Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompasiana: Jurnalisme Warga atau Gosip?

14 Maret 2015   07:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:41 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1426294190473963362

[caption id="attachment_372981" align="alignnone" width="570" caption="Laman Kompasiana dengan sematan logo predikat SILVER versi Asosiasi Surat Kabar Dunia WAN-IFRA, 2010. (Kompas.com)"][/caption]

Hari-hari belakangan saya mendapatkan pesan-pesan khusus dari beberapa teman kompasianer terdahulu, dan dengan cara yang menyenangkan. Sebagian memberi ucapan selamat atas lomba, berdiskusi singkat seputar cerpen, atau sekadar menanyakan mengapa saya makin jarang menayangkan tulisan, tidak seperti dulu, katanya. Pertanyaan ini sebetulnya mudah dijawab, tentu dengan menjelaskan ganjalan teknis saya sehari-hari, secara gamblang.

Akan tetapi di satu sisi, pertanyaan ini terus terang memancing kebingungan saya sendiri terhadap media yang saya cintai, dan melihat beberapa kekecewaan mengikutinya. Bentuk kebingungan dan kekecewaan yang saya pikir juga dialami banyak penulis terdahulu yang kini jauh lebih jarang menulis dari saya dan sebagiannya bahkan sudah hengkang sejak lama. Pernyataan mendasar yang paling sering saya dengar bisa digambarkan dalam dua kata: Kompasiana berubah.

Dalam versi lebih panjangnya, bahwa Kompasiana kini mungkin tak lebih dari sekadar blog keroyokan gosip, atau kumpulan celotehan dengan argumen setengah-setengah, tulisan hasil kumpulan tweet, atau sekadar laporan ulang berdasarkan liputan media utama. Perlahan namun pasti kehilangan esensinya sendiri yang di masa-masa awal digembar-gemborkan sebagai media jurnalisme warga.

Beberapa kegelisahan teman-teman lewat kotak masuk saya iya-kan, tetapi beberapa juga saya bantah, termasuk mengkritik teman-teman yang hengkang menulis dengan alasan yang menurut saya (maaf) terlalu emosional dan masih dapat diperdebatkan.

Sejak bergabung dengan Kompasiana pada Juni 2010, semangat jurnalisme warga, bahkan istilahnya itu sendiri, jurnalisme warga atau citizen journalism, langsung menggairahkan saya, menggelitik wawasan saya tentang betapa pentingnya keterlibatan masyarakat, pembaca, dalam arus informasi yang saban hari membanjiri media kita.

Sebagaimana langgam jurnalisme warga, kala itu saya penggemar tulisan-tulisan yang mengangkat sudut lain sebuah kisah, yang karenanya saya gemar membaca seri tulisan wartawan harian Kompas Wisnu Nugroho, akademisi seksologi Mariska Lubis, pengamat intelijen yang juga jenderal (purn.) Prayitno Ramelan, atau sekadar teman baik yang mengabarkan kopi dan asrama mahasiswa di Dresden, Jerman, Emmanuelly Keisa.

Di masa-masa gandrungnya saya dengan Kompasiana dua-tiga tahun awal itu, Kompasiana adalah konsumsi harian, sejak sarapan sampai sebelum tidur. Headline-nya adalah wujud tulisan-tulisan jempolan, dan kanal terpopular-nya (waktu itu belum disebut trending article dan diperbaharui setiap 7 hari) sangat menambah wawasan jika tidak keterkejutan. Informasinya aktual, menarik, unik, dan sulit dijumpai di media manapun. Sebagai penulis, tentu kami bangga dengan konten-konten yang kala itu sering dibahas di Kaskus, Kompas Forum, sampai di-copy-paste tanpa izin ke banyak blog pribadi. Sebutan Kompasianer lantas begitu bernilai dan terkesan eksklusif.

Kegandrungan yang sama pulalah yang jadi alasan mengapa sejak awal tulisan-tulisan saya di Kompasiana didominasi kanal/rubrik new media, meskipun saya gemar menayangkan cerita-cerita pendek berlatar humaniora pasca-lahirnya Fiksiana.

Dalam bingkai besarnya, Kompasiana sebagai pelopor media warga benar-benar menyenangkan untuk dibahas, dibandingkan, dikritik, atau sekadar diisi dengan tulisan petunjuk sehari-hari (tips). Bangga terhadap media pelopor tentu saja harus beralasan, dan Kompasiana menjawab tantangan itu ketika dianugrahi sebagai media terbaik untuk kategori user-generated content oleh Asosiasi Surat Kabar sedunia, Wan-IFRA pada 2010, sebuah titel yang membuat iri banyak media serupa dan “memaksa” media besar lain menelurkan laman jurnalisme warganya sendiri-sendiri yang kini beragam bentuk dan fitur.

Kini, ke mana kejayaan-kejayaan Kompasiana itu?

Sebagai penulis amatir yang terus-terusan gelisah, saya senang melihat masa lalu Kompasiana yang jaya yang menurut mata saya, ideal. Tetapi tentu saja perkembangan teknologi dan atmosfer dalam dunia media warga tak bisa terus-terusan mewakili mimpi-mimpi saya, apalagi dalam persaingan arus informasi yang begitu deras.

Wartawan harian Kompas yang membukukan 700-an artikelnya dari Kompasiana menjadi lima seri buku Sisi Lain Istana, Wisnu Nugroho berujar, tantangan para penulis warga sekarang ini adalah arus informasi yang seperti aliran bah, banjir. “Sebagaimana setiap terjadi banjir, di mana ada aliran besar, yang paling banyak dan mudah kelihatan adalah sampah,” ujarnya saat membawakan lokakarya jurnalistik di gelaran Kompas Kampus di Grha Sabha Pramana UGM, kemarin (13/3/2015).

Menurut Inu, begitu kerap ia disapa, sejak awal sisi jurnalisme yang paling bernilai adalah yang diangkat dari sudut pandang yang lain, berbeda dari kebanyakan media utama yang sebagiannya disetir banyak kepentingan. Dalam jurnalisme warga, saya kira yang berkepentingan tidak hanya kepentingan institus-institusi besar, tetapi juga kepentingan-kepentingan para penulisnya. Dan celakanya jurnalisme warga, kemudahan mengakses informasi menghilangkan gairah untuk melakukan verifikasi yang justru jadi nadi penting penyampaian informasi publik.

Saya ingat, Kompasiana sempat kena getahnya sewaktu tulisan seorang kompasianer perihal “potong kemaluan” akun diduga Ahmad Dhani justru diperkarakan di Dewan Pers, karena dianggap fitnah dan berita tidak benar. Lewat editor Pepih Nugraha, Kompasiana dipaksa menayangkan hak jawab di headline seharian penuh. Ini bukan pertama kali bagi Kompasiana, dan tampak jelas bukan yang terakhir kali.

Sejak awal saya percaya bahwa Kompasiana lahir dan tumbuh kembang dengan para penulisnya. Sisi inilah yang membedakannya dengan media warga lain. Di Kompasiana, setiap penulis penting, dihargai sama, dan dinilai atas tulisan-tulisannya. Menjadi sulit kemudian ketika Kompasiana harus menerima 200 hingga 500 tulisan setiap harinya dari lebih dari 270 ribu anggota aktif. Inilah yang oleh Inu disebut banjir informasi, dan Kompasiana tidak bisa menghindar ataupun lari. Adalah hak seorang blogger untuk menayangkan berapapun tulisan dalam kurun waktu tertentu, dan Kompasiana harus menampung itu semua sebagai informasi warga, konten yang diverifikasi dan dipersembahkan untuk khalayak. Meskipun, potensi kebocoran dan kecerobohan informasi bisa terjadi di mana dan kapan saja.

Saya sendiri tidak pernah menargetkan tulisan dalam jumlah tertentu, atau kejar tayang atas momen tertentu, apalagi berlomba menarik perhatian. Sebagaimana saya tulis, jumlah tulisan saya jauh di bawah banyak kompasianer baru yang lebih aktif. Saya sendiri tidak berpikir apakah angka benar-benar berarti sesuatu. Karena sejak awal saya pembaca sudut lain, tidak sulit pula bagi saya menghindari tulisan-tulisan atau artikel yang di mata saya tak lebih dari ulangan, saduran, opini dangkal,tendensi, bentuk sentimen negatif, SARA, dan semacamnya. Humaniora dengan berita-berita ringan selalu lebih renyah dan terpercaya.

Wartawan senior Kompas yang juga idola saya, Budiarto Shambazy sewaktu Kompasianival berujar, media warga adalah hak semua bangsa, karena itu dimiliki oleh semua. Alasan Kompasiana “meloncat” dari sekadar kolom milik mendiang P.K. Ojong di koran harian menjadi blog jurnalis kemudian blog warga tak lepas dari pengertian bahwa lewat media warga, pers menyeimbangkan pekerjaannya mempertanggungjawabkan konten, atau reportase. Warga yang mengabarkan akan memberikan klarifikasi, penyeimbang, counter-opinion, bahkan koreksi agar pekerjaan menyampaikan informasi tak melulu dikuasai oleh pers yang kerap digerogoti kepentingan.

Tapi apakah media warga, yang oleh warga dan sering mewakili personal dan bukan opini umum, tidak membawa kepentingan tertentu?

Pemahaman terhadap pola sebaran informasi membuka mata banyak orang seperti apa sebuah media warga menampakkan dirinya, terkhusus pada momen-momen tertentu. Alasan sama saya kira banyak berpengaruh mengapa di gelaran Pilpres kemarin banyak Kompasianer kualitas (setidak-tidaknya di mata saya), “puasa” menayangkan tulisan, sekadar menghindari potensi kisruh yang tidak perlu atau komentar-komentar yang tidak relevan. Kompasiana menghadapi tantangan mengaktifkan warga dalam suara-suara demokratis, sekaligus menerima kenyataan bahwa tidak semua orang senang dengan keriuhan yang bombastis.

Media warga telah mengajarkan bahwa bahkan sebagai pembaca aktif berarti saya bisa terlibat dalam jurnalisme warga dalam bingkai yang pas, lewat komentar misalnya, tanpa harus memaksakan penayangan tulisan yang menurut saya hanya akan menjadi sampah internet jika tidak diimbangi dengan pemikiran yang matang dan pertanggungjawaban yang serius. Terkadang, tulisan curhat seorang suami atau curcol seorang teman tentang pasta gigi dan pakaian dalamnya lebih menarik dari tulisan “berbobot” tapi kepentingannya tak lebih dari kelompok atau bahasan tema tertentu. Lewat beberapa blogshop sebagai Kompasianer saya diajarkan mengutamakan kualitas, bukan kuantitas.

Setidaknya ini jawaban saya atas pertanyaan seorang teman tadi. Jurnalisme warga yang saya kagumi dulu mungkin bergeser, tapi saya tidak abai terhadap media yang lanjur saya kagumi. Sikap skeptik yang dipegang teguh wartawan bisa saya pelajari dan terapkan dalam hal ini, bahwa bagaimanapun kepentingan yang membelit konten Kompasiana atau seberapa parahpun banjir informasi dan sampah yang menggerogotinya, saya masih punya hak mengatur bentuk keterlibatan saya mengakses, memilah, dan menyerap informasi.

Tidak menulis tidak menjadikan saya seorang Kompasianer pasif, karena Kompasiana telah menghadiahi saya banyak kemudahan interaksi bahkan tanpa harus mengejar tayang tulisan. Saya tetap memelototi Kompasiana pagi, siang, dan malam, dan saya tetap bisa menentukan dan memilah “sampah-sampah” di depan mata saya sendiri. Saya menyiapkan reportase sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Saya tetap mengikuti banyak kanal dan rubriknya, meskipun makin ke sini headline is good news dan trending is bad news. Tapi saya kira itu bukan masalah, sekadar cara teman-teman admin mengimbangi hak publik pembaca untuk mencari arah tuntunannya sendiri.

Esensi…gosip?

Nilai-nilai esensi Kompasiana yang tersemat lewat slogan legendarisnya sharing-connecting dipertaruhkan ketika khalayak, penulis dan pembaca, lebih menggemari gubahan informasi yang terbaru, tapi bukan yang terbaik. Kadangkala, tulisan-tulisan sekadar berita dangkal dan tak berdasar (gosip), curhat, opini pincang, dan hujatan berkedok opini tetap membawa esensinya sendiri-sendiri. Maksud dan tujuannya mungkin berbeda dengan persepsi publik, tapi tetap saja tulisan-tulisan itu ditujukan untuk ide dan pembahasan tertentu, esensi tertentu. Apakah ini bisa disebut sebagai esensi gosip? Atau, gosip yang beresensi? Saya tidak tahu. Pada kenyataannya, bahkan jenis-jenis tulisan yang kerap dikritik habis dan diperbincangkan kedangkalannya lewat Facebook tetap tayang dan dihargai sebagai buah karya jurnalisme warga.

Di televisi, tayangan gosip dihujat, disayangkan, dituduh agen pembodohan, tetapi tetap ditonton. Di media warga mestinya sama, tulisan-tulisan gosip juga banyak dibaca dan diperbincangkan. Dan sama seperti infotainment, artikel gosip tentu saja sulit untuk dipilah, apakah masuk dalam kategori karya jurnalistik ataukah sekadar-sekadar.

Kompasiana tentu tidak bisa berbuat banyak, karena terkadang rupa wajahnya berubah dari sekadar media warga, menjadi media dadakan dan ring tinju bagi sekelompok warga tertentu. Admin yang memegang kewajiban menyeimbangkan konten publik, akhirnya kalap dengan gempuran ratusan artikel harian yang temanya tak lebih dari dua-tiga sudut pandang televisi, ditulis dan dibahas ulang dan diperdebatkan terus-menerus. Admin pun lupa, atau tak kuasa, mencari-cari tulisan kualitas yang hanya lewat di antara sampah-sampah banjir. Ibarat mencari jerami di tumpukan jarum.

Jurnalisme gosip sesuatu yang berbahaya. Praktiknya bahkan dipakai media utama. Dan kalau media utama saja tak bisa lepas dari berita-berita dangkal dan bombastis (tulisan-tulisan sterotip “polisi cantik” dan “PNS cantik”, misalnya), media warga pasti nasibnya sama. Jurnalisme gosip mungkin air segar bagi keterbacaan laman (page view), mengingat tingkat pemahaman dan preferensi informasi publik kita yang masih rendah. Bisa kok dihalau jauh-jauh sebagai excuse untuk mempertahankan esensi tadi, bukan mengadopsinya, merawatnya sebagai sensasi. Kritik yang masuk ke admin setiap ada tulisan “basah” mestinya berarti sesuatu.

Sebagai media warga peraih penghargaan, Kompasiana mesti ingat kebesaran namanya, yang begitu terang dibanding banyak pesaingnya yang nyaris tak bergaung (Baca: Kompasiana dan pesaing-pesaingnya). Kompasiana setelah enam tahun kini tersebar tidak lagi mengikuti nama besar induknya, tetapi mulai dikenal sebagai corong jurnalisme warga yang berpengaruh, dibaca oleh para ilmuwan, pelaku kreatif, gubernur, menteri, sampai wakil presiden. Kompasiana yang sejak dulu dikenal kredibilitas kontennya telah jadi rujukan banyak karya akademik, corong ilmu pendidikan dasar menengah, sampai referensi di Wikipedia. Saya harap media warga dengan jumlah anggota ratusan ribu tidak mempertaruhkan nama besar hanya untuk sensasi sementara yang tidak berimbas pada perbaikan informasi publik.

Di mata saya, Kompasiana masih akan berlari lebih jauh. Setelah lahir sebagai tayangan televisi lewat KompasianaTV, Kompasiana akan masuk program berita kebudayaan Indonesia (akan diumumkan segera, saya kira), dan bukan tidak mungkin akan kembali menyabet predikat di mancanegara. Setiap menge-tweet opini tentang isulokal dari Kompasiana, retweet yang saya peroleh cukup tinggi, sebagai pertanda baik bahwa di dalam integrasi lintas-platform (Twitter, Facebook, Path, dll.), Kompasiana punya tempat dan keunikan kontennya sendiri.

Saya masih percaya sharing-connecting Kompasiana akan terjalin lebih luas dan lebih erat. Lewat tulisan ini pula saya berharap banyak pembaca yang selama ini hanya diam, bisa menulis; atau teman-teman yang dulu aktif berinteraksi, bisa kembali. Jurnalisme Kompasiana telah melepas banyak kekang yang dulu membuat kita takut bersuara atau terlalu malu untuk menyanggah. Sebagaimana media sosial lainnya, Kompasiana bekerja di luar batasan ruang dan waktu, mempertemukan banyak ide, mengumpulkan banyak suara.

Untuk selebihnya, berbagai kekhawatiran atas konten-konten Kompasiana tidak begitu mengkhawatirkan saya. Lihat saja banyak media lainnya, gejala penyakitnya sama. Kita tidak bisa menyalahkan media atas kecenderungan perilaku informasi yang berakar pada masyarakat kita. Apalagi dalam bingkai (framing) media, setiap suara mewakili satu pihak. Kompasiana berdiri di atas perannya, tetapi siap ditopang oleh para penggunanya yang sesuai dengan norma dan etikanya.

Bagi saya cukup pemahaman: apa yang saya baca mewakili pemenuhan hak informasi saya, apa yang saya tulis mewakili pemenuhan kewajiban informasi saya. Karena media hanya corong, dan suara warga adalah alirannya. Saya memegang remote controller yang bisa saya pencet “mati” atau “ganti saluran” kapanpun saya tidak ingin nonton. Sebagai bagian dari jurnalisme warga, saya tidak sedih dengan keadaan, dan tidak khawatir Kompasiana akan jadi media jurnalisme gosip. Tapi kemudian, saya sadari telah berbohong soal itu.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun