Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Batu Kaca

12 Februari 2015   16:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:21 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

TUJUH TAHUN Manung hidup nomaden, berpindah dari satu kampung ke kampung lain. Tetapi berbeda dengan tindak-lakunya tahun-tahun sebelum ini, ada yang membikinnya betah berlama-lama di Playen. Hal ini mungkin tidak akan dibahasnya jika teman-temannya tidak bertanya--dengan nada iseng yang mengganggu--mengapa ia belum juga pindah seperti cerita-ceritanya. Di kampung ini Manung tinggal sudah hampir satu tahun. Rumah kecil dua bilik dan satu kamar mandi sampai disewanya, dibayar penuh hanya di bulan ketiga. Dalihnya, matapencaharian di Playen mendingan daripada kampung-kampung yang sebelumnya ia tinggali. Teman-teman, tetangganya tentu tidak ambil pusing, alasan hanyalah alasan, dan rejeki-pencaharian mungkin bibit berkah yang merata.

Tapi apa lacur, pertanyaan iseng tempo hari itu malah membikin Manung susah tidur, mimpinya bercampur-campur tidak keruan. Dinding kamar seperti mencemoohnya, mencibir dan menghina keberaniannya. Kata-kepalanya kepingin sekali pindah sudah, tapi kata-hatinya membisik yang lain-lain.

Pertanyaan itu terlontar seseruput kopi hitam panas di sebuah warung angkringan pinggir pasar, tempat Manung dan para penanya itu sehari-hari bersibuk. Udara siang menyengat memadatkan daki yang menutupi pori-pori, sampai kening mengernyit-ngernyit dan bibir pecah-pecah. Pasar yang diguyur hujan kini kerontang dengan becek bekas roda sepeda dan sandal karet. Manung memesan lagi segelas es teh manis sebelum Kasim, pedagang ikan dan sekaligus yang paling tua dari mereka bertiga, menyeletuk, “Betah, Nung?”

Perasaan Manung mendengar pertanyaan itu awalnya biasa saja, tetapi saat coba menelusuri maksud dua kata ‘Betah, Nung?’ itu, dan mengira-ngira dalam diam, menyedot es tehnya lewat sedotan, ia menyadari kalau barusan itu pertanda keheranan, bahasa nyata yang muncul karena kenyataan mulai berseberangan dengan anggapan. “Alhamdulillah. Iya, betah.” Jawaban langsung tanpa basa-basi. Tapi berharap jawaban ini tidak memancing diskusi lebih jauh--yang tidak disukainya, Manung balik bertanya. "Piye anakmu? Wis mari?”

“Aaah! Endak usah tanyakan anakku. Dia cuma ketabrak sepeda, bukan masalah besar. Sekarang aku tanya, kau betah di Playen?”

Sergahannya gagal total. Manung merasakan diskusi mau tidak mau akan dimulai, dan sepemahamannya, kalau Kasim sudah memancing, cuma masalah waktu sampai kedua penyamun lain menberondongnya dengan tanya-tanya yang lebih tidak penting. Maka ia coba berdiplomasi, mengayuh canda sambil berharap ada celah. “Yaa…dapat empat ratus ribu sehari, belanja dua ratus ribu sehari. Hitungan kasar…hidupku separuh betah di sini. Alhamdulillah rezeki lancar. Pasar terbuka lebar.”

Kasim mengangguk tanpa kata, tapi Madung tahu ini cuma masalah waktu. Saat seruput-demi seruput bergantian berdendang di depan Mbak Warni si penjaja, Madung mulai merasakan hawa aneh. Bangkunya bergetar-getar, pantatnya terpaksa goyang-goyang. Ia hendak beranjak dan “menyelamatkan dirinya”, tapi badai telanjur datang. Di ujung kursi, Doto, yang badannya paling gemuk sekaligus paling muda, seorang pedagang rempah, meletakkan pantat gelasnya dengan kasar dan mulai kasak-kusuk di tempatnya duduk, membalik badan sebelum menghentikan tremor di lututnya. Matanya memicing, keningnya melipat. Seiring dengan bibirnya yang berminyak, kata-katanya juga seperti lendir, identik pria mesum yang entah sudah insaf atau belum. “Jadi…,” tanyanya. “Kau belum berniat pindah dari Playen? Besar begitu pesonanya?”

Benar-benar serangan petir. Orang-orang ini bertanya tanpa etika, khas dari lidah bukan pesekolah. “Ah, iya kalau namanya rezeki sedang baik. Buat apa ditinggal? Playen alhamdulillah nyaman, semua laris. Lah, kalian yang puluhan tahun di sini, tidak berencana pindah? Pasti karena betah too…?” Lagi-lagi selintingan kalimat diplomatis yang coba mengubah haluan pembicaraan.

“Apa iya? Ketoke keliru, kang Mas. Kami di sini ya karena cari sing kepienak. Tempat lahir tumbuh dan mati. Seperti kebanyakan orang kampung, kami ingin menjaja wanita, tapi yang hidungnya paling murah. Kami kepingiiii…n menjajal surga, tapi yang amalnya paling ringan.”

“Surga melati, dong?” Celetuk satu lainnya, Rusmin, pedagang mi ayam yang lebih senang meninggalkan warung pada istri dan dua anaknya. Celetukan itu sepertinya ingin ia tarik, karena betapa merah muka dan mata Doto dibuatnya. Ia lebih baik datar dan lirih saja, daripada ditelan mentah-mentah. “Heh, Manung, memangnya kenapa sih kau harus pindah-pindah…diusir calon mertua?” Tawa meledak bersamaan. Doto hampir tersedak saking senangnya, Mbak Marni si penjaja tersenyum simpul dan santai saja, berharap keberadaannya tetap tak dianggap sekadar ‘perhiasan dunia’. Sementara yang lain melenturkan urat-urat kerongkongan, Kasim tetap takzim. Kunyahan bacem-nya melambat. Matanya menunggu-nunggu.

“Calon mertua ndhasmu! Lihat pasar ini, cuk! Berapa banyak uang berputar-putar di sini. Tiga tahun lalu, kalau aku dengar cerita Doto, belum ada apa-apa di sini. Hutan semua, ikan cuma bawal, sayur cuma paku, umbi cuma singkong. Tapi lihat sekarang. Semua berubah! Tambah luas, tambah ramai. Berapa banyak orang Playen yang di nimbrung di sini? Paling cuma sekuku. Lain-lainnya orang dari kota, Wonogiri, Mbantul, Pacitan. Mereka cari apa kalau bukan rezekiii… Pasti ada yang bawa mereka kemari.”

“Ya ada. BumDes!” Doto menimpali. Di balik tampilannya yang menjijikkan ternyata tersimpan pengetahuan yang mengejutkan. “Sejak BumDes terbentuk, tambah banyak orang tanam modal, putar modal. Koperasi! Apa lagi…. Lomba-lomba. Tapi itu tidak menjawab pertanyaan… sebenarnya kenapa kau pindah-pindah.”

Di ujung bibirnya Kasim menyungging senyum. Akhirnya ia tak perlu pakai mulut untuk menohok Manung tepat di jantungnya, setelah perkataan Doto barusan seperti menyetrum sekujur tubuh Manung sampai hampir tersedak.

“Apa peruntungan begitu serat di tempat dulu-dulu, kayaknya endak juga. Soalnya Playen juga belum tentu lebih baik dari tempat-tempatmu dulu. Di sini desa kecil, puluhan kilo dari kota, barang dijual murah-murah. Tidak banyak penghasilan. Kau beruntung karena berdagang batu akik, yang harganya ikuti arah angin dan kabar burung saja. Kemudian banyak yang suka, di sini juragan menyebar. Tapi aku yakin, Manung…keberuntunganmu di masa-masa dulu pastilah juga sebaik--atau mungkin lebih baik--dari sekadar di tempat kecil seperti Playen ini, yang baru dibikinkan BumDes tiga tahun belakangan. Jadi…, apa yang bikin kau meninggalkan tempat-tempat itu terus betah di sini?”

Bulat sudah. Kecurigaan itu makin nyata. Kasim sampai bertepuk paha mendengar jabaran makjleb yang diutarakan Doto barusan. Pikirannya sebetulnya mirip-mirip saja, hanya mungkin jika ia yang harus bicara, lontarannya bakal lebih menyakitkan. Sekarang dengan serangan sekelebat itu, mereka berada di atas awan, main gaplé dengan taruhan besar: Manung membongkar dirinya atau mereka “dapat bagian”.

“Em…itu….” Manung berupaya menyusun kata, tapi tak kunjung ditemukannya. Ia seperti menggali-gali di lumpur, berharap batu mulia yang warnanya serupa tanah. Tapi setelah sepuluhan detik meneguk air dan berpikir, akhirnya jawaban itu ketemu. “Itu…karena saya ikuti mimpi! Iya. Karena mimpi.” Tinjunya dipukulkan ke telapak satunya, matanya mengirim semangat tapi rapuh. “Kalian tahu…urusan cari-cari batu, pilih-pilih batu, semua soal aura. Baik atau buruk. Ayodya atau Sengsara. Yin atau Yang. Dua-duanya dekat tapi berseberangan. Kadang di malam-malam tiga-empat tahun dulu, aku sering mimpi kalau di suatu tempat ada batu mulianya. Akiknya bercahaya, matanya paling sedikit--kalau istilah pedagang, murni. Seperti lahirnya dari cairan tak bercela. Warnanya biru akua, merah hati, sampai putih susu. Tapi petunjuk di mana batu-batu itu datang lewat mimpi. Oh, kau mesti ke Banten. Atau, besok batu itu ada di Trenggalek, belakang candi Tembing. Wangsit! Petunjuk lewat mimpi-mimpi itu bikin saya pindah-pindah kota. Kan sudah pernah kucerita, awalnya tinggalkan Banten tahun 2005, terus ke Mesuji. Di sana berdiam dua bulan, karena konon ada zamrud Sabang yang hanyut dibawa tsunami. Ratusan bijinya!

“Tapi daerah-daerah sesudah itu tentu alasannya beda-beda. Ada yang karena sehabis gempa, ada yang karena dibisiki Wong Tuwo, ada juga karena perasaanku saja yang tiba-tiba kepingin datang ke tempat situ, ke Madura misalnya, atau waktu ke Pangkajene, Sulawesi. Itu tanpa perencanaan, tanpa mimpi. Pas di pasar jualan, terus seperti ada yang bisiki dari belakang telinga, hawanya dingin tapi lalu hilang. Saya keluar uang dua juta ongkos transpor, tapi ketemu juga akhirnya. Batu-batu itu kupasangi harga empat juta setengah kalau ada yang nawar. Yang hitam pekat bentuk kuarsa harganya lima belas, tapi endak tak dol.”

Kasim menyeringai. Cerita karangan yang menakjubkan, pikirnya. Napasnya ringan tapi tajam. Seruputan kopinya mengikis dasar. “Ya…betul apa yang diceritakan Manung. Kalian berdua harus tahu,” tunjuk gelasnya ke muka Doto dan Rusmin, “urusan kebenaran cuma punya Yang Kuasa, yang di atas. Tapi urusan cerita kehidupan, akal manusia.” Seakan-akan ada maksud dari perkataannya. “Tapi kalau urusan rezeki dan kematian…, hmph, manusia tidak bisa lari, atau sembunyi. Kebenaran cuma satu, dan Dia selalu tahu.” Gelas dirapatkan ke langit, menyentuh atap terpal oranye milik Mbak Marni.

“Kalian berdua, ayo. Nyambut gawe.

Manung melepas ketiganya dengan angkat gelas. Sengiran menepi di bibirnya, tapi jantungnya berdegup cepat. Dari tempatnya duduk ia bisa melihat ketiga pencerita itu menjauh dengan punggung-punggung bungkuk dan berpakaian, tapi seperti ada carok yang terselip di balik kain-kain mereka itu. Mereka melewati lapak kecil beralas terpal hitam dengan peti rendah terbuka lebar di atasnya, sebuah dudukan kecil yang kosong, dan tiga calon pembeli yang mulai meraba-raba. Kasim sempat berbincang dengan seorang calon pembeli dan dengan sengirannya, seperti menenangkan pendatang itu. Ratusan batu akik disusun rapi dalam cekungan busa, satu dicabut saat yang lain dikembalikan. Para pemburu batu mulai berdatangan, seusai ibadat salat yang diselipi doa minta kekayaan dari perhiasan. Mereka tampak saling pandang dan bertukar canda, penasaran kemana gerangan si penjual.

**

Malam begitu kekal. Seperti nyanyian panjang yang berulang-ulang. Hening dan menakutkan. Jangkrik, katak, dan trenggiling bersahut-sahutan, derik-derik keramaiannya serupa ancaman. Orkestra alami ini menyelipkan undangan dari setan yang terkutuk, pada semua makhluk yang kemaruk. Di beton kecil sisa pondasi dekat pohon beringin, Manung mengalasi pantatnya dengan daun pisang, berdoa dengan racau. Matanya mengucap lafal tapi pikirannya masih melayang-layang ke pasar. Tak sadar kalau ia tak menghadap ke Kiblat melainkan ke akar pohon. Tak berapa lama ia mendengar suara langkah di atas tanah becek, menapak-napak dan mengendap-ngendap. Lolongan anjing dari kejauhan menajamkan matanya. Lalu tanpa tedeng aling-aling, Manung memeluk makhluk pendatang itu.

“Kukira kau tidak akan datang,” ujar Manung sesaat melepaskan dekapannya.

“Anak-anak habis garap PR-nya.” Makhluk yang baru datang itu merapikan kerah bajunya yang terlipat karena rangkulan dan sambar ciuman. Marni, makhluk itu, tahu diri kalau kedatangannya di sudut kampung begini mungkin menaruh curiga, jadi ia tarik tangan Manung agak ke belakang, mendekati batas pagar pekuburan. “Kau tahu aku harus nemeni mereka sebelum kunci pintu. Lagipula kenapa sih harus malam-malam begini ketemunya? Biasanya juga Mas datang langsung ke rumah. Kayak dikejar setan saja. Ada apa sih?”

“Tidak mungkin kan aku datang pas anak-anakmu belajar. Begini, ingat ceritaku tempo hari soal si Kasim?”

Marni mengangguk.

“Ingat juga kan ceritaku soal masa-masa lalu sebelum tiba di Playen?”

Lagi-lagi Marni mengangguk, tapi tak seyakin sebelumnya.

“Nah. Dari semalam aku tidak bisa tidur. Si Kasim ini agaknya curiga sama aku…kenapa aku bisa berpindah-pindah daerah sebelum kemari. Kau dengar sendiri apa omongannya. Kau lihat ndak bagaimana caranya melihat ke arahku? Matanya seperti setan, seperti hakim. Dia sepertinya mengira aku melakukan sesuatu.”

“Melakukan…apa?”

“Ahh…orang itu. Pikirannya memang selalu jelek. Ingat ndak waktu hari kelima aku di sini. Dia berpikir aku main mata dengan istrinya si Rusmin. Untung Rusmin yakinkan dia tidak mungkin itu, mana mungkin aku mau dengan perempuan cerewet yang mandul? Kasihan sampai-sampai dia bilang begitu. Tapi tetap, Kasim terus mengulik-ngulik. Orang itu seperti ular, mengendus-ngendus dan meliuk. Dia kepingin tahu apa yang menimpaku di masa lalu.”

“Kenapa tidak kasih tahu saja? Yang sebenarnya…. Bahwa….”

“Ahh…. Aku tahu Kasim orangnya seperti apa. Dia seperti kehausan dengan air liurnya sendiri, meminumi air garam tidak pernah puas. Kalau kuberitahu sesuatu, dia akan menggali sesuatu yang lain. Padahal, tidak semua ceritaku harus kubagi ke orang.”

Marni agak merajuk, menggulung ujung bajunya di sepanjang telunjuk. “Kalau dibagi ke aku, yang selama ini, semua benar kan?”

“Tentu saja benar. Aku mencintaimu jadi aku percayakan banyak ceritaku padamu, Marni. Yang kemarin-kemarin…juga besok-besok. Tapi aku perlu bantuanmu.”

“Apapun akan kucoba, Mas.”

“Bagus. Aku kepingin kau bantu aku alihkan perhatiannya si Kasim. Kalau ketemu dan dia singgung soal masa laluku menjual-jual batu, kau ceritakan yang lain. Kalau perlu, kau goda-goda dia…”

“Goda bagaimana, Mas? Perlukah aku…”

“Bukan--Bukan yang itu. Kasih kopi gratis kek, atau bon kek… yang penting biar dia malas ungkit-ungkit usahaku saja. Dasar kutu busuk….kenapa tidak dia urusi saja ikan-ikannya dan dua istrinya yang malang. Malahan….”

“Aah…sudahlah, Mas. Biar Marni coba. Tapi Mas juga harus janji, hubungan kita jangan sampai ada yang tahu.”

Manung bergegas mengangkat telunjuknya ke bibir Marni, lalu merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. Benda itu berkilau bahkan di tempat gelap. Dengan sapuan sebentar di ujung bajunya, batu itupun semakin mengkilap, persis seperti kaca berlian yang di pesta-pesta. Marni hampir melompat saat mengetahui kekasihnya memberikan hadiah besar itu. Cincin bergelang kuning-keemasan tipis, dan batunya berukuran setengah dari cincin akik biasa.

“Jangan kau pakai pas di luar. Biar Kasim atau yang lainnya tidak curiga.”

“Akan kusimpan, Kang Masku.” Ciuman mendarat dengan keras di pipi Manung. Mereka berpelukan agak lama sebelum Marni menghilang di tengah kegelapan. Di bawah pohon itu Manung kembali berlutut dan berdoa, tanpa peduli ia menghadap Kiblat atau akar pohon.

**

Bisik-bisik santer terdengar padahal masih jam enam. Ayam bahkan baru turun dari tangkringan dan lapak-lapak di pasar masih berkutat dengan sisa becek semalam. Pedagang menyapu dan saling bercanda, tapi kebanyakan bergunjing dengan hikmat. Manung mulai mendengar cerita-cerita miring dan namanya disebut-sebut saat ia baru keluar dari gang rumah kontrakannya. Dua-tiga pedagang kelontong memelototinya, ibu-ibu cekikikan memandangnya. Ketika berlalu dan masuk ke jalan lebar, ia hampir ditabrak sepeda motor entah oleh siapa, dan saat sampai di lapak seekor kucing mati tergeletak di dekat peti jualannya.

Mendung mulai menggantung dan Manung langsung tahu seseorang (atau sesuatu) telah mengusik keseimbangan. Jam-jam pertama jualannya sepi, hanya satu orang yang menengok biji-biji batu, itupun tidak jadi membeli. Meski langit mendung, hari lebih hangat dari biasanya, jadi ia mendekati warung angkringan untuk sebuah es teh atau kopi hangat. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika tidak mendapati Marni di warungnya, kosong melompong seperti sedang libur. Ada apa gerangan? Pikir ia, tapi memang mungkin Marni sedang terlambat, urusan anak-anaknya di sekolah. Sejam berikutnya berlalu, Manung semakin gelisah. Seperti pertanda akan datangnya tsunami, pasar tiba-tiba surut. Para pedagang menutup lapaknya satu-satu, dan hanya tersisa segelintir orang tua di lapak rempah-rempah dan sayuran. Aneh, karena bahkan istirahat siang masih dua jam lagi. Ketika ia mulai bersiap-siap untuk “sesuatu yang buruk”, ombak besar itu sudah datang. Dua mobil polisi berbentuk bus mini warna hitam-hitam datang dan menghamburkan sisa debu. Dari dalamnya turun empat petugas setingkat ajun inspektur, dan seorang Ajun komisaris. Mereka mendekat dan langsung memberi hormat. “Anda Manung?” tanya satu-satunya perwira berkacamata hitam. Manung mengangguk, tapi tak sempatpun ia bertanya apa-apa, polisi itu sudah memberondongnya dengan cecaran ‘ketentuan penangkapan’, menunjukkan dua lembar surat perintah, dan mengelilinginya. Dua orang briptu yang datang belakangan dengan sepeda motor langsung merangkulnya, dan ia digiring mendekati mobil. Tetapi baru dua langkah ia beranjak, keberaniannya meledak-ledak. “Aku ditipu. Ini fitnah. Apa kesalahanku?”

“Anda dituduh memperdegangkan batu-batu akik palsu, dan menipu ratusan pembeli.”

“Batu-batuku tidak palsu! Semuanya asli.”

“Anda sudah menipu di lebih dari sembilan kota, daerah. Anda mau mengelak lagi?” Seretan polisi semakin mendesaknya. Dalam sudut pandang yang begitu terjepit, Manung dapat melihat di kejauhan berdiri seseorang dengan senyum-sengir di ujung bibir. Kasim berkacak pinggang seperti menikmati kemenangan. Di belakangnya Doto dan Rusmin hanya kebingungan, dan mungkin berujar, “Apa ini endak apa-apa?”

Saat Manung akhirnya didorong kepalanya memasuki rongga mobil, polisi mendengar teriakan yang mendekat dari kejauhan. Langkah-langkah sandal karet yang dijejal keras di atas pasir-pasir becek. Marni menjerit-jerit memohon pada polisi.

“Jangan. Tolong jangan tangkap kekasih saya, Pak Polisi. Manung, bukan saya yang melapor. Sumpah demi Allah. Bukan saya. Pak Polisi, bebaskan kekasih saya!” Marni ditahan oleh seorang Iptu saat ia meronta-ronta dan mengiba. Sinar matahari yang tipis memantul-mantulkan cahaya bening dari jari manisnya. “Manung pedagang jujur. Ia tidak pernah menjual barang apapun. Saya saksinya, dan saya akan berikan alasan sebenarnya kenapa Manung harus menetap di sini dan tidak pindah-pindah lagi.”

Kasim berlari mendekati mobil polisi, beriringan dengan kerumunan orang yang mulai merapat. Kepalanya kecil namun bisa kelihatan di antara pundak-pundak orang yang jaraknya dibatasi motor polisi. Jelas wajahnya terkejut melihat mengapa Marni seperti itu, menepuk pundak Doto dan Rusmin yang sama-sama tidak dapat memberi penjelasan.

“Aku cinta Mas Manung. Kami akan segera menikah.” Polisi itu terkejut, perwira melepas kacamatanya dan meminta anak buahnya menahan diri. “Apa…? Menikah?”

Marni sesengukan, menatap kekasihnya dengan ketakutan. “Ya. Sebenarnya hubungan kami tidak ada yang tahu. Tapi…kami benar-benar saling cinta. Manung tidak pernah tinggal lebih dari tiga bulan di sebuah kota karena terus mencari peruntungan dagang batu akik. Ia seorang Islam tapi lebih percaya mimpi-mimpi, kekasih saya ini.” Marni menatap Manung yang mulai menunduk dan terharu di dalam mobil, tak rela menunjukkan wajah malunya meski hatinya bahagia mendengar hal itu.

“Manung percaya batu akan menuntun rezekinya, jadi ia pindah-pindah. Sekarang, setelah sampai di Playen, lalu ia tidak mau pindah lagi. Karena batu…” Marni menata lagi kata-katanya, mulai agak tersenyum. Tanpa ragu lagi ia angkat tangan kirinya dan menunjukkan jari manisnya ke semua orang. “Karena batu akik yang indah membawanya padaku. Pekerjaan yang dicintainya membawa jatuh cinta lagi.”

Lautan biru cinta tidak tertahankan lagi. Manung tanpa ba-bi-bu langsung melompat keluar mobil dan memeluk rapat kekasihnya. Polisi pun tak menahannya, yakin bahwa ia tidak akan lari. Marni sampai berjinjit, kepalanya merapat hangat. Mereka berdua seperti bertaut rapat setelah sekian lama terkurung di balik bayang-bayang malam dan pohon beringin. Tapi hari ini, cinta mereka resmi. Pernyataan mereka terbuka, dan alasan mereka tidak peduli lagi. Manung hendak mencium Marni seperti di film-film India, tetapi martabatnya menahan diri. Saat polisi menariknya kembali ke mobil, Marni juga pasrah. Mobil itu kemudian berlalu dan meneruskan kewajibannya, dengan enam polisi berseragam yang masih kebingungan.

Setengah jam perjalanan dari desa itu ke kantor polisi sektor terdekat. Rasa kantuk membuai kepala empat polisi bergoyang-goyang lalu bersandar. Satu-satunya perwira di dalam mobil itu, yang duduk persis di depan tersangka, membalik badan kemudian bertanya.

“Jika benar yang Marni katakan, anggaplah--ini di luar pemeriksaan ya--semua batu akik yang kau jual asli. Berarti…kau cuma seorang pedagang yang percaya pada mimpi-mimpi? Yang mengejar rezeki lewat tahayul dan cerita-cerita gaib?”

“Ya, Pak. Sama seperti kebanyakan penjual batu.”

“Apa semua batu akik bikin orang percaya yang gaib-gaib?”

“Tidak juga, Pak. Tapi kebanyakan akhirnya percaya.”

“Dan kau bisa membedakan batu asli dan yang tidak?”

“Tentu saja saya bisa, Pak.”

Perwira itu, tanpa alasan yang jelas, lalu tertawa kecil, nyaris tipis sampai anak buah yang menyopiri mereka tidak berani melirik. Ajun komisaris itu dengan gerak muslihat lalu mengangkat pantatnya agak miring, semata-mata agar tangannya dapat menelisik ke saku celana belakangnya. “Aduh, dari tadi ngganjal ni….”

Manung tersenyum lucu. Perwira itu menunjukkan cincin batu merah hati kepadanya. “Bagaimana menurutmu…,” tanya perwira itu. “Aku beli waktu di Kopeng, satu setengah. Ini asli?”

Urat-urat keahlian teknis Manung bekerja. Matanya menelisik buih yang mungkin terkandung dalam batu, mengukur diameternya dan menimang-nimang beratnya. Dengan beberapa sentuhan lagi ia rasakan permukaan batu, ia lihat bagian dasar cincin, bahkan menjilati warna merah hatinya. Setelah akhirnya ia gosok lagi batu itu dengan bajunya, ia kembalikan kepada perwira itu. “Asli, Pak. Kecuali palsu yang sakti sampai bisa menipu pembeli, menurut saya ini asli.”

Perwira itu mengangkat jempol dan mengangguk puas. “Aku sebenarnya percaya padamu. Ini memang asli. Tidak seperti batu kaca yang kau kasih ke Marni. Lain kali kalau kau bebas, belikan dia batu seharga tiga juta, jangan tunda-tunda.”

Manung kaget juga mendengar tebakan jitu. Selama ini ia mengira polisi tidak semuanya tajam di mata dan naluri. Mereka pun tertawa sampai keempat prajurit lain terbangun dari tidur-tidur mereka. “Ya, Siap, Pak. Siap.”

-----------------------------------------

Sumber ilustrasi: Artikel "Ledakan Batu AkikHarian Kompas/Kompas.com.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun