Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bibit Kebijaksanaan

25 April 2015   12:13 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:45 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak pernah mempelajari kebijaksanaan. Bagiku, manusia hidup dengan caranya sendiri, dan mengetahui makna perjalanan dengan caranya sendiri-sendiri. Mungkin kebijaksanaan dapat dilihat dari cara seorang laki-laki tua berjalan, turun dari bus sepulangnya dari pengembaraan di semenanjung Banda Aceh, sampai ke Ternate mengikuti jejak Wallace, tersenyum dan bercerita kepada semua orang tentang dunia yang jarang terlihat. 

Di waktu lain kau melihatnya dari sepasang mata bayi berumur tiga bulan yang tidak tahu kalau kakaknya sedang menjahilinya dengan makanan dan merecoki mainannya, pasrah dan nrimo, kesucian di awal penghidupan, bukan di jelang-jelang masa akhirnya. 

Meski begitu aku selalu memerhatikan cara pandang orang terhadap bibit kebijaksanaan itu sendiri, dan di saat apa mereka menyadari bahwa mereka begitu dekat, bahkan menyentuh kebijaksanaan dengan relung kalbunya.

Semalam aku berteduh di bawah hujan, di depan kantor yang jendela-jendelanya diam tak bersuara. Dari sela-sela bulir air aku melihat, berelung cahaya di seberang, seorang satpam duduk menopang sebelah kaki di atas lutut lainnya, mengangkat tangan dan menunduk takzim. Aku tidak percaya awalnya, tapi petugas jaga bergaji kecil itu sedang membaca buku, terangkat setengah hasta jelang sepasang matanya. 

Ia tak bergerak, maka kupikir ia benar-benar menenggelamkan dirinya. Sepuluh menit, lima belas menit, mungkin ia hanya penasaran dengan sampul atau kata pengantarnya. Tapi tidak, satpam itu takzim membaca, mengerut dahi dan menggaruk kepala, mungkin coba mengerti kalimat-kalimat di sana. 

Di bawah lampu redup yang diorbit kawanan laron. Pegawai rendahan, bergaji kecil, bahkan sepatunya mungkin belum pernah ia ganti, dan kulitnya mengering karena terpaan udara dingin, membaca buku. Sebuah buku laris, yang kuhapal jelas penulisnya.

Seingatku, buku itu bercerita tentang dua koloni kelelawar yang mendiami gua yang sama. Koloni pertama, yang jumlahnya jauh lebih banyak, mengokupasi bagian gua yang paling luar, dekat dengan mulut gua dan jelasnya dekat dengan buah-buahan di hutan hujan tropis di luar sana. 

Ada tebing tinggi di sisi kanan mulut gua tempat mereka biasanya mencari pepaya, jambu hutan, dan biji-bijian aneh di siang hari, bersaing dengan rusa-rusa batu dan menghindari ular-ular pohon. Koloni kedua, kelompoknya jauh lebih kecil, mungkin sepertiga atau seperlima dari koloni pendahulu, dan mendiami bagian gua yang paling dalam, bahkan agak rendah nyaris menyentuh sungai di dasar sana, menikmati tetes-tetes air dari stalaktit dan serangga-serangga kecil yang mengganggu. 

Koloni kecil ini badannya juga kecil-kecil, karena mereka sering kali tidak bisa keluar gua untuk mencari makan. Kelelawar-kelelawar dari koloni besar kerap mencegat mereka di pintu dan menghalangi jalur terbang mereka. Tidak heran, banyak anggota koloni kecil yang mati kelaparan, dan anak-anak mereka jarang tumbuh selamat sampai dewasa. Sementara kelelawar dalam koloni besar tumbuh subur, mereka kering dan menunggu nasib dengan sisa air di dalam gua

Bertahun-tahun kemudian, sesuatu terjadi. Kawanan kelelawar dari koloni besar perlahan-lahan meninggalkan gua. Bukan cuma karena mereka merasa persediaan makanan di tebing hutan semakin sedikit, tapi lebih mengerikan, mereka merasakan ketakutan di dalam gua. Siang hari ketika kebanyakan mereka tertidur, cicit-cicit dari dalam terdengar, gigitan, sayatan, cakar dan gangguan mengerikan lain. 

Naluri mereka merasakan sesuatu, dan tidak butuh waktu lama sampai mereka menyadari bahwa mereka mulai sendirian di gua itu. Sungai mengalirkan air keluar gua dan dengannya hanyut bangkai-bangkai kelelawar, kadang tinggal sayap, kadang tinggal kepala, bagian-bagian tidak utuh dari tubuh-tubuh kecil. Sesuatu memakan mereka, menyergap mereka saat tidur dan menghabisi mereka sebagai mangsa. Koloni lebih kecil jumlahnya menyusut, tetapi bukan karena mati kelaparan. 

Mereka saling mangsa, saling memakan satu sama lain. Naluri bertahan hidup mereka bekerja melewati batasnya, dan mereka menyantap anggota kawanannya sendiri. Induk-induk memakan anak dari kelelawar lain, dan yang jantan saling kelahi untuk memakan lawannya. Koloni kecil telah menjelma, dari terpenjara menjadi pemakan segala. Saat koloni lebih besar mulai menyusut, banyak dari mereka menyadari tanda bahaya, dan sebagian kawan-kawan mereka sudah dimakan.

Demi menyelamatkan nyawa, sisa dari koloni besar berhamburan keluar, meninggalkan gua dan mencari perlindungan lain. Mereka tercerai berai karena ketakutan, dan sebagiannya bahkan tidak selamat keluar. Setelah berpuluh-puluh tahun menghalangi jalan kelompok kecil yang mereka anggap pengganggu, mereka kini tidak bisa menerima keadaan bahwa mereka terusir dengan cara yang mengerikan. 

Tak satupun dari mereka akan kembali ke gua itu, tidak untuk buah, air, ataupun yang lainnya. Mereka terbang bermil-mil jauhnya, sebagian tersangkut di dahan pohon dan diterkam ular, sebagian tertangkap cakar elang di tengah udara, dan tersisa seperempat yang selamat mendapat tempat naungan. Bayi-bayi mereka kemudian kurus dan kerdil, dan mereka tak pernah lagi merasa tenang.

Jadi, mengapa mereka merasa ketakutan setelah melakukan kesalahan? Dan, mengapa koloni kecil berubah menjadi menyeramkan? Apakah penjara benar-benar mengeluarkan kekuatan tidak terduga dari semua makluk? Seperti manusi “pemberontak” yang menulis beratus-ratus halaman buku dan mengubah dunia dari balik jeruji? Seperti pemuka agama yang menemukan cahayanya dari hukuman pengasingan di pulau terjauh? 

Mengapa keterjepitan mengeluarkan potensi paling besar, dan keterpaksaan bisa menghasilkan kejutan? Apa kebijaksanaan dari cerita dua koloni kelelawar ini? Apa hikmahnya yang bisa dicerna anak-anak di hari esok? Jangan menzalimi pihak lain kalau tidak ingin mendapatkan karma? Atau, itu hanya cerita dan pembaca mempelajari kebijaksanaan dengan caranya sendiri-sendiri? Ataukah cerita itu justru terlalu mengerikan untuk ditulis?

Yang jelas, aku mendapati satpam itu tekuk tak berdaya. Keningnya mengkerut, kakinya berulang-kali ia tukarkan posisinya, bahkan menyeret kursinya saat ia bosan di tempat itu. Kemudian saat satpam itu berdiri, berkeliling sejenak dan memastikan semua kunci telah terpasang dan semua listrik sudah aman, ia kembali ke kursinya. 

Akan tetapi satpam itu tak lagi membuka bukunya, hanya menengadah, mengitarkan pandangannya sekeliling sebelum melihat ke atas, seakan-akan menembuskan hatinya pada langit, menumpahkan kegundahannya pada Relung Nan Tinggi. Entah apa itu, yang jelas ia merenungi sesuatu.

Aku tidak pernah mempelajari kebijaksanaan. Bagiku, manusia hidup dengan caranya sendiri, dan mengetahui makna perjalanan dengan caranya sendiri-sendiri. Satpam itu begitu menikmati perenungannya setelah seharian penat yang membebankannya dengan utang (mungkin), dengan anak yang masih kecil, atau dengan istri yang begitu menuntut. 

Akan tetapi dalam momen sempit ia seperti menemukan kebahagiaan, mencermati pengetahuan, dan menemukan posisi dirinya dalam hutan belantara semesta. Wajahnya lebih cerah dan kulihat senyum tersungging di wajahnya, sebelum menggeleng dan meletakkan buku itu. Semua orang bisa berposisi sebagai koloni besar atau koloni kecil, gilirannya saja yang berbeda-beda. 

Akan tetapi aku tahu dan yakin setiap makhluk punya momen impuls-nya sendiri, kejutan-kejutan yang mengajarinya tentang tujuan, tentang perbedaan, dan bagaimana menyikapi kejadian.

Aku sendiri tidak paham bagaimana kebijaksaan, dan di mana sejatinya ia berada. Saat hujan berhenti dan aku kembali berjalan, paling tidak aku menemukan sesuatu kecil dari pengamatan barusan. Konon kebijaksanaan bertalian dengan kebahagiaan, dan aku bisa melihat semesta begitu menghujani manusia dengan semua maknanya yang paling mungkin. 

Semua terserah manusia itu sendiri, apakah menghujat hujan atau mencermatinya dalam-dalam. Dan mungkin aku tidak perlu ke semenangjung Banda Aceh atau ke Kepulauan Banda untuk mempercayainya, meskipun aku ingin sekali ke sana suatu nanti. 

Aku menemukan setidaknya satu hal malam ini, dan dari seorang satpam aku membawanya. Yang mempercayai lembar-lembar cerita mengajaknya berkeliling. Lagipula, bukan hal yang setiap hari kau lihat, seseorang seperti itu membaca buku, begitu hikmat sampai membuatmu iri.

-------------------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun