Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tarian Kornea

1 April 2015   17:46 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ADA EMPAT PENARI. Tiap-tiap mereka mewarisi karakter yang berbeda. Pun, mereka membawa penjiwaan dan alasan diri yang berbeda-beda. Di panggung ini pukul tujuh nanti, di bawah sorotan lampu paling terang, seorang dari mereka akan meninggalkan pementasan dan memulai petualangan barunya, “kehidupan kedua”--begitu mereka diberitahu istilahnya. Kata kiasan yang membingungkan. Hanya saja, tak seorangpun tahu, siapa penari beruntung itu.

Jorge Simamutu, tigapuluh empat tahun, mewarisi apa yang disebut sebagai “Charlestone timur”. Tarian yang akarnya dari aliran James P. Johnson di Carolina Selatan di Amerika itu ia campurkan dengan pengaruh Banda-Portugis dengan bit ala ukulele yang meriah, dalam tempo yang serupa. Gerakannya pun masih kentara, membungkuk-bungkukkan badan dengan kepala tegap dan senyum terbuka lebar, memajukan kaki bergantian seakan-akan berjingkrak ke kanan dan ke kiri. Tapi ia ingin representasi karakter Charlie Chaplin hilang dari tarian ini. Charlestone timur adalah spesialisasi seorang Jorge, yang terkenal sebagai pelipur lara dari masa lalu kelam yang menemaninya tumbuh. Setelan jas malamnya yang latin dililit versatil tuksedo di bagian perut terbalut rompi tenun bermotif campuran khas Maluku, Ende dan Tana Toraja. Di depan cermin ia mengangkat-angkat dagunya, memastikan semuanya sempurna. Kulitnya mengkilap seperti biji pala yang ranum. Pundaknya sempurna. Bulir-bulir cahaya dari bingkai cermin membentuk rona di pupil matanya. Perasan jeruk ia teguk dan bit tempo dalam catatan kertas ia hitung kembali. Pukul 14.25, dan di luar hujan deras.Dia tak pernah ingkar janji. Jorge melirik jamnya, teman yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang.

Yuka Listanti, duapuluh tiga, adalah anggota paling muda dari teater tari Epiculous, gelanggang seni yang dibentuk sejak 1967 oleh istri seorang pedagang jagung Tionghoa di sudut barat daya Pasar Johar Semarang sebelum akhirnya ditutup secara paksa oleh militer dalam peristiwa 1997. Liew Sang Reung alias Harko Martono menghibahkan tanah dan bangunan aula teaternya sebagai perpustakaan arsip kepada seorang penanggung jawab pemda, yang kemudian mengirimnya ke jalur privatisasi. Seorang Tionghoa lain, pada tahun 2000, membangun kembali teater itu dan menambahkan tarian modern ke dalam kurikulumnya. Kini, Epiculous beranggotakan seratus delapan puluh remaja-dewasa dalam sebelas keterampilan seni berbeda, termasuk pantomim dan rekreasi seni fasad yang diramu pahatan skuptural pengaruh Hindu-Bali. Yuka Listanti diterima sebagai murid kehormatan karena bakatnya yang luar biasa dalam Viennese Waltz, jenis tari yang sangat digemari para dosen dari Soegijapranata, Institut Teknologi Bandung hingga Universitas Gadjah Mada. Gadis ini adalah bibit maestro. Baginya tarian adalah teater yang sesungguhnya, dialog-dialognya adalah ritme langkah, dan mimiknya adalah kesepahaman gerak. Lengannya kelihatan lebih panjang dan lentur, sementara kaki-kakinya anggun namun kokoh. Meski aktif sebagai instruktur bagi orang-orang lebih dewasa, di luar ia memainkan perannya yang lain, lebih lincah dan sulit dipahami. Ia juga masih terngiang-ngiang tawaran besar belajar Waltz langsung dari asalnya, Austria. Tapi itu tidak selalu membahagiakannya. Yuka melempar tas carrier-nya ke dalam mobil Grand Vitara warna zamrud, mengangkat ujung pinggang celana denimnya yang ketat, kemudian melompat ke dalam, mencolokkan kunci dan menyetel radio. Pukul 10.05, ia punya banyak waktu sebelum tiba di Yogyakarta. Perjalanan panjang di hari yang panas. Terakhir adalah memastikan tidak ada yang tertinggal. Ia merapikan poninya dari bawah cermin, membalas singkat “Iyes, berangkat.” pada panggilandi Samsung Galaxy-nya, kemudian menancap gas. Debu pinggiran pasar Johar terhambur di belakangnya.

Ernest Mulyoso, limapuluh sembilan, merasa dirinya selalu siap untuk apapun, dan karena itu ia tidak mempersiapkan banyak. Hidup terlalu beriak baginya, dan karena itu ia lebih sering merasakan kedataran yang merindu, entah itu akan kenangan mendiang istrinya atau tawa jauh anak-anaknya. Jive dan Swing, dua aliran musik kontemporer turunan dari Jazz dan sentuhan latin dan timur tengah, mengalir sendu di dalam darahnya. Di banyak kesempatan ia bahkan memadukannya dengan Flamenco dan Salsa, di saat ia butuh teriakan histeris para sosialita girang yang secara mental miskin hiburan dan mewarisi kedangkalan berpikir--kenangan yang selalu membuatnya tersenyum. Kaki dan tangannya yang tremor sejak dulu nyatanya selalu terkendali saat mengikuti lagu-lagu dengan derap tempo yang berkebalikan sama sekali, seperti “Stood Up” dan “Long Tail Sally”, atau “Luz Ensemble” sampai “Malagueña” dari famili Cantes de Levante. Di sofa rendahnya yang berbalut beludurErnestmenatap jauh keluar jendelanya, mengagumi aliran-aliran air yang membelai di luar luar kaca. Aku hidup dari kesenangan yang berirama, mengenang pembangunan hidupnya selama tiga dekade dari lapangan tembak, bangku sekolah akademi, meja direktur sampai berakhir di atas panggung menari. Kesuksesan yang hampa dan tanpa suara, terkadang begitu pikirnya, mengingat betapa jauh dan relungnya suara anak-anak yang entah di masa kapan kerap mengelilinginya. Ernest melirik ke meja di dekat situ, tempat undangan bertulis Fiesta Nueva bertanggal malam ini. Ia akan tampil sebagai penari kedua dan kolaborator untuk penampilan penari pemenang. Pukul 17.00 dari jam lemari berdentang saat Ernest sedang menutup mata dan menyandarkan kepalanya, menghapalkan gerak-geraknya nanti sebelum kemudian tiba-tiba pintunya diketuk seorang pembantu yang memberitahukan bahwa mobilnya sudah siap. “Terima kasih,” balasnya.“Saya pun sudah siap.” Ia bangkit dari sofanya, melemparkan ke atasnya selembar foto dua remaja berkulit bersih yang mengapit seorang perempuan cantik berkulit kuning. Petir menggelegar mengisyaratkan kalau kilap senyum dalam foto itu mungkin tak layak dikenang. Terjatuh ke lantai, secarik kertas surat bertulis tangan dengan nada ancaman. Tulisan itu ditelan gelap seiring pintu ditutup. HOY , MUERTE. Hari ini, kematian.

Kornea Sitanggang, tigabelas, adalah seorang pelarian. Ia memahami betul bahwa silsilah raja Isumbaon dalam darahnya membawa marga keluarganya dari belahan Sumba dan dari anak marga Munte yang terkenal periang namun berhati-hati dalam  pergaulan. Begitu tertulis dalam selipat kertas yang senantiasa terselip di saku bajunya. Namun begitu, Kornea sendiri tidak bisa mengerti bagaimana memahami orang, dan terutama bagaimana “beradaptasi” dengan lingkungan baru. Keluar dari dalam kegelapan kabut ia tiba-tiba sadar dirinya berada di tanah yang tak dikenal, terduduk di kolong serambi restoran McDonald bersama tujuh anak yang ia tak tahu nama-namanya. Ia tidak mengira bahwa “petualangannya bersama paman” ke Bakauheni malah menyeretnya terlalu jauh bersama seorang pedagang yang merangkap penyalur gelandangan, menyuapi pulau Jawa dengan jiwa-jiwa pedalaman Sumatra dan Kalimantan yang lapar penghidupan dan kerlap-kerlip kota. Di kolong McDonald itu beberapa mengolok-ngolok wajahnya dan yang lain diam-diam membelanya. Tiga tahun ia berpindah-pindah pondokan dan hidup dari belas kasihan para pengendara simpang jalan, menguasai ukulele lebih cepat bahkan mempelajari biola dari seorang seniman di daerah Sayidan, tak jauh dari pekarangan Sultan Yogya. Pada umur delapan tahun Kornea--begitu ia dipanggil oleh seorang pengemudi Avanza yang kerap membawakannya makanan--memilih kabur dari koloni jalanannya dan lebih sering merapat ke para seniman di Sayidan, kemudian Malioboro, kemudian bergabung dengan para santri di Kauman. Ia tak tahu agamanya apa sehingga menurut saja kemana teman-teman membawanya. Tapi musik selalu menceriakannya. Gesekan biola yang tak jelas menghiburnya. Petikan gambus Timur Tengah melenanya berulang-ulang, hingga cekikikan dan memicing mata. Dengan musik ia bahkan mulai menari-nari di depan cermin, gerakan abstrak dan absurd yang anehnya, malah teratur oleh kesadarannya. Moonwalk dari lagu Beat It adalah yang paling disukainya. Kornea seorang anak ajaib, begitu para tetua kampung menjulukinya. Keajaiban yang hanya muncul jika kau seorang pengidap down syndrome dan bahkan tidak menyadari ilmu apapun seperti jenis apa kelainan itu, kecuali bahwa dunia ini akan sangat membosankan bagi mereka yang tidak melakukan apa-apa.

Hujan mengguyur semakin deras tetapi Kornea tak pernah suka menerima tumpangan. Maka di atas aspal jalan ia merapatkan jaketnya dan berupaya menahan payungnya kecilnya dari terpaan angin timur yang menggiring bulir air terbang dari arah samping. Pukul 17.30, ponsel lipatnya berdering dan dari layar ia tahu betul siapa penelepon itu. “Iya? Di…jalan…,” jawabnya.“Di… jalan. Aku… sudah… di jalan. Di jalan. Iya, bawa. Aku… bawa. Bawa.” Kornea mempercepat langkahnya, menyeka air dari matanya yang picing, mengabaikan lalu lintas tak manusiawi yang mengokupasi tiap jengkal aspal, ruang tunggu seberang, sampai trotoar. Moonwalk menari dalam pikirannya. Derapan rebana mendendangkannya menghindari kerumunan. Pundaknya melompat naik turun dan keningnya mengangguk-angguk di tengah hujan. Tak seorangpun memerhatikan apapun dari anak yang menari bersama pikirannya, bernyanyi bersama jiwanya.

Panggung sudah siap dengan tatacahaya dari spotlight dan laser berpengendali komputer. Tapi Soraya Litegaar yakin pendar-pendar ini tidak akan terpakai sering mengingat tema pertunjukan malam ini lakan memberikan atmosfer ebih kelam dan tenang. Begitulah seharusnya malam penting. Gerah berpeluh, ia merampungkan instruksi. Sebagai persiapan terakhir ia mengecek papan jadwalnya, memastikan semua undangan dan pemain sudah dalam perjalanan, dan berteriak pada seorang timekeeper bahwa semua orang-orang harus sudah di aula satu jam sebelum pementasan dimulai pukul tujuh malam. Pertunjukan ini akan dikenang sepanjang masa.

Jaguar S-Type hitam berkapasitas silinder 3.0 liter V6 itu dengan tenang dikendalikan oleh Sudjoko, sopir sekaligus satu-satunya teman bicara bagi pemiliknya yang duduk merapikan jas di kursi belakang. “Badainya kuat sekali, Pak,” ujar si sopir ketika meninggikan tempo putaran wiper. Otot-otot lengannya selalu waspada, bawaan pengalaman seorang pensiunan tentara. Air terhambur ke samping tetapi alirannya tak pernah berhenti di kaca depan. Di kursi belakang, Ernest Mulyoso hanya berdeham dan tersenyum. Cahaya mendung sudah akrab baginya. “Badai paling kuat, Joko, hanya ada di saat hatimu sedang lemah.” Sopir itu tidak paham kalimat barusan, tapi ia mengangguk juga. Dari cermin di atas kepalanya ia tahu bahwa majikannya dilanda gugup yang tidak biasa, tapi ia tak berani bertanya ada apa. Majikannya tampak gelisah dan sering kali melihat ke belakang, seakan-akan ada yang mengikuti mereka. Tidak pernah ada pertanyaan jelang pertunjukan seorang Ernest Mulyoso, itu ada dalam aturan. Dan kepatuhan seperti itu membawanya Sudjoko sebagai abdi yang setia. Sedan premium menepi rapatke trotoar sebelum si sopir melompat keluar sembari mengembangkan payung, membuka pintu belakang dan mengantarkan majikannya ke pintu teater utama bertuliskan Fiesta Nueva - Empat PenariBintang di atas pintu masuknya. Sopir itu meneriaki-sapa sesosok bocah yang dikenalinya mendekat dari arah trotoar, tapi ia tahu majikannya tak terbiasa dengan basa-basi seperti itu. Ernest Mulyoso memasuki teater, dan sopirnya membawa Jaguar memasuki lahan parkir di bawah gedung.

Sepuluh detik setelah mereka, menahan pintu yang nyaris tertutup, Kornea Sitanggang merangsek masuk. Payungnya tersangkut di daun pintu berkali-kali, sebelum akhirnya muncul Soraya Litegaar mengambil alih dan membantunya. “Oh, malaikat kecil. How lovely. Terima kasih sudah datang. Di mana teman besarmu? Kornea membalas dengan terbata-bata dan kalimatnya terdengar tak begitu jelas. Senyumnya terkembang dan matanya memang memancarkan rona surgawi. “Kita masih ada satu jam, OK? Makan dan bersiap-siaplah. Sudah bunda pesankan banyak cakwe dan nasi kuning buat kamu.” Soraya Litegaar menuntun bocah melewati koridor gelap, melewati barisan penari latar yang cekikikan sambil bergosip, menghambur keluar dari ruang ganti dengan pita dan gaun meriah-warna mereka.

Dari tengah-tengah kerumunan gadis itu muncul lelaki berkulit gelap yang wajahnya nampak mengkilap karena kosmetik, serasi dengan kilau anggun di tuksedo dan rompi bermotif tenunnya. “Kornea! Amboi…! Kemari cepat.” Jorge Simamutu menggiring teman kecilnya ke ruang ganti dan meminta izin kepada Soraya yang berlalu.

“Bagaimana, sobat kecil. Kau siap?”

Kornea tidak menjawab. Lampu-lampu menyilaukannya. Dan kursi tempatnya duduk begitu tinggi sampai kakinya menggantung tidak nyaman.

“Hoi! Kau siap?!” Jorge mengguncang pundak sobat kecilnya hingga Kornea tersenyum memicingkan mata. “Malam ini adalah malam besar buatmu. Kau belum pernah menari di atas panggung sebesar ini, kan?Fiesta Nueva! Teater tari paling penting se-Yogyakarta, dan se-Indonesia Barat daya. Ha-ha-haaa. Tenang sobat kecilku. Aku akan mengamatimu, mengawasimu, menuntunmu. Pokoknya santai saja, oke? Aku bawakan lagu-lagumu dalam flashdisk dan kaset kalau-kalau nanti ada kendala teknis atau apa. Pokoknya, kau menari saja, oke? Menarilah. Moonwalk. Oke?” Jorge menyemangati sobat kecilnya dengan begitu kentara, bahkan menirukan beberapa gerakan dan menarikan moonwalkdi atas lantai. Kornea mengangkat jempol dan mengangguk-angguk. “Okeeee….”

“Ha-ha-haa…. Sobat kecilku. Aku tahu mungkin banyak orang tidak menyukaimu, tidak menghargaimu. Tidak menganggpmu apa-apa. Tapi tidak masalah. Kau, sobat kecilku, punya sepasang mata yang tajam, kepala yang tegak, kaki-kaki yang bagus, tangan yang gemulai, hati yang kokoh. Lihat,” Jorge mengangkat tangan sobat kecilnya ke atas, mendekat ke lampu meja. “Ini adalah tangan malaikat. Malam ini kau malaikat, oke? Semua orang menyayangimu. Aku menyayangimu, aku kakak sekaligus temanmu. Kita satu suara. Jangan biarkan rasa iri orang merendahkan semangatmu. Itu kesalahan mereka, biarkan rasa iri menggerogoti hati mereka sampai habis. Di sini kau menari, menyanyi, dan aku akan jadi pemandu sorakmu. Begini, oke?” Jorge menari-nari lagi di depan sobat kecilnya, memperagakan sedikit Charlestone-nya dan menepuk-nepuk dada seperti seorang penyair Saman. “Ingat. Fokus, oke, Kornea? Di tengah panggung nanti, kau jadi penting. Kau bukan remaja kecil lagi. Kau orang besar. Kita, orang besar. Coba mana, kulihat tarianmu. Oke, sobat kecil? Mana hayo. Coba.”

Kornea menjejalkan kakinya ke lantai sedikit melompat, menegakkan badannya, memutar badan ke samping lalu dengan gemulai menarik ujung-ujung kakinya merapal permukaan lantai. Gelombang gerak yang anggun. “Yaaa…. Yes. Moonwalk. Yess….” Jorge ikut menari, begitu bersemangat. “Kornea,… ini malammu.” Jorge berjingkrak dengan riang dan Kornea bertepuk-tepuk tangan. “Satu-dua. Satu-dua. Yeee…!” Ruangan itu milik mereka berdua.

Ban berdecit dan air terciprat ke atas trotoar. Yuka Listanti melompat keluar dari Vitaranya, mengikat rambutnya ke belakang dan menarik earphone dari lubang telinganya. Carrier itu terlalu berat jadi ia harus memapahnya dengan dua tangan di belakang satu pundak, memasuki pintu teater dan berbelok ke bagian terdalam toilet ruang ganti. Ia mengenakan seragam waltz-nya--gaun terusan hitam dengan kerah yang membuka hingga ke pundak, sepatu bersol kayu-karet bertuliskan Utrech Manzi dan sarung tangan putih bersulam YL, inisialnya. Dengan sigap ia melangkah melewati koridor dan langsung mengarah kebelakang panggung. Dari balik tirai-tirai gemuruh bincang-bincang seratusan orang menguasai aula. Para tamu dari berbagai kalangan sudah hadir dan loket-loket tiket sedang sibuk-sibuknya melayani pembelian on the spot. “Well,” gumam Yuka melewati tirai menuju para pemain. “Sepertinya ini akan jadi malam yang menyenangkan. Halo, Jorge. Adik kecil!” Yuka mengangguk dan mengerling kepada rekan-rekan menarinya. Secara khusus ia memeluk dan mencium pipi Kornea yang langsung memerah dan malu-malu, saling cubit dan senggol kaki dengan “teman besarnya” Jorge.

“Yuka Listanti. Ah, akhirnya komplit empat penari kita. Pementas utama malam ini. Cheers!” Soraya mendekat lalu melangkah memeluk Yuka. Sang supervisor sudah berganti pakaian resmi dan jelas ia adalah nyonya rumah pertunjukan ini. “Semuanya akan terjawab malam ini. Juri dari Akademi Tari Teatrikal Dewan Kesenian Jakarta hadir tiga orang, mereka akan duduk di kursi paling tengah, persis di samping kiri saya. Kalian sudah tahu peraturannya. Kalian akan menari tunggal, berkolaborasi, lalu menyapa penonton sesekali. Pertunjukan terbaik akan dihadiahi yang terbaik. Siapapun yang akan dibawa mereka sebagai pemenang kehidupan kedua malam ini, aku mensyukurinya. Tapi di atas semua, sebuah kehormatan buatku karena panggung kecil ini menjadi tempat berderapnya irama kaki kalian, dan udara di dalam sini mengayun bersama tangan kalian, para penari kehormatan.”

“Di mana Pak Ernest?” Yuka bertanya tiba-tiba.

“Oh, ke toilet, mungkin, mungkin menelepon anak-anaknya--Kalian tahu ia sering melakukan ritual itu sebelum pentas. Tapi semua briefing sudah kusampaikan padanya lebih dulu tadi, jadi tidak ada masalah. Ini alur waktunya,” Soraya menyodorkan secarik kertas kepada ketiga penari itu, dan beberapa lembar tipis lain ke para penari latar. “Delapan belas limapuluh lima, lampu sorot dinyalakan. Ingat, ini malam kalian. Fiesta Nueva adalah panggung pembuktian. Cheers!” Gelas-gelas diangkat dan tim bersiap. Di ujung barisan, Kornea mengerdip-ngerdipkan mata. Cahaya masih mengganggunya, dan hawa panas agak membuatnya gugup. Tapi ia tahu selalu ada sahabat yang memapahnya. Jorge tersenyum dan berjinjit-jinjit gugup di sampingnya.

Para hadirin bertepuk tangan atas tari-tarian dan paduan suara dalam sekira empat puluhan menit pertunjukan pembuka. Para juri dari Akademi Tari DKJ siap dengan nota mereka di pangkuan barisan kursi depan, dengan kolom-kolom berisi kisaran nilai nantinya. Soraya Litegaar melayani banyak sekali obrolan bisik dari para kolega dan pengagum teaternya. Jauh di belakang panggung, di dalam bilik marmer toilet pria, Ernest Mulyoso menatap matanya dalam-dalam. Ia tak menyangka penuaan merenggut keceriannya begitu jauh. Kelapangan seorang prajurit masih tersisa dari dirinya tetapi parau suara dan keriput kulit mengisyaratkan perjalanan waktu manusia yang fana. Suara anak-anak berlarian itu mengiang lagi di telinganya, tapi ia sadar malam ini bukan waktunya berduka atas kepergian yang menyedihkan. Malam ini Jive dan Salsa-nya akan menggugah banyak pasang mata. Dan meskipun ia tak begitu tertarik dengan pencarian bakat untuk kehidupan kedua DKJ itu, ia sungguh ingin menunjukkan kebaikan tari yang dilakoninya selama tiga dekade. Pun sebagai penari pendamping untuk sang pemenang. Tremor di tangannya kembali terlihat, saat ia arahkan ke bawah sinar lampu. Ia bersihkan dasinya dan ia seka keringatnya dengan tisu. Ia tutup bekas kateter di dadanya dengan perban baru yang rapat.Jika malam ini waktunya, maka terjadilah. Ancaman kematian bukan pertama kali bagi seorang seniman, pebisnis dan mantan tentara seperti dirinya. Desiran jantungnya hanya lebih cepat malam ini, dan ia harus bisa mengatasi semuanya. Lagipula, sopirnya, Sudjoko, selalu bisa diandalkan di saat-saat darurat.

Waltz adalah bagian paling biasa dari kelas tari modern. Meskipun nilainya paling prestisius dalam tali sejarah pertunjukan--terutama di panggung negara-negara timur di mana secara statistik masih terdapat cukup banyak sentimen anti-barat--, waltz masih sering dianggap sebagai tarian pamer kekayaan atau pengkastaan masyarakat. Oleh beberapa kalangan pribumi dan Tionghoa, Waltz bahkan dianggap sebagai bagian dekat dari Kolonial yang diskriminatif. Tetapi Yuka Listanti punya keunggulan memukau dengan gestur ketimurannya yang kental. Pula postur tubuhnya yang sangat mewakili bauran dua ras penting: mongoloid dan kaukasia samar. Gerakan tangannya sangat Jawa, kaki-kakinya bergerak selembut aksara yang dipahami semua indra, dan sanggul di rambutnya cukup anggun untuk ditatap mata. Pasangan prianya adalah seorang junior yang tak menarik sama sekali, tapi ia berhasil mengangkat derajat panggung pemuda itu setinggi-mungkin. Ditambah, senyumannya yang agak manja sudah lebih cukup untuk menarik perhatian para juri yang didominasi kaum pria, dan Viennese Waltz benar-benar suguhan yang tidak membosankan. Tepuk tangan membahana. Yuka selesai dalam lima belas menit, membungkuk seiring gemuruh penghargaan, dan langsung menghilang ke arah toilet.

Penampil kedua, Jorge Simamutu. Giginya nampak besar-besar dan bersinar di tengah panggung yang gelap dan hanya disoroti satu cahaya putih. Jingkrak-jingkrak tarian Charlestone-nya sengaja tidak ia lengkapi dengan tongkat--untuk menghilangkan imaji Chaplin dari benak penonton. Lagipula, lantunan gendang-gendang Banda begitu membahana dan segaris dengan ketuk-ketuk tumit dan jempol sepatunya di atas lantai. Sound system bekerja sempurna dan musik pengiringnya tanpa kendala. Tangannya lebih banyak di pinggang, kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri. Dari sebuah lirikan kecil ia melihat tujuh-delapan orang di kursi penonton di baris juri ikut bergoyang kepala dan menepuk-nepuk lutut. Derapan musik terompet yang meriah masuk mengiringi sembilan penari latar, berpakaian serba minim tapi dengan hiasan kepala dari bulu yang meriah, saling menggandeng tangan dengan sang Charlestone Timur di tengah-tengah mereka. Barisan itu berjingkrak, mengangkat kaki setinggi perut lalu melipatnya menyentuh lantai, berkali-kali. Topi gaya pelukis melengkapi performa matang seorang Jorge, dan putaran banjar kolaboratif itu begitu ciamik sampai-sampai beberapa teriakan terdengar dari baris belakang. “Woooooo…. Immossooo…” Entah apa artinya. Tapi Jorge puas. Dan tampaknya, di kursi penonton, seorang Soraya Litegaar juga puas.

Seoranghost memperkenalkan “kejutan malam ini” bagi penampil berikut. “Dengan usianya yang relatif matang, beliau tetap konsisten di jalur tari dan membawa pemikiran kita menjelajahi ilmu ini sampai ke batas-batas terkecilnya. Bukan sesuatu yang berlebihan jika orang ini kita berikan Anugrah Lifetime Achievement!” Hadirin sekalian, sambutlah penari berikut ini. Seorang prajurit, pengajar, dan pemimpin. Penari terhormat kita… Ernest Mulyoso!”

Tepuk tangan bergemuruh, dan Ernest muncul dari balik tirai.

Lelaki limapuluh sembilan tahun dengan tarian folk-Jive-nya yang dilanjutkan dengan Flamenco Argentina. Kepalanya tegak dan tangannya yang tergantung di udara begitu lincah, cincin-cincinnya memendarkan batu-batu warna dan sepatunya menderap-derap lantai panggung dengan sempurna. Ernest Mulyoso tersenyum lebar meski jantungnya berdegup tak beraturan dan sedikit nyeri tersisa di dadanya. Sedikit sisa tremor berhasil ia tutupi dengan gemerlap kilau berlian yang mendominasi rompi hitam malamnya. Panggung adalah atmosfer, dan ia paham betul bagaimana bernapas, larut di dalamnya. Matanya tak harus melihat siapa yang duduk mengaguminya di bawah panggung tetapi ia melihat sendiri dirinya yang terbang dari anak tangga satu ke anak tangga lain, berjingkrak dengan tempo yang berderap seiring impuls dibutuhkan oleh seorang penikmat seni tanpa cela.

Lagu berterjemahan “Living Life with Me” karya Bernardo Marcioli diawali oleh nyanyian seriosa bariton oleh seorang penyanyi pengiring, sebelum audio tari masuk dan mengalir. Ernest didampingi oleh seorang gadis muda dengan rok gelombang berlapis kain dalam corak yang boros, berwarna violet dan hitam kemerahan di bagian pinggangnya, penari flamenco. Dan meskipun tema utama yang ingin ditampilkannya adalah Jive, Ernest mengakui bahwa tarian yang paling disukai penonton dari dirinya adalah tarian latin yang bersemangat, dengan dagunya yang terangkat, dan belaian tangannya di kontur halus pinggang serta pundak wanita. Beberapa penonton--yang adalah mahasiswi seni tari muda--menjerit dan melenguh tatkla sang maestro menggulirkan jemarinya di atas pundak tak berbalut kain si penari wanita, atau ketika melengkung menonjolkan otot-otot menahan pinggang penari wanita yang melenturkan badannya ke arah lantai, dan atau ketika tangannya memandu jauh penari wanita yang berputar-putar di sekelilingnya. Ernest tak peduli keriuhan yang ditimbulkannya. Panggung ini miliknya kini, dan ia merasakan dirinya, seperti biasa, sedang menari di bawah hujan, dan kalau tidak di atas bulan. Di beberapa bagian ia bahkan bernyanyi sendiri dengan mulut terbuka lebar, beberapa kalimat spanyol, tetapi dengan gaya folk Timur yang misterius. Mahasiswi-mahasiswi di kursi penonton menjerit lagi. Seniman paruh baya itu mengagumi cara otak manusia menyerah pada kegemaran dan pengharapan. Ia lebur dengan semua ini, senyumnya masih terkembang. Satu-satunya pengganggu di benaknya adalah apa yang terjadi saat ia turun dari panggung. Jika memang ini waktunya….

WAKTU ADA DALAM TARIAN….

Sandi itu mudah dimengerti, yang berarti merujuk pada penari yang akan tampil persis saat pesan teks itu masuk ke ponsel. Yuka Listanti langsung mempersiapkan diri. Ia cocokkan jam di layar ponselnya dengan jam digital di pergelangan tangannya. Sembilan menit tepat, hitung mundur, dan angka-angka itu pun berkurang secara teratur. Detik demi detik. Sang instruktur Viennese Waltz sedang berada di teater yang lain, sedang memainkan perannya yang lain. Ia tak tahu dari mana ini semua bermula, tapi ia cukup yakin bahwa dirinya berada pada posisi yang netral, meski pihak lain meraih keuntungan yang besar atas “pelayanan”-nya. Yuka menyeka poninya, lalu menghela napas panjang. Matanya yang bulat begitu terang dan cermat, melirik ke ujung laras dengan alat peredam yang mencuat dari celah ritsleting tas carrier-nya, tersembunyi di dalam kegelapan toilet itu.

Taman Gereja Blenduk, Kawasan Kota Tua Semarang -- Tiga pekan sebelumnya.

[caption id="" align="alignnone" width="450" caption="Sumber gambar: indonesiakaya.com"]

Gereja Blenduk Semarang (indonesiakaya.com)
Gereja Blenduk Semarang (indonesiakaya.com)
[/caption]

“Aku meminta padamu karena dalam situasi ini, tidak ada orang yang lebih kupercayai daripada orang yang paling kumengerti.”

Klien telah mengutarakan permintaannya, dan Yuka, sebagaimana biasa, tidak langsung membalas. Menyimak adalah senjata terbaik untuk menguasai pembicaraan.

“Pekerjaan ini, akan menghadiahkanmu hal yang paling kau inginkan. Yang kutahu, kau sangat ingin ke Austria.”

“Kau tidak tahu seberapa ingin aku mengatur diriku sendiri.” Yuka akhirnya menyergah. “Tolong jangan menghakimi pandanganmu sendiri dengan prasangka yang tidak jelas kau pahami seluk beluknya.”

“Oke, Saya mengerti.” Klien itu meminta maaf. “Tapi kuyakin Viennese Waltz adalah kehidupanmu. Gaya tarian prestisius ini mengalir di dalam darahmu. Kukira kau tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini? Maksudku…, meraih kredibilitas?

“Kredibilitasku yang lain pun sama pentingnya.”

“Yang jadi alasan mengapa saya memilih mempekerjakanmu.”

“Apa untungnya bagiku?” Yuka menatap tajam, memaksa klien itu menurunkan gelas minuman soda dari bibirnya.

“Ah, hawa panas semarang mungkin memengaruhi otak manusia normal, Yuka. Tapi aku tahu kau bukan bagian dari kenormalan semacam itu.” Dengan tersenyum, klien itu mendekatkan wajahnya. “Aku tahu, siapapun yang kuminta kau ambil-alih, tidak pernah memengaruhi pikiranmu, emosimu, atau apapun. Seperti aku di masa muda dulu, kecintaan pada hobi kadang membutakan. Dan ya, beberapa orang dengan kecerdasan tinggi terkadang tidak berkeberatan dengan lebih dari satu hobi. Yang aku yakin kau menguasainya dengan  baik tiga tahun belakangan ini. Dan ya, aku tahu kau tidak punya hubungan perasaan apapun dengan laki-laki itu. Tidak ada hormat, simpatik, tidak ada apapun. Terkadang orang harus menebus dosa-dosanya dengan cara dan di tempat yang paling anggun baginya. Bukankah itu manis? Manusia dan drama kehidupannya.”

“Manusia adalah penari tunggal di panggung riuh kehidupannya.”

“Cristopher Waltz!” Klien itu mengetuk mantap kepalan tangannya ke meja. Angin segar telah datang. “Kutipan cemerlang, dik. Jadi, bagaimana menurutmu. Kau ambil pekerjaan ini?”

Setelah hening sejenak, Yuka akhirnya tersenyum. “Dengan satu syarat. Libatkan aku di panggung itu.”

Waltz is good. Waltz is… lovable, my dear.” Klien itu melepas senyum terakhir sebelum berlalu pergi.

Di atas meja, Yuka sudah berhadapan dengan buklet detil yang memuat rencana, denah bangunan, jenis-jenis kunci, dan alur rencana eksekusi yang akan dijalankannya. Juga, dua buah foto target yang jelas dikenalinya: Sang Prajurit.

Chandelier Crossbolt diciptakan oleh seorang petani miskin untuk berburu babi rusa, tuna-tuna bawah es, dan kijang-kijang liar di pegunungan Alpen. Setelah naik kasta sebagai senjata, patennya dibeli tinggi oleh Ludwig van Marc Co., konsorsium senjata berbendera Belanda yang menjalani bisnis senjata api di Eropa utara selama dua generasi. Uniknya, pemesanan terbesar senjata-senjata konsorsium ini justru datang dari negara-negara timur jauh, India, beberapa negara konflik di Timur-Tengah, sampai Asia Tenggara. Chandelier Crossbolt mengadopsi pegas senapan laras panjang berpelatuk api, tetapi dengan sumbu laras lebih sempit dan lebih licin, tak lebih dari 3mm diameternya. Ini merevolusi bentuk peluru dari proyektil lonjong tebal, menjadi lebih panjang namun jauh lebih tipis. Seperti jarum-jarum jahit yang melesat secepat pesawat keluar dari persembunyiannya. Tak ada letusan, tak ada pecahan proyektil. Kijang mati bahkan tanpa sempat berkedip dan menyadari apa yang membunuhnya. . “Peluru” menembus daging dan bisa berakhir di semak-semak atau bagian panggung bercampur paku-paku dan baut lainnya. Crossbolt ini adalah bentuk modern dari beberapa senjata jarum banyak suku pedalaman, termasuk Sumpit di Dayak atau Endaart di pedalaman Amazon. Dan kamuflasenya dapat terwujud dalam banyak hal, dari bingkai lukisan sampai tripod kamera.

Yuka Listanti menenteng tasnya yang berbentuk biola dan berjalan sambil bersiul melewati koridor gelap di level tiga aula, menjauh dari tempat para kru dan teknisi tatacahaya. Ia menaiki tangga darurat, berbelok ke utara hingga akhirnya memasuki kamar kecil tempat tikar-tikar dan kabel biasanya disimpan, satu setengah meter persis di atas kamar kontrol lampu sorot di dinding belakang aula. Sang eksekutor itu mengeluarkan “tripod”-nya, mengukur posisi yang pas dari lubang kecil di dinding kaca sampai akhirnya menggulirkan alas tempatnya tengkurap di belakang Crossbolt. Tangan-tangannya yang putih bersih ia balut dengan sarung tangan putih berinisial namanya, sarung sama yang dipakainya menari. Senapan ia posisikan lurus, dan kaki-kaki penahannya ia lipat keluar. Semuanya pas, dan hitungan di jam tangannya masih tersisa tujuh menit. Dua menit persiapan dan tujuh menit eksekusi. Yuka menghela napas, panjang, lalu menutup mata. Setiap penari punya ritualnya sendiri.

“Dan penari spesial kita malam ini!” Host memperkenalkan Kornea Sitanggang dengan sedikit cerita sendu tentang bagaimana anak delapan tahun bisa berakhir di Yogyakarta dan menemukan dirinya dalam tarian dan dendang-dendang gedang rebana. “Seorang anak Batak yang dikaruniai kelebihan manusia Indonesia, kecintaan manusia dunia dan kesempurnaan kita semua. Tidak ada kurang apapun dari dirinya, tidak satupun. Dan kita akan melihat, menyoraki, dan  bertepuk haru malam ini karena anak ini, hadirin sekalin. Sambutlah….!”

Hadirin berteriak dan beberapa mereka berdiri bertepuk tangan. Korne memasuki panggung dengan tertatih-taih lucu, memicingkan matanya yang tak tahan akan sorotan lampu. Hingga akhirnya spotlight itu dijauhkan dari kepalanya, anak emas itu menyunggung senyum lebar, membungkuk dan memberi hormat ala tentara seakan-akan sudah berterimakasih sebelum menari. Hadirin tertawa karena tingkah menghibur itu. Di bangku depan, Ernest Mulyoso ikut berdiri dan membalas hormat. Para juri pun tertawa. Tapi itu hanya beberapa saat, karena saat lampu bergulir temaram, hadirin dibekap ketenangan yang hikmat.

Tarian Kornea sudah dipersiapkan sedemikian rupa agar memadukan hawa seni timur dan barat. Maka sebagai irama pembuka, lantunan syair-syair adopsi tarian Saman dari Gayo membahana. Seorang penyair bersenandung seakan mengajak peradaban bangkit, dari mikrofon di kejauhan sana, dan lantunannya begitu menyayat kalbu. Syair-syair puja-puji itu melantun panjang, naik dan turun, dengan cengkok khas yang menggugah, sebelum disusul dengan seruling tipis kemudian disusul detak-detakan rebana Melayu. Di saat ini, Kornea masih terdiam di tengah panggung. Tapi kedua matanya menutup, dan senyumnya tipis tersembunyi. Anak itu sedang memasuki alirannya, dan nampak dari gerak-gerak kepalanya, ia sudah memulainya.

Bit dari musik house modern masuk dan langsung berpadu dengan musik Saman yang kental. Kalung di lehernya berayun ke kanan dan ke kiri, dan jins longgarnya--memang demikian gayanya--cocok menari dengan langkah-langkah sepatu kets putih yang mulai berderap ke sana ke mari. Hadirin kembali bertepuk tangan dan Kornea di panggung kini tengah bermain. Tangannya menepuk. “Ho!” ia berteriak. Saat bit dan degup-degupnya meninggi, ia mulai memainkan kaki den berputar-putar ala break dance trik sulit. Hadirin kembali bersorak, bahkan mahasiswi-mahasiswi pendukung maestro Ernest tadi. Lagu Beat It Michael Jackson diedit secara overlay dengan lagu “Katakan Sayang” khas Minang-Batak. Kornea tertawa-tawa menepuk tangannya di udara, sebelum menarik topi ke bawah dan membuka kakinya lebar. Saat ujung ibu jari sepatunya berhenti, musik ikut berhenti, kemudian setelah beberapa jenak, kembali berlanjut dengan efek suara sirene dan helikopter ala beat box, berlalu tatkala spotlight kembali menyorot setiap gerak lincah tarian si Anak Malaikat. Penonton tak henti-hentinya bersorak kini. Musik bit tinggi mengubah teater itu seakan-akan menjadi kelab hiburan raksasa dengan pagar aturan seni yang begitu cair. Kornea menguasai panggung dari ujung ke ujung, dan menguasai dirinya sepenuhnya. Ia memiringkan topinya, melemparnya ke udara, kadang menarik kerah jaket longgarnya, atau dengan lucu memamerkan liontin salib di lehernya yang gemuk. Moonwalk mendominasi bagian akhir sesi tariannya yang ini, dan penonton riuh karena keluwesan gerak yang dipertontonkan oleh si bocah penderita down syndrome. Keajaiban yang terjadi di depan mata. Di belakang panggung, Jorge Simamutu tak kuasa menahan haru di matanya.

Satu menit. Yuka Listanti menghitung dalam batin. Kerlap-kerlip lampu begitu meriah di bawah sana. Ia tak begitu suka dengan seni tari kontemporer, tapi sungguh ia mengakui keunikan dan karakter kuat dari gerak-gerik gugup seorang anak “tidak normal” di bawah sana. Sumbu apresiasinya menebal, tapi itu tak boleh mengalihkan perhatiannya dari alasan utama mengapa ia menyaksikan semuanya dari sudut tinggi itu. Saat waktu tinggal satu menit, dan bagian dadanya yang tergenjet lantai mulai berkeringat, sang eksekutor menaruh jarinya di pelatuk. Semuanya akan berakhir hari ini. “Good evening, Vienna.”

Musik disko menguasai panggung dan Kornea kecil sudah tumpah sepenuhnya. Tangannya berayun-ayun meminta sorakan dan hadirin se-aula begitu saja mengikutinya dengan tepukan. Anak itu berputar sekali lagi di lantai, jungkir balik, moonwalk, dan bahkan dengan mengejutkan memperagakan waltz dengan tangannya yang melengkung di depannya, tanpa pasangan. Hadirin tertawa dan beberapa menangis haru, saat begitu saja si anak emas meniru carian Charlestone dengan kaki-kakinya mengetuk-ngetuk lantai. Keluar dari kabut, Jorge muncul dari balik tirai dan mengikuti irama langkah itu. Hadirin begitu terhibur karena tarian kolaborasi kini dimulai. Musik terus berlanjut, dan setelah satu menit bergulir ke kiri dan ke kanan bersama Jorge dan Charlestone Timur-nya, Kornea dengan mata berbinar maju ke tengah depan panggung, memasang mimik serius di wajahnya, dan mengangkat dagunya setinggi ia bisa. Dan dengan satu isyarat jentik jari, ia rapalkan dua tangannya ke pinggang.

“Wohoo…!” Mahasiswi-mahasiswi seni tari di barisan belakang menjerit-jerit.” Tarian Kornea memasuki tahap terakhir karena bahkan meniru gerakan Flamenco. Dari kursi penonton melompat dengan semangat Ernest Mulyoso, menaiki tangga panggung dan lalu bergabung. Langkahnya yang lambat disokong oleh tarian lingkar-tangan oleh Jorge, dan hadirin menjadi semakin meriah. Para kru kotak spotlight di dinding belakang panggung bahkan ikut menari dan bertepuk tangan. Satu meter di atas mereka, sang eksekutor siap bertindak.

Ernest Mulyoso mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai dan meniru sedikit gaya Charlestone Jorge, bertepuk-tepuk di udara, sebelum ikut menari di belakang Kornea. Tarian mereka begitu abstrak, bercampur-campur, tapi nyata. Tidak ada cela dari siapapun di antara mereka. Orkestra biola-epik “Quixote” dari Bond mengiringi mereka dengan sempurna.

Yuka Listanti melihat peluang. Sepuluh detik. Dari lensa teropongnya, tepat di tengah-tengah persilangan hairline presisi dari senapan Eropa itu, wajah Ernest Mulyoso begitu cerah dan berbinar, menunjukkan peluh tapi kegembiraan. “Manusia adalah penari bagi kehidupannya sendiri.” Eksekutor itu bergumam. Lima Detik, tidak ada celah. Gerakan Jorge begitu lincah menghalangi pandangannya dari sasaran tembaknya. Ia menghela napas lagi dan merapal inci demi inci bayangan di bawah sana, hingga persis berada di tengah sasaran teropongnya. Matanya berkedip, satu detik, kemudian ia terkejut seketika.

Bunyi pintu dibuka dengan keras, begitu terdengar, berderit, entah di mana kemudian menghilang. Yuka merasa bodoh melewatkan kesempatan emas barusan. Kini waktunya sudah terlambat lima detik. Deritan pintu entah di mana tadi masih terdengar samar, tetapi kemudian Yuka mengabaikannya. Ini harus berakhir. Ia teropong lagi, Ernest Mulyoso berjingkrak dan mencoba moonwalk di bawah sana, dan gemuruh penonton semakin membahana.

Kemudian dalam hitungan sepersekian detik, Yuka menarik pelatuk perlahan-lahan, kemudian. Brak! Shut!

Bunyi pintu yang ditutup telah mengaburkan fokusnya, persis saat telunjuknya menarik pelatuk. Peluru jarum melesat melewati kaca dan terbang dalam kecepatan tinggi melewati kerumunan penonton, melewati barisan juri, sekilas menembus cahaya lampu sorot, meluncur dalam derajat yang tepat menuju tengah panggung. Senyum-snyuman Jorge tampak menyambutnya di sana, tetapi Ernest Mulyoso muncul sekelebat. Yuka memukul lantai karena gangguan bunyi pintu, sebelum kemudian menyadari ia harus meyakinkan dirinya akan sesuatu: eksekusi itu tepat sasaran.

“Ooooh…! Tidak!” Para juri menghambur ke atas panggung. Hadirin seketika heboh dan banyak orang kebingungan tentang apa yang terjadi. Petugas keamanan bergerak cepat mengelilingi panggung dan beberapa menghalangi orang-orang untuk mendekat. “Paramedis!” teriak satu di antara mereka. “Paramedis. Panggil ambulans. Ambulans!”

Yuka Listanti merapatkan ritsleting tas biolanya kemudian berjalan dengan tenang keluar dari ruang eksekusinya, menyusuri koridor kemudian menuruni tangga darurat hingga ke area parkiran.

“Nona, Apa yang terjadi?” tanya seseorang yang terdengar heboh karena mendengar keriuhan dan bunyi alarm di dalam.

“Oh, saya tidak tahu, Pak. Sepertinya ada yang pingsan.” Eksekutor itu masuk ke mobilnya yang langsung bergulir keluar dari basement, masuk ke cahaya malam kota yang basah.

Kebingungan dengan jawaban barusan, Sudjoko, sopir dan pensiunan tentara rendahan itu, menimang-nimang kunci dan langsung merasakan firasat buruk. Dari kompartemen dashbor Jaguar ia keluarkan pistol 9mm Glock yang lalu ia selipkan ke pinggang belakangnya. Sopir itu berlari menembus kerumunan ruang ganti, menyusuri koridor penghubung, sebelum akhirnya tiba di aula utama di mana orang dengan tidak terkendali merangsek ke depan, makin mendekati panggung. Di atas lantai pertunjukan yang kini terhenti itu, cahaya lampu ditumpahkan seterang mungkin. Sudjoko mengikuti nalurinya dan mencari-cari tuannya, tapi mustahil ia temukan di tengah kerubutan orang ini. Sampai akhirnya, ia mendengar seseorang berteriak. “Tuan Ernest. Darah, tuan!” Sudjoko, tanpa pikir panjang lagi, langsung merangsek naik ke panggung, mendorong beberapa petugas pengamanan dan menapaki lantai tari.

“Tuan. Tuan Ernest!” Sudjoko panik, tetapi kemudian bernapas lega saat melihat majikannya sedang berjongkok tidak apa-apa. Darah mengotori kemeja dan jas depan Ernest Mulyoso, dan di pangkuannya tergeletak lemah tak berdaya, bocah itu.

Lubang menembus pundak Kornea Sitanggang dan darah tak henti-hentinya mengalir dari tubuhnya, keluar dari belakang dan mengotori apapun yang dilaluinya. “Medis! Di mana Medis?!”

“Ya Tuhan! Sobat kecil!” Tangis terhambur dari wajah Jorge Simamutu, berusaha menyadarkan dirinya bahwa apa yang dilihatnya bukanlah mimpi melainkan kejadian nyata. Mata Kornea berair menahan sakit tapi napasnya terengah-engah. Tanpa kata apa lagi Jorge mengambil alih sobat kecilnya itu dari pangkuan Ernest lalu menangis sejadi-jadinya. “Tuhan…. Ya Tuhan….” Ia meraung. Sobat itu meraung, di pangkuannya, bocah itu entah masih bernapas.

Ernest Mulyoso berdiri di atas kakinya, menenangkan sopirnya bahwa ia tidak apa-apa. Matanya berusaha mengira-ngira dari mana datangnya serangan itu, tapi sia-sia saja di tengah kerumunan dan cahaya bergelimang begini. Di bagian lain, jauh di dalam dirinya, ia tak percaya bahwa “pertunjukan” yang dinanti-nantinya malah berujung hal yang tidak bisa diterima. “Harusnya aku. Harusnya aku, Joko.” Bisiknya lirih. “Bukan bocah ini. Bukan dia harusnya.” Si sopir yang mulai paham apa yang dipikirkan tuannya, hanya mengagguk. Mukanya sepucat mayat, tak kuasa bersuara.

Pesan terkirim. Yuka menginjak gas sekuat-kuatnya dan memasuki jalan layang untuk pergi sejauh-jauhnya. Pekerjaan berjalan tak sesuai rencana, dan ia tahu ia tidak bisa mengubah apa-apa. Manusia hanya penari di atas panggungnya. Mungkin, pikirnya, penari beruntung malam ini bukanlah “orang itu”. Penari beruntung yang berhak atas kehidupan kedua.

Penerima pesan dari eksekutor itu hanya terdiam di kursi membaca kata-kata di layar.

HARI YANG SALAH.

Di barisan kursi juri itu, tenggelam dalam desakan hadirin yang kebingungan, terduduk dengan diam dan tanpa suara, Soraya Litegaar melipat bibirnya. Matanya kosong. Pikirannya hampa.

Di tengah panggung tempatnya menari, Kornea berjuang dengan rasa sakit yang hebat. Tubuhnya lunglai dan dikelilingi banyak kepedulian. Telinganya tak bisa mendengar apa-apa kecuali gelombang tebal dari suara yang beragam. Tetapi matanya masih bisa menatap berkas-berkas cahaya lampu yang semakin buram di atas sana, di kejauhan atap panggung yang menaunginya, menari banyak malaikat untuknya. Berdendang banyak penyair kepadanya. Mari-marilah. Datanglah pada kedamaian. Pulanglah pada kecintaanmu. Menarilah bersama malaikat. Berjalanlah di bulan. Wahai malaikat kecil.

Nyanyian itu semakin jauh, dan cahaya itu semakin redup.

“Sobat kecil. Sobat kecil!” Jorge Simamutu mengguncang-guncang, kesedihannya tak terkendali.

---------------------

Sumber gambar Ilustrasi atas: Flamenco dancerMurcia Today - Teater Circo Murcia/murciatoday.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun