Kepala sekolah itu memandangi dua stafnya sebelum menjawab, "Berontak lagi pas upacara, kali ini di Tomok. Sekarang kau boleh pulang, temui bapakmu, siapa tahu dia belum harus ditahan. Pak Pohan akan mengantarkanmu pakai mobilnya."
Taruli menggeleng, menatap tajam kepada para teladannya itu. Dan lalu tanpa suara ia sudah berlalu.
Dua puluh menit setelahnya, Taruli sudah duduk di ruang tunggu Polsek Simanindo. Memijat-mijat tangannya sendiri, meraba-raba perkiraannya sendiri. Ia seperti terjepit di antara tiga ibu paruh baya yang sama menduduki bangku kayu berongga itu. Sejurus kemudian orang-orang di situ melihat Josef digiring dua polisi mendekat ke ruang tunggu, sebelum berlalu ke ruang periksa. Oleh seorang petugas Taruli dipersilakan turut mendampingi. Anak itu langsung menggamat tangan bapaknya, terperiksa yang tak banyak bicara.
"Bapak, sudahlah, Pak. Hentikan saja pikiran-pikiran bapak itu."
"..."
"Pak," kemudian anak itu merendahkan suaranya, hampir berbisik. "Sudahlah, abang tidak akan pulang. Bapak ingat pesan boru."
"..."
"Uli tidak mau lihat bapak begini terus. Uli butuh sekolah, Pak. Kalau begini Uli seperti tidak ada pegangan, untuk cerita soal tugas-tugas. Siapa yang mau menjaga Uli kalau bapak begini? Siapa yang mau meneruskan pesan-pesan Mak, Apa bapak sudah lupa sama pesan Mak?"
Josef menoleh menatap anaknya yang duduk di sampingnya. Ia baru sadari tangannya terborgol, tapi ia tak bisa apa-apa. Pandangannya tidak tetap dan kosong saja, dua lututnya gemetaran. Kepalanya basah karena keringat dan tubuhnya kadang terguncang, seakan-akan ia masih sedang bergulat dengan Sigale-gale yang meronta. Ia menatap mata Taruli anaknya, sekali lagi. Lama sebelum akhirnya bersuara.
"Aku berbicara pada sesuatu, tentang kelahiran kembali kakakmu."
Taruli menimpali. "Hus! Tidak ada itu yang namanya lahir kembali, Pak!" Anak itu bangkit dari kursinya. Merasa muak, ia pergi. Tapi baru tiga langkah anak itu beranjak, ia berbalik badan lagi dan marah-marah.