-nahan. Ibumu itu kan sudah hampir enam puluh tahun, sudah menopause, masak mau punya anak lagi?”
Nirma terdiam. “Mas, bantu aku bicara sama Ibu.”
Pitoyo melihat, rada kesal juga ia. Mungkin sisa rasa capek. Ia menyeduh teh, menelannya bulat-bulat dan berbunyi, meski masih agak panas. Perbincangan mereka lalu beralih ke si sulung yang semakin sering pulang malam.
Upaya Pitoyo membantu Nirma bernegosiasi dengan ibunya menemui jalan buntu. Hanya berselang sebulan setelah Parmi memberitahu anaknya soal niatan itu, pernikahan dilaksanakan. Nirma kecewa, karena Ibunya melakukan akad lebih dulu, sendirian, baru kemudian memberitahu anak-anaknya. Nirma dan dua saudaranya yang lain sempat misuh-misuh di rumah keluarga besar itu, tetapi kemudian mereda. Ibu mereka sudah mengambil keputusan, dan sekarang sebuah keluarga baru terbentuk.
Kekhawatiran Nirma yang kemudian sering terbawa-bawa mimpi menjadi kenyataan. Bulan Juli, malam Jumat itu, ia menerima panggilan telepon dari Rumah Sakit Umum Daerah Kebumen bahwa mereka menerima pasien seorang bernama Parmi. Sedang mengalami pendarahan dan butuh rawat inap segera. Jam itu juga, Nirma memboyong keluarganya pulang kampung.
“Ini bukan kasus biasa,” kata dokter menyambut mereka di ruang tunggu rumah sakit. Kata-kata pria muda berjas putih itu sempat tertahan tapi akhirnya terlontar juga. “Ibunya Ibu tengah hamil.”
“Hah!” Nirma dan suaminya kaget serentak. Mereka saling tatap. “Bagaimana bisa, dokter? Ibu saya itu baru lima puluh tiga. Kok bisa hamil?”
Dokter itu masih nampak kebingungan juga, tapi ia yakin pada apa yang didapatinya sebagai tanda-tanda. “Positif bu. Mungkin rahimnya lemah sampai terjadi pendarahan, tapi janinnya --setelah kami periksa-- baik-baik saja. Semua tanda kritis sudah dilewati. Silakan besuk kalau mau.”
Di dalam ruangan itu, Parmi sudah ditemani suaminya Kartono saat rombongan kecil Nirma masuk. Pitoyo menyalami mertua-mertuanya itu dengan hormat sebelum mengajak ketiga anaknya mencari minuman panas di luar, meninggalkan Nirma berbicara langsung.
“Mbak Rosi dan Mas Wisnu belum datang,” ujar Kartono sang mertua baru, mengelus uban dan menegakkan badan. Nirma mengangguk dan mendapati memang kakak-kakaknya itu belum sempat datang, mungkin besok. Ia kemudian mendekat ke sisi ibundanya yang nampak masih lelah, matanya terbuka. Mereka bertukar sapa, sedikit cerita, dan sedikit penjelasan. Intinya, Nirma menerima permohonan maaf Parmi yang merasa tidak enak dan sungkan sudah merepotkan banyak orang, terutama putrinya itu. Parmi juga mengaku sangat lelah dan sedikit kaget waktu menyadari dirinya bisa hamil. Tak bisa bergerak dan serasa tulang-tulangnya dicerabut. Ibunda itu menangis, entah bahagia akan janinnya atau terharu akan pengertian anaknya yang kini dewasa.
**
Meski menerima, Nirma tidak membolehkan ibundanya datang ke Bekasi. Tidak dengan kondisi sosial masyarakat yang rentan terhadap berita-berita aneh lagi tak biasa. Bahkan setelah adik barunya lahir, ia tidak pernah pulang kampung dan memohon izin hanya datang saat persalinan, dan mungkin beberapa kali jika dibutuhkan. Ia juga terkadang lebih temperamen dengan bertutur tengah mencoba membangun kehidupan baru di kota baru, dan tidak ingin diganggu terlalu sering oleh isu kampung yang tak pernah berhenti. Emosinya naik turun dan perangainya lebih sering berubah-ubah. Mungkin sindroma, sisa kekecewaan, buah keterkejutan, ia tidak mengerti. Mimpi-mimpinya masih sering kembali. Dan di tengah masalah-masalah baru kehidupan yang dihadapinya setiap hari, ia tak ingin diganggu oleh bayak hal yang tidak perlu. Semuanya nampak baik-baik saja, sampai saat sebuah kunjungan itu membuyarkan ketenangannya.
Di siang Minggu yang ceria, suara mobil yang dikenalnya itu mendekat di halaman. Orang-orang kampung sedang mengadakan kerja bakti dan Pitoyo ikut membantu memancang gorong-gorong di jalur irigasi. Di halaman rumah, Nirma sedang mengasuh si bungsunya dan tetap mengawasi anak keduanya Andini yang bermain karet gelang tak begitu jauh. Mobil yang datang itu, sedan merah tua dengan kilatan yang menyilaukan pandangan, berhenti dan dua pintunya terbuka. Sekelompok ibu-ibu berlalu dan tertarik perhatiannya. Penumpang mobil itu adalah seorang perempuan tua bersama seorang laki-laki yang nampak akrab. Di gendongan mereka, seorang bayi mungil cerah berkaca-kaca.
“Ibu!” Nirma langsung menghardik dengan sapu lidi di tangannya.
Kedua penumpang mobil itu, Parmi dan suaminya Kartono, terkejut. Mereka nyaris melompat dan tersandung batu saat langkah mereka tertahan di depan pagar.
“Sudah Nirma larang ibu kemari. Apalagi bawa bayi ibu itu!”
“Nirma… Nirma… Nak, Ibu kemari cuma mau bawa daging…”
“Stop!” Nirma lantas mengangkat ujung dasternya biar melangkah lebih cepat, melempar sapunya, menyuruh anaknya ke dalam dan langsung menarik tangan ibunya dengan kasar. Mereka ke dalam rumah begitu cepat sampai beberapa sekelompok ibu yang berada di pinggir jalan saling berbisik. Tak berapa lama kemudian, cerita tersebar ke segenap warga.
Nirma mengurung diri lebih sering sejak pertengkaran yang menghebohkan itu. Para ketua RT mulai sering menggelar rapat buat meyakinkan warga untuk menghentikan cerita-cerita miring dan menerima kenyataan secara lebih bijak. Tapi, warga tetaplah warga. Keberagaman yang indah tetap menyimpan potensi bahaya jika itu sudah bersinggungan dengan hasut dan cerita heboh. Apalagi, sebulan lebih berikutnya muncul lagi gosip miring tentang keluarga Nirma: anak sulungnya hamil.
Sesuatu yang luar biasa ini membuat Nirma semakin kurus, malas makan. Ia bahkan menitipkan bayi bungsunya ke saudaranya untuk diasuh sementara, meski itu sulit karena bagaimanapun ia masih harus memberikan ASI. Belum tuntas masalah dengan pergunjingan orang tentang ibunya yang kawin dan kemudian melahirkan seorang bayi, kini ia harus menghukum dirinya sendiri karena merasa tidak sanggup memberi hal-hal baik kepada anak sulungnya Silvi yang kadung hamil di masa sekolah. Suaminya, Pitoyo terus memberi dukungan, dengan kedewasaan dan janji-janji keadaan yang lebih baik. Pitoyo bahkan menawari Nirma agar mereka bisa pindah dan menyelesaikan ini semua.
Tapi Nirma telanjur merasa terhina. Ia merasa hak hidupnya telah direnggut oleh kehidupan sosial kota.
--------------------------------------
Ilustrasi: etsy.com.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H