Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bagaimana “Selfie” Dapat Memberimu Masalah

21 Januari 2015   19:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:40 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14218287271030529140

[caption id="attachment_392279" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber foto: Kompas Tekno"][/caption]

Mari kita bicara soal, sekali lagi…, selfie.

Dalam tiga hari terakhir media sosial Tanah Air diramaikan lagi dengan satu-dua kasus selfie yang berujung pada masalah atau, setidak-tidaknya, “perbincangan-penuh-cibiran-dan-candaan” publik. Satu karena seorang “yang disebut” ustaz mengetwit rangkaian “syiar” bahwa selfie sebaiknya dihindari karena mencerminkan riya’ (tindakan memamerkan), dan satu lagi karena seorang kandidat Ratu Kecantikan asal Lebanon terlihat dalam bingkai (frame) yang sama dengan Miss Israel, negara yang oleh beberapa pihak diklaim “bersebelahan”.

Yah, walau tentu saja kasus selfie sang ulama berputar-putar di masalah persepsi dan konsistensi ucapan (netizen menemukan tweet terdahulu saat sang “ustaz” justru berperilaku sebaliknya), sementara kasus Miss Lebanon Sally Greige (yang mengaku sudah berusaha menolak selfie bersama Miss Israel Doron Matalon) merupakan pelintiran ajang pageant ke arah politik, keduanya menunjukkan bahwa dalam konteks ketidakhati-hatian, selfie dapat memberimu masalah. Dan yang berbahaya, tentu saja, adalah karena semua yang dimuat online begitu cepat dapat melambungkan popularitas, dalam artian positif dan negatif.

Jika diperhatikan, selfie sebetulnya baru saja melewati masa keemasannya setelah memenangkan predikat Word of the Year tahun 2013 versi Kamus Besar Oxford. Pada tahun itu, tagar #selfie bertambah 200 persen hanya dalam waktu 1 bulan, terutama dipicu oleh beberapa selebritas Hollywood seperti Kim Kardashian dan Taylor Swift. Di Indonesia kebanyakan selebritas tentu saja menyalin-tempel apa yang sedang in di luar sana (ambil contoh Harlem Shake dan  Ice Bucket Challenge). Bertumbuhnya Generasi Y begitu identik dengan tren media baru, mencari berbagai ekspresi dan katarsis. (Baca: Generasi Selfie: Mampukah Diandalkan?)

Angka tayangan selfie di media sosial bisa naik turun mengikuti arus informasi dan tren yang sedang berjalan. Hasil riset Samsung pernah mencatat bahwa sekitar 30% foto selfie yang diterbitkan dari perangkat genggam difoto oleh mereka yang berusia 18 hingga 24 tahun, masa remaja hingga dewasa awal. Kecenderungan perilaku “menyayangi” diri sendiri ini yang begitu cepat menyebar di kalangan dalam kelompok usia yang sama, untuk berbagai kepentingan dan momen: sedang bersantai, bosan, sebelum tidur, bahkan saat bersedih.

Sayangnya, tidak semua selfie benar-benar menunjukkan keriangan personal sebagaimana yang ditunjukkan fotonya.

Direktur Pusat Psikologi Media dari Massachussets Institute of Technology di Boston,Dr. Pamela Rutledge pernah menulis, “Kecenderungan menggemari selfie bisa menjadi penanda jelas bahwa seseorang itu sebetulnya tidak percaya diri….” Rutledge menambahkan, di banyak sisi mudah terlihat bahwa mereka yang melakukan selfie dan menayangkannya di media sebetulnya menunjukkan bahwa diri mereka sebenarnya memerlukan bantuan, “Entah itu sedang kesepian, butuh hiburan, teman bicara, atau butuh pekerjaan.”

Sayangnya, kegemaran narsistis semacam ini dapat membawa seseorang menemui masalah-masalah baru. “Banyak kasus di mana mereka tidak menyadari kalau foto-foto itu dapat menjerumuskan mereka ke masalah-masalah baru,” imbuh Rutledge yang juga kontributor tetap pada situs konsultasi masalah kejiwaan Psychology Today. Selain itu, selfie sebenarnya bisa jadi senjata yang menentukan nasib orang-orang muda ini di masa depan, baik itu terkait pekerjaan, pertemanan, atau hubungan sosial lainnya.

Jajak pendapat global yang pernah dilakukan oleh Eurocom, sebuah firma teknologi berbasis di Inggris menunjukkan, sedikitnya 40 persen perusahaan di seluruh dunia menggunakan media sosial untuk mencari calon-calon karyawan mereka. Dalam jumlah itu, 1 dari 5 perusahaan membatalkan perekrutan karyawannya karena mendapatkan “sesuatu yang tidak sesuai” pada profil si calon pekerja.  Lalu, apakah selfie dapat mendatangkan masalah lebih parah dari ditolak kerja?

O…. Tragis.

Tidak banyak yang menyadari berita bahwa pada Oktober lalu, di Makassar, Sulawesi Selatan seorang mahasiswa semester gasal Wahyudi Kuasa (21) tewas diberondong anak panah oleh perilaku kriminal geng motor, setelah kelompok itu mulai “memburu” para mahasiswa atas sentimen kelompok yang berujung aksi kekerasan.

Odie--panggilan akrab pemuda malang itu--tewas kehabisan darah setelah tiga anak panah menancap di kepala, leher, dan pahanya. Kepolisian menangkap indikasi para pelaku terpancing emosinya setelah tayangan tweet tidak menyenangkan yang dilayangkan korban. Sementara lewat akun Facebook-nya, korban diketahui sempat mengambil selfie bersama kekasihnya sebelum akhirnya meninggal dalam keadaan “mengenakan kaus yang sama” delapan jam kemudian.

Di belahan dunia lain, beberapa kasus lebih parah. Ambil contoh nasib malang yang menimpa  Sylwia Rajchel (23), calon perawat dari Polandia yang pada 6 November lalu tewas terhempas di beton pengaman jembatan Puente de Triana di New York, saat berusaha mengambil “selfie yang sempurna” di pagar. Tim medis tidak bisa menyelamatkan nyawanya akibat pendarahan hebat setelah terjatuh 30 meter tingginya. Yang terbaru, empat hari yang lalu, (16/1), Rebecca Kim (18) remaja baru lulus SMA terjatuh dari gedung Rittenhouse Square, Philadephia saat “berusaha memotret dirinya” dengan melongok keluar jendela. (DailyMail)

Jadi, cukup jelas bukan saat bagaimana dan dalam posisi bagaimana seseorang yang gemar selfie dapat menemui masalah. Bersyukur jika bukan masalah fatal seperti dua-tiga siswi dalam contoh di atas.

Bagaimanapun, kegemaran mengambil foto diri sebagiannya hanya berupa tren sosial yang cepat menyebar karena media genggam dan persebaran informasi yang sesekali dapat mengurangi “kemampuan mengendalikan diri”. Selebihnya, selfie menjadi media baru membangun citra diri dengan cara yang paling mudah dan murah, tidak memakan banyak energi-biaya, dan dengan bonus like, retweet, atau sekadar emoji hati.

Jadi apakah selfie dapat menjerumuskan atau menjemakmu ke dalam masalah, sudah jelas jawabannya "Ya." Sang "ustaz" dan si Miss Lebanon pasti akan menjawab sama.

Untuk diingat, selfie bisa saja menunjukkan lebih banyak dari yang dimaksudkan. Selfie dapat membocorkan banyak “informasi psikologis” yang tidak disadari, tetapi begitu berarti bagi orang yang menilainya. Narsisitas bukan penyakit tetapi harus menemui tempat dan waktu yang pas.

Seperti kata DR. Tracy Alloway dari University of North Florida, “Setiap narsisitas memerlukan kolam refleksi (tempat penyaluran).” Dan sebaik-baik selfie adalah yang diambil dan ditayangkan dalam kondisi sadar dan berhitung. Bagaimanapun, teman atau pasangan sejati pasti tahu bagaimana cantiknya dirimu, bahkan tanpa selfie yang banyak disebar itu.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun