*
Ada orang mati tak dikenal, mayatnya terjepit di bawah tangga, persis di dekat lajur dua. Orang-orang berdatangan, heboh, maka polisi segera membawanya pergi. Polisi lalu menanyai mbok-mbok pedagang asongan di stasiun dan menampar dua-tiga preman yang menyusahkan, tidak mau bicara. Akan tetapi usaha itu tetap nihil. Mayat pergi tanpa ada yang mengenali.
Tiga hari setelahnya, stasiun kembali heboh. Kali ini bukan mayat, tapi karena ada preman yang menangis. Ya, sesengukan seperti bayi, terduduk bersandar di dinding stasiun bak orang hilang. Kepalanya ia bentur-benturkan ke belakang dan tangannya ia pukul-pukulkan ke lantai. Calon penumpang menganggapnya gila, dan para pedagang takut mau berbicara dengannya.
Romli bersedih, temannya hilang ditelan bumi. Seingatnya ia baru berbincang dan tertawa bersama Zakaria selang sepekan, bercanda utang dan bertukar pasangan. Tetapi kini teman pergi tanpa diketahui. Tidak ada kabar, tidak ada SMS, tidak ada sisa cerita. Bahkan tidak ada bau asap kretek yang biasa ia minta dua-tiga batang sehari. Sepanjang petang Romli menangis, orang-orang menganggapnya gila. Dan daripada ia mengotori fasum, maka satpam menyeretnya pergi.
Dunia preman dan calo begitu misteri, bahkan bagi preman itu sendiri. Sekawanan bisa berkumpul dan berjualan tiket seharga menggiurkan, dan penumpang menganggap mereka penyelamat. Seusai petang hasil penjualan dibagi rata dan dipamer-pamer, lewat botol-botol ciu dan kerek di leher penjaja kelamin.
Misterius bagi Romli, karena di saat-saat tertentu, seperti ini, tidak seorangpun berbicara apapun. Ia hanya menangkap lirak-lirik mata sekawanannya dari jauh, tapi tak satupun mendekatinya. Jangankan berbicara ke mana Zakaria mungkin pergi, tak satupun mau mendekatinya.
Maka Romli berjalan sendirian, meliburkan diri dari gemerlap uang sempit. Dengan lemas ia cuci lebam di bibir dan matanya, lewat sepotong kaca di toilet berbau sesak. Tawa murka satpam masih terngiang di telinganya, busuk jahanam pemakan uang kosong, batinnya gundah. Toilet itu ceruk pertapaan.
Di situ biasa ia bertukar rokok dan berbagi canda, dan kini pengapnya sepi luar biasa. Ruang sejongkok ngising itu ibarat kepunyaan sekawanan, karena tak banyak penumpang wara-wiri ke sana. Aparat menganggapnya tempat kotor yang bahkan tidak pantas diakui bagian dari bangun program pemerintah. Romli meraba-raba dinding, melihat coret nan lingkar hati. Ia ingat sesuatu, ya. Iya jadi ingat sesuatu. Dinding itu yang membisikinya.
Rumah tripleks berlantai tanah. Bukan, berdasar tanah tapi beralas kardus. Ada juga karung-karung plastik dan bendera partai di sudut jauhnya, dan anak-anak berlarian telanjang bergemericing botol. Romli tahu persis tempat ini, ia ingat dua tahun lalu menginap karena kehabisan makanan, di situ di luar dinding di bawah atap spanduk bergambar Si Poltak, politisi yang tak lagi sohor kini.
Diketuknya pintu rumah, ditendangnya anjing yang menyalaknya. Tak lama begitu muncul semuda wanita, berlilit sarung dan bercelana selutut. Matanya nyalang dan menggeleng bingung, siapa gerangan yang datang di pagi yang hujan.
“Romli. Ingat enggak? Romli? Dulu aku tidur di luar situ waktu hujan. Zakaria yang ajak aku kemari. Ingat enggak?”
Wanita itu menggeleng, memegap hidung karena bau berserakan. Wanita itu mengelus perut dan meminta maaf, mau kasih makan kambing, katanya. Akan tetapi Romli tahu wanita itu mengenalinya, hanya berpura-pura tidak tahu. Maka ia mendesak dan menyeruak masuk. “Zakaria, Zakaria! Di mana Zakaria?”
Wanita itu murka, menyeret tangan dan mengangkat sapu. “Tidak ada Zakaria di sini. Tidak ada. Pergi. Pergi!”
Romli gemas karena jelas ia melihat foto temannya itu berpelukan dan tersenyum mesra dengan wanita yang memukulinya. Gambar buram yang terselip di ujung triplek tembok. “Lalu itu siapa? Di mana dia? Zakaria…! Di mana kamu!”
“Cukup!” Wanita itu menarik sampai mereka sama-sama terhempas ke lantai tanah. Romli geram dan menghentak keras tangan wanita itu, sampai kesakitan dan memegangi perutnya, menarik sarungnya.
“Zakaria itu suka sama kamu. Di toilet di mana-mana ia coret namanya dengan namamu. Uni, iya bukan? Kamu Uni bukan? Kamu pacarnya Zakaria, bukan? Kenapa kau sembunyikan dia? Aku mau lihat dia. Kita mau bahas utang, uang, semuanya. Di mana kamu sembunyikan dia?”
Tapi wanita itu tak kuasa menjawab. Malah sesengukan tidak keruan. Ia tahan tangisnya dan bangkit melawan lemas. Ia dekap dadanya dan mendekati cahaya di pintu. “Ada mayat, Mas. Ada mayat.”
“Apa?”
“Mayat. Kemarin, di stasiun. Bawah tangga atau di mana. Ada mayat Mas. Aku tidak tahu…. Aku tidak tahu….”
Romli tidak percaya. Ia tidak mau percaya. Mengapa ada mayat di stasiun dan wanita ini menangis? Tiap pekan ada mayat di stasiun dan tidak selalu ia peduli. Kenapa wanita ini menangis? “Ma… Mayat, Maksudmu apa? Mayat itu…?”
Romli menengadah lemas. Ia garuk kepalanya dan ia pukul lagi bumi di bawahnya. Wanita di pintu dengan sesengukan akhirnya cerita, soal utang-utang Zakaria, soal ‘orang-orang besar’ yang mencari Zakaria beberapa hari belakangan, soal proyek apartemen yang pernah dijaganya, soal aparat yang memburunya karena tiket calo, dan soal limapuluh gram emas yang ia ambil dari rumah temannya di Tambora.
Zakaria menyimpan banyak, tidak cuma barang-barang yang mungkin membunuhnya, tetapi juga cerita-cerita yang tak diketahui sahabatnya. Romli merasa dikhianati, dirinya merasa tidak dipercayai. Ia kira selama ini Zakaria tempatnya berbagi keluh kesah dan cerita bersama, melalang bebal seantero dunia. Akan tetapi pertemanan tetap ada rahasia, dan ia tak suka mengetahui itu bersama berita duka.
Romli tak lagi bersuara, ia hanya menatap lantai di bawahnya. Ia memurka tanah, mencerca dunia. Dengan nanar ia menatap wanita di depannya, yang mengelus perut dan berharap cinta. Hatinya gundah, tak tahan dengan ini semua. Romli beranjak dan meninggalkan si wanita, menyeret langkah di belantara sampah.
Akan tetapi tiba-tiba Romli tak bisa bergerak. Angin apa yang membekukannya. Ia berdiri di tengah jalan, melihat ke depan ke atas jembatan. Serombongan orang berpakaian rapi, menunjuk-nunjuk dan saling angguk.
Dua-tiga dari mereka bermahkota helm, dengan simbol pengembang di dua sisinya. Ia tak tahu siapa mereka, tapi ia jelas mengenali wajah cekung di sudut belakang. “Ya Tuhan. Ya Tuhan,” dengungnya. Kepalanya berat, matanya berair. Ia percepat langkahnya seakan melompat menyeberangi batas dunia. “Zakaria! Ya Ampun, kamu masih hidup?”
Laki-laki berwajah cekung menunduk memegangi helmnya, menarik diri ke belakang rombongan. “Zakaria. Zakaria! Jahanam kamu, temanku. Kamu hidup? Kamu hidup?” Tapi usaha itu sia-sia. Bau badannya menghalau segala kata, badannya ditahan dan didesak dua penjaga.
Romli diseret pergi, dan orang-orang berpakaian rapi mencibirnya. Sama seperti orang-orang di stasiun, mereka menganggapnya gila, dengan kesenangan yang tidak masuk akal di mata. Penjaga bertanya siapa yang dicarinya. “Itu. Itu, teman saya, pak. Teman saya, Zakaria! Hoi, Zakaria?! Kepalamu kenapa? Kamu habis jatuh? Kamu tidak ingat aku? Romli, sahabatmu?” Penjaga heran tapi ia tahu tugas mereka. Romli berteriak-teriak saat diseret pergi. Di dalam rombongan, dua orang berjas bertanya pada staf baru di belakangnya, siapa gerangan orang gila yang meneriaki mereka, mengganggu jalan dan proses survei lahan penting ini.
Orang di barisan belakang, lelaki berwajah cekung tersenyum getir dan menggeleng. “Tidak tahu, Pak. Saya tidak kenal. Mari, lewat sini. Ketua RT-nya sudah menunggu.”
Langkah rapi mereka terbawa dengan anggun, berderap teratur memasuki sampah. Tumpukan serapah yang akan jadi pemandangan indah kelak. Semerbak parfum mengudara bersamaan dengan teriakan-teriakan yang diseret pergi. “Zakaria. Zakaria! Kamu kerasukan apa?”
------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H