* "Linda, ini apa?" Tidak ada jawaban dan telunjuk masih mengarah ke meja. DOKTER CHO mengulang lagi pertanyaan itu kepada pasiennya. Seorang perempuan muda, berkulit sawo matang dengan lebar badannya telah menyempit karena pengaruh obat. Pasien itu hanya melihat mata dokter di depannya, mengisi pikiran untuk sebuah jawaban. Tapi mulutnya tak kunjung bersuara, bibirnya yang kini memerah tak kuasa bergerak. Kepalanya menggeleng beberapa kali membiarkan rambut sebahunya berkibar ke sana kemari. Dokter itu menghela napas. Selang lima menit yang diam, seorang suster masuk dan membuka tirai. Cahaya langsung menyeruak dan menerangi kamar berukuran sedang itu. Sebuah vas dan beberapa kertas warna diletakkan berturut-turut setelah dipan berisi menu sarapan. "Maaf, dokter. Kukira dia butuh sedikit penyegaran. Ruangan gelap mungkin mengganggunya." Suster perempuan paruh baya itu meminta maaf, mengantisipasi kalau-kalau atasannya itu kaget dengan aksinya yang spontan barusan. "Tidak apa-apa, Bu Rum." Dokter itu menjawab pelan sambil melihat jam tangannya. Pukul 07.15. "Aku harus pergi. Bu Rum bertugas di sini hari ini kan?" Suster itu mengangguk kemudian dibalas ucapan terima kasih oleh Cho. Dokter muda itu merapatkan kacamatanya kemudian meninggalkan ruangan. Suster Rum mencoba menenangkan pasien itu dengan berbagai perawatan sederhana. Ia mulai dengan merapikan ujung sprei, membersihkan lantai dari bungkus-bungkus makanan, menegakkan gelas yang terjatuh di atas meja, dan mematikan televisi yang mungkin menyala sejak tadi malam. Ruang perawatan seperti kelas satu ini mestinya tak diberikan kepada seorang penderita anomia, pikir suster itu. Tapi ia belum bisa berbuat banyak untuk menyanggah ini-itu, dan keluarga pasien yang jarang menjenguk anak ini justru meminta banyak hal yang membuat rumah sakit kerepotan. Aneh, pemilik rumah sakit sampai turun tangan meminta perawatan ekstra untuk Linda Gimanuk, seorang duapuluh dua tahun yang ditemukan di jalan pada 4 Desember. Tiga bulan yang panjang. Dan Linda lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menyusun balok-balok lego dan mencoret-coretkan lingkaran acak pada buku gambar yang dikirimkan untuknya dua minggu sekali. Rum menyuapi pasiennya dan mencoba berbicara. "Linda ...." Suster itu menyapa. Segurat senyuman ia angkat sebagai pengantar pesan. Gadis itu menatap dan balas tersenyum. Rum mengangkat sendok plastik putih di atas wadah makanan yang sama putihnya. Bubur ayam berlauk wortel sepertinya belum menggugah selera. Muka gadis itu pucat dan tangannya saling memijat. Ia seperti khawatir, atau menantikan sesuatu. Rum tak mau menerka banyak. Ia coba lagi. "Linda, ini apa?" Linda memicingkan matanya, mendekatkan kepalanya pada kepala sendok yang kini tegak membelakanginya. Sontak lalu dan hanya selang beberapa detik, dari matanya terpancar kecerahan dan sebuah jawaban. Rum tersenyum dan berharap banyak dari reaksi ini. Senyuman antusias memang bukan hal yang jarang bagi penderita anomia. Tapi kali ini ia tak mau gegabah, siapa tahu kali ini Linda bisa mengucapkan sesuatu yang benar-benar adalah jawaban. Kemudian kepala gadis itu lemas lagi. Bibirnya bergerak-gerak, bahkan mulutnya sempat terbuka, tapi kata-katanya tak keluar. Satu menit mencoba berbicara dengan mengeluarkan berbagai suara, ia memegangi kepalanya. Kata-kata yang keluar tak lebih banyak dari "makan ... sus ... sakit ... ahh ...." Rum menyerah lagi. Hari itu berlalu begitu pelan. Rum keluar masuk ruangan dengan membawa beberapa barang. Untuk mengusir kebosanan suster penjaga itu sesekali membaca majalah KELANA dan MEDIO MEDIS yang tergeletak di atas meja. Saat Linda tertidur, ia bisa leluasa melakukan pengecekan kondisi fisik secara keseluruhan. Denyut jantung dan ritme napas, getaran-getaran tremor di lutut dan ruas-ruas jari tangan, sampai hal-hal sepele seperti merapikan rambut gadis itu. Saat merapikan penampilan pasiennya itulah, Rum terkejut. Dalam posisi tidur delta, Linda mengeluarkan jawaban atas dua pertanyaan yang beberapa jam sebelumnya ditanyakan. "Meja ... Meja ... Meja ...." Gadis tertidur itu mengigau. Kepalanya menggeleng pelan dan kelopak matanya bergerak-gerak. Rum mendekat dengan hati-hati kemudian mencatat waktu persisnya. Tak berapa lama terdengar lagi kata-kata "sendok ... sendok ...." Rum terkejut senang, ia langsung berlari keluar ruangan, menyusuri koridor sampai akhirnya berdiri di depan meja setinggi dada tempat ia menghubungi seseorang lewat telepon. "Dokter. Dokter Cho! Terjadi sesuatu. Maaf, tapi dokter harus segera kemari. Linda ..." Suster itu menjelaskan singkat apa yang barusan disaksikannya. Dokter Cho datang sambil berlari kecil saat azan ashar berkumandang dan langsung menuju ruang perawatan kelas satu di lantai tiga. Hal yang pertama dilakukannya saat sampai di kamar itu adalah meminta suster Rum menutup tirai dan menyalakan lampu tidur di sudut kamar. Dengan sigap berbalut kelembutan ia menyingsingkan lengan jasnya, menempelkan tangan pada kening Linda kemudian melakukan pengamatan singkat dari balik lensa kacamatanya sendiri. "Kondisinya delta. Gejala apnea ...," gumamnya ringan. Ia mendengar suster Rum menyeletuk beberapa teori yang membuatnya mengangguk-angguk. "Ini kemajuan, Suster. Jam berapa tadi ia mengucapkan kata-kata itu? "Em ... kata meja sekitar pukul 13.27, diulang tiga kali, kemudian sendok tiga menit kemudian, diulang dua kali." Cho menegakkan badan lalu merapatkan lengannya ke dada. Satu tangannya tegak menopang dagu saat kepanya mulai berdenyut menandakan reaksi pikir yang mulai serius. "Reaksi tertunda. Ini aneh." "Kukira Anomia tidak ada reaksi tunda, dokter." "Benar. Makanya kurasa ada yang aneh dengan gadis ini." Cho menghela napasnya lebih pelan agar rileks. Untuk sejenak kemudian ia memerintahkan kepada Rum untuk terus mengamati setiap detik gejala yang ditunjukkan pasien, saat dirinya sendiri pamit untuk menemui seorang dokter Psikosomatis di lantai lain. Rum mengangguk hormat kemudian pintu tertutup kembali. Rum terkejut. Gadis itu bangkit dengan pelan kemudian duduk. Suster itu dibuat kaget sampai nyaris terhenyak dan tangannya sudah dirapatkan ke dada. Perlahan ia mendekat dan lalu menemani Linda duduk. "Suster ...," pasien itu bertanya pelan. Hal yang aneh, karena Rum mengira gadis ini butuh beberapa saat untuk berbicara. Tapi Rum mengangguk sekenanya, menerima pertanyaan dengan siap. "Dokter Cho itu ...," kata pasien itu lagi. Kata-katanya benar-benar lancar sekarang. Rum tak mau melewatkan kesempatan dan langsung mencatat di jurnal pengamatannya. Setiap kata dan ekspresi ia steno. "Dia itu ... datang kemari setiap pagi?" tanya Linda. Suster itu diam dan heran dan berusaha bertanya hal-hal yang lebih fokus pada terapi ataupun memastikan kondisi. Tapi pasien itu malah membalas dengan senyuman aneh yang penuh penolakan. Akhirnya pasrah, suster itu pun menjawab pertanyaan yang barusan terlontar. Percakapan berlangsung sebagaimana normalnya. "Iya. Setiap jam tujuh ia langsung kemari dan memeriksa kondisi Mbak Linda." Pasien itu tertunduk sambil tersenyum. "Malam dia datang tidak, suster?" Meski butuh beberapa saat untuk menjawab pertanyaan itu, Rum bersuara juga. "Petang sebelum pulang ia mengecek lagi. Itu kalau tidak ada rapat atau pekerjaan di klinik." Gadis itu tertunduk lagi. Tersenyum lagi. "Mbak Linda ..." Akhirnya Rum sudah tidak tahan dan ingin menemukan jawaban atas gejala aneh yang dilihatnya seharian ini. "Mbak Linda ..." Secara perlahan suster itu mengangkat sendok lagi. "Sendok, suster. Aku sebenarnya tidak sakit." Linda berkata dengan begitu cepat, bahkan sebelum suster itu sempat berkedip. Sontak Rum terperanjat. Kini pasiennya telah menggeliat sendiri di ranjang sebelum mengeluarkan kakinya ke sisi terbuka. "Iya. Anomia. Apapun itu, aku tidak mengerti. Aku selama tiga bulan di sini hanya bagian dari latihan rahasiaku dari rumah produksi INDICA. Sebuah film tentang euthanasia sedang kami garap dan sebagai pemeran utama, aku ditugaskan menjalani latihan rahasia di rumah sakit. Berhadapan dengan dokter asli, dan melatih reaksi-reaksi medis yang sekiranya dibutuhkan di film. Akan tayang Juli tahun depan." Tidak percaya, Rum menggelengkan kepalanya kencang kemudian bangkit dari sisi ranjang. Gadis itu kini bergerak lincah dan ringan saja. "Tidak ... tidak mungkin. Gejala Anomia tidak bisa ditiru sampai ..." "Memang tidak akurat, bukan?" Linda menjawab sangat lancar bahkan setengah ceria. Beberapa kertas warna dilipatnya hingga menjadi origami burung. "Gejala-gejalaku? Sudah kubilang, suster. Aku tidak mengerti penyakit ini. Hanya ide produser yang seorang dokter lulusan sarjana tanpa praktik. Sebenarnya seharian tadipun aku tidak tidur. Pegal berbaring dalam posisi itu, tapi ini bagian dari latihan. CCTV di ruangan ini bahkan terhubung langsung dengan rumah produksi kami. Disupervisi langsung oleh pemilik rumah sakit ini." Rum menutup mulutnya. "Kalian keterlaluan. Apa tujuanmu sebenarnya?" "Sudah kubilang ini masalah produksi." Kemudian Linda tersipu. "Kalau tujuan pribadiku, setelah tiba di ruangan ini, adalah dokter itu. Cho. Namanya bagus, seperti tampangnya. Cara dia memperlakukan pasien juga aku kagumi. Suster, boleh aku tahu di mana aku bisa menghubungi dokter..." "Tidak ... tidak ...." Suster itu mengangkat telapak tangan kemudian dengan cepat meninggalkan ruangan sambil mengeluarkan telepon genggamnya. Pasien itu berdiri begitu saja. Senyuman kemenangan tergurat di bibirnya. Pukul 18.17. Di sebuah klinik beberapa kilometer dari RS itu, seorang dokter muda sibuk di depan layar komputer. Mencari banyak sekali artikel tentang penyimpangan-penyimpangan medis yang belum pernah ada sebelumnya. Ia berharap mendapatkan penghargaan bidang kedokteran untuk sebuah penyakit langka. Cho merapatkan cincin di jari manis, meneguk air dan siap berangkat mengecek pasiennya.
*
Anomia (anomic aphasia) yang juga dikenal sebagai disnomia adalah gangguan fungsi otak ketika penderita sulit mengucapkan kata-kata yang terkirim ke sarafnya, sulit mengidentifikasi benda sampai sulit membedakan warna.
Penyakit ini bisa disebabkan oleh kecelakaan, tumor, atau stroke. (Wikipedia)
Ilustrasi:Â lusakalou.blogspot.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H