Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bingkisan dari Ende

29 Mei 2012   13:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:38 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kain Ikat Sikka (avantifontana.com)

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi Kain Ikat Sikka (avantifontana.com)"][/caption]

***

Murni menyeka rambut anaknya persis ketika angin melambai. Penyampaian semangat yang paling kuat tanpa harus berucap kata. Senyum seorang ibu selalu jadi obat, meski anak kecilnya belum mengiyakan rasa merdeka kehidupan. Tak ada susu hari ini.

Perempuan dari Ende. Begitu orang-orang menyebutnya selama tujuh tahun terakhir. Negeri Malaysia bukanlah alam lain yang membuatnya harus menjadi orang baru. Ia tetaplah Murni. Perempuan Bugis yang menetapkan hidupnya untuk Tanah Sumba. Hampir satu dekade berlabuh di Tanah Jiran, ia pulang membawa dua anak, Malia dan Aril. Sang suami tak lagi bersamanya. Meninggal di tahun kelima.

Murni memutuskan untuk melanjutkan hidup. Tanah Nusa Tenggara Timur tetap tandus, persis seperti ia tinggalkan dulu. Tak banyak yang berubah, kecuali satu per satu tetangga lamanya pergi. Sebagian lagi mati, dikubur di Bukit Gili. Murni kembali nyaris sebagai orang baru, memulai semuanya dari awal. Untung satu rumah masih dijaga oleh bapak mertuanya yang nyambi jadi nelayan sungai. Tiga ekor ikan kapas disantap untuk satu pekan. Murni tak banyak memikirkan hal-hal baru yang harus dilakukannya. Satu hal saja. Yang penting Malia dan Aril tetap tumbuh seperti anak biasa. Makan dan minum dari tanah tempatnya menyambung nyawa.

Seminggu tak ada penghasilan. Sebuah mimpi membangunkan Murni pada pukul dua pagi. Tak banyak suara yang didengarnya pagi buta itu, kecuali samar-samar bunyi gemeletuk dua kayu yang beradu di depan rumahnya. Saling gesek dan saling tarik. Seperti ayunan yang berulang-ulang dan membentuk irama. Murni terkejut, seorang nenek tua menenun sambil menunduk. Tepat di ambang pintunya. Pagi harinya, ia banyak termenung, meraba-raba apakah peristiwa semalam nyata ataukah mimpi dari Yang Kuasa. Menenun memang pernah digeluti saat dirinya masih gadis, saat tujuh pemuda mendekatinya sekadar untuk mendapatkan cintanya.

Tenun ikat. Buah tenunan yang ditekuninya selama tujuh hari. Ia memecahkan kendi tabungan untuk menyicil sebuah alat tenun dari kerabat jauh. Tak banyak bertanya, ia memulai kembali. Butuh satu bulan penuh untuk mengembalikan motif garis dan kotak yang dihapalnya dulu. Bapak mertua tertawa kembali untuk pertama kali. Murni yang dulu, kini bangkit lagi. Rutinitasnya berubah. Malia dan Aril bahkan bisa melompat-lompat setiap tengah hari sebelum mereka jatuh tertidur di atas dipan berbalut tikar. Empat bulan, sudah terjual sepuluh ikat kain. Murni tidak menganggap masalah harga dua puluh ribu ataupun dua ratus ribu yang diberikan pembeli. Ia belum mau mendahului rezekinya. Ia tak mau membatasinya.

Bulan kelima, Murni mulai memikirkan sekolah Malia. Harusnya anak itu sudah kelas empat sekarang. “Anakku bisa bersekolah sampai jam dua belas dan mengambil air setelahnya, sampai sore,” pikir Murni di tengah malam, saat kedua buah hatinya tertidur di samping bapak mertuanya. Tapi ide itu tangguh. Murni belum meminta apa-apa kepada anaknya.

Satu tahun, sudah muncul tiga rumah lain yang membuka mesin tenun mereka. Murni jadi pelopor, tapi juga pembelajar. Ia membagi hasil tenunannya dan mengajarkan kepada banyak orang. Kain tenun bentuknya sudah bermacam, dari Ikat, Lotis, sampai Buna. Tenun Ende dan Sikka dipadukan dalam bentuk baru. Kelompok tenun terbentuk sempurna.

“Ini warisan leluhur kita, malu diajarkan oleh Turunan Bugis,” demikian seloroh satu-dua tetangganya yang dibalas senyum simpul oleh Murni. Ia sama sekali tak pernah memikirkan itu. “Saya orang Ende, Bu. Jiwa saya ada di sini, tenunan saya mengikuti Sikka, dari Tanah Sumba. Orang-orang sini adalah keluarga. Saya berniat mati di sini, kalau bisa.” Bincang sore yang begitu hangat, sambil Murni melayani beberapa turis asing yang nampak manggut-manggut saja melihat ibu-ibu tertawa.

Tahun kedua kehidupan seperti bergulir dalam lembaran barunya yang lebih hangat. Malia akhirnya bersekolah lagi, meski tiap jam dua siang ia dan adiknya bergerilya menyusuri kaki bukit untuk empat jerigen air minum serumah. Murni tak pernah khawatir. Semua anak-anak melakukan itu dari tiga generasi sebelum ini. Tugasnya hanya memberi kasih sayang, menghidupi mereka dengan cara yang paling ia bisa. Tak mengeluh, tak menuntut. Hidup telah memberinya lebih dari cukup kesempatan baru yang tak ia temukan di tempat lain.

Ende berubah. Pemerintah kabupaten akhirnya mengakui kesalahan dan bertekad untuk menggerus budaya korup sedikit demi sedikit. Demi rakyat, tentunya. Masalah air bersih tentu masih jadi bahan janji kampanye, tapi toh Murni tak pernah menyaksikan satu pun janji. Baginya, tujuh kain tenun ikat yang terjual setiap bulan sudah cukup memberinya kesempatan belajar. Terutama dalam mengajarkan nilai-nilai yang diketahuinya kepada Malia dan Aril yang terus tumbuh.

Bapak mertua setiap sore membungkuk jalan beberapa meter ke depan rumah. Memunguti botol bensin satu per satu, menyimpannya kembali ke dalam rumah. Perlahan kehidupan membaik. Usaha rumahan pun Murni geluti, meski hatinya tetap pada kain ikat. Ia masih menggeluti tenun, dengan bunyi-bunyi kayu bergesek dan roda berputar. Stok benang dan bahan lancar dari rekanan yang juga kerabat lamanya. Hidup perlahan menggeliat, dan seperti tak mau tidur ketika ia sudah harus bangun lagi pukul lima pagi.

Tujuh tahun berlalu dengan matahari yang lebih cerah nan sejuk. Murni menua. Tapi kehidupannya baru saja tumbuh. Ia menyaksikan semua keajaiban pemberian Tuhan melalui pertumbuhan anak-anaknya. “Hidup akan semakin indah,” gumamnya dalam setiap doa.

Murni adalah perempuan Ende. Ia punya sesuatu. Tekad untuk maju. Perasaan dan keyakinan jadi senjata, kain tenun jadi pelurunya. Ia terima saja setiap kerugian dan setiap cobaan yang kerap hinggap melalui lubang jendelanya. Tapi ia selalu berdiri di depan rumahnya setiap pagi. Menatap jalan berdebu dengan perasaan yang berdebar-debar. Bahwa akan ada sesuatu yang datang baginya dan keluarga. Entah dari manapun Tuhan mengantarkannya.

Seperti pada akhir tahun ini. Ketika seorang turis asal Perancis menyelesaikan proyek air bersihnya untuk seluruh dusun di Ende dan beberapa di Lamboya.

“Kita sudah dekat, Bu Murni. Air ini akan membawa rezeki lebih banyak untuk Anda dan warga. Kain Tenun akan dipasarkan lebih jauh. Kelak akan datang hari, ketika buah tangan ini jadi bingkisan untuk orang di luar sana.” Kalimat turis itu membuat Murni menangis. Perasaan yang tak pernah ia dapatkan dalam hidup sebelum ini.

Air memancar. Masyarakat bersyukur dengan upacara adat. Kepala Desa sampai bupati berjabat tangan dan berpelukan. Murni merangkul rekan-rekannya sesama penenun kain. Akan ada hari lebih baik besok, dan mereka siap menjual lebih banyak guna menyambung hidup.

Kelak akan datang hari, ketika kain ikat jadi bingkisan bagi banyak orang.

Tulisan itu dibuat oleh Murni di atas kain besar berwarna marun, dengan cat putih bercampur kapur. Malia anaknya yang menyusun huruf demi huruf, ketika Aril yang lincah melompat menjejakkan telapak tangannya dengan cap putih di atas kain itu.

Francois Moller tersenyum. Turis Perancis itu, menyaksikan kebahagiaan manusia Indonesia yang bekerja. Yang makan dan minum dari tanah sendiri.

Inilah Murni, dengan perjalanan hidupnya yang ia jalani sendiri. Kemudian ia pulihkan dengan melibatkan banyak orang di sekitarnya. Tenun ikat Utan menutupi pinggangnya sampai pangkal kaki. Ia bisa merasakan pesan angin, bahwa kehidupan yang lebih baik akan datang melewati kedua tangannya.

Inilah motif perjuangan, sebuah bingkisan dari Ende.

=======

*Cerita ini terinspirasi oleh tulisan “Setelah Ratusan Tahun, Kini Air Tidak Sulit Lagi”, karya Eman Dapa Loka, Kompasiana.com 29/5/2012. Untuk semua pejuang hidup di Nusa Tenggara Timur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun