Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Faktum yang Terangkum

12 Oktober 2012   07:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:54 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="300" caption="Ilustrasi (blog.londoh.com)"][/caption]

Siapapun boleh tersenyum jika baru mengetahui bahwa penggunaan kata fakta sejatinya hanya merujuk pada pengartian jamak. Sedangkan, dalam bentuk mufrad, kata yang berarti kejadian sebenarnya itu seharusnya faktum jika dirujuk untuk pengertian 'satu kebenaran'.

Lahir sebagai kata bahasa latin, factum adalah bentuk tunggal untuk facta atau factums, nomina tunggal yang pada awal kemunculannya dikaitkan dengan persoalan hukum dan filsafah penemuan zaman Eureka! Karena itu jua dalam pola pembentukannya kata ini masih satu kerabat dengan kata-kata lain yang sering diarti-tunggalkan jamaknya, seperti datum (data),  medium (media) dan bentuk definitif visum (visa). Kata-kata lain yang bernasib sama sebut saja alim (j. ulama), alumnus (alumni) dan roh (arwah).

Polah pemaknaan kata ini hanya bagian kecil dari rangkaian tulisan terpublikasi pada kolom bahasa harian Kompas selama periode Juli 2003 sampai Juli 2006. Setelah dipilih dan dipilah, terkumpul 111 tulisan dari 20 orang penyumbang yang menjadi inti dari buku dengan judul lugas sesuai isinya: 111 Kolom Bahasa KOMPAS.

Sebagai buku kumpulan tulisan, buku ini berhasil membujuk pembacanya untuk membaca tulisan kedua setelah menuntaskan tulisan pertama. Menyadari perkara ragam “salah polah” dalam pembelajaran bahasa Indonesia kita, bahasawan Salomo Simanungkalit yang juga adalah pengasuh kolom Bahasa harian Kompas berhasil menuntaskan pekerjaan bersama tim redaksi untuk mengumpulkan isu-isu paling popular dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah lisan dan tulisan masyarakat ktia. Dalam prawacana yang ditulisnya sendiri, Salomo mengungkapkan bahwa pembukuan ini adalah proses kolektif mengamati peristiwa-peristiwa sosial-politik dari aspek kebahasaannya yang unik. Sementara di bagian purnawacana, guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia Harimurti Kridalaksana menggunakan istilah ‘menggelitik’.

Dari artikel pertama yang berjudul “Bahasa dan Pelanggaran HAM” oleh sejarawan Asvi Marwan Adam yang mengangkat keunikan penggunaan kata mengamankan yang ternyata telah mengalami pergeseran makna cukup jauh sejak era Peristiwa Gestapu 1965. Dalam Surat Perintah Penguasa Pelaksana Perang Daerah Jakarta Raya tanggal 1 Oktober yang ditandatangani oleh Umar Wirahadukusuma, istilah mengamankan dirujuk ke artian agar tentara menjaga percetakan tempat terbitnya (hanya) dua koran yang diizinkan masa itu: Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha.

Pada 19 Maret 1966, istilah mengamankan kembali santer dibicarakan, tapi dalam artian berbeda. Aparat keamanan waktu itu mendapat mandat untuk mengamankan 15 orang menteri yang dianggap pendukung Presiden Sukarno. Ungkapan mengamankan dalam kasus ini berarti ‘menangkap menteri’. Pengertian yang bertolak belakang, lucu jika mengingat bahwa selang waktunya kurang dari setengah tahun.

Kegusaran bahasa Indonesia ternyata datang bukan hanya dari para penggiat pribumi. Salah satu penyumbang kolom yang paling dermawan soal bahasa Indonesia justru adalah seorang Swedia, André Möller. Dalam artikelnya berjudul “Paké Kés apa Kad?”, André menyinggung banyak hal yang sering dianggap remeh terkait penerjemahan masyarakat kita. Pertanyaan yang ia dengar dari mulut seorang pelayan hotel di Yogyakarta “Bayarnya paké kés apa kad?” yang ia tulis mengikuti bunyi vokal penutur waktu itu, André angkat sebagai kegelian pembuka. Pasalnya, justru waktu itu ia mengaku bingung bukan main sebelum menyadari kalau maksud pelayan tersebut adalah apakah dirinya akan membayar pakai tunai (cash) atau kartu (card).

Kemudian ada kalimat-kalimat verbal lucu lainnya. Seperti “Dia mau rental VCD?” yang menimbulkan kebingungan jamak karena bisa berarti pertanyaan apakah “dia” yang dimaksud berniat meminjam kepingan film, ataukah membuka toko penyedia jasa penyewaan. André Moller terkenal sebagai pecinta bahasa Indonesia yang senang menyindir gengsi tinggi orang-orang Indonesia yang gemar menggunakan kata asing tidak pada tempat dan fungsinya. Kamus Swedia-Indonesia (Gramedia, 2006), yang adalah pertama di Tanah Air ia susun juga sebagai buah kegusarannya memahami tingkah berbahasa masyarakat pada umumnya.

Ada duapuluh penyumbang tulisan kolom bahasa yang ditampilkan buku ini. Beberapa orang di antara mereka menyumbang lebih dari tiga artikel, termasuk indonesianis R. William Liddle, Guru Besar Fakultas Seni Rupa ITB almarhum Sudjoko dan arkeologiman yang juga ahli dialektologi almarhum Ayatrohaédi. Dari kalangan non-akademisi ada Remy Sylado, Ulil Abshar-Abdalla sampai Sujiwo Tejo.

Semua artikel dalam buku ini menjadi penting dalam independensinya. Tiap judul tulisan mewakili kegusaran penulisnya terhadap suatu fenomena bahasa yang jarang disadari kebanyakan orang. “Notasi Trie Utami” pada halaman 91 yang lahir dari kecermatan Salomo Simanungkalit menikmati hiburan Akademi Fantasi Indosiar sekaligus mengamati ucap bahasa salah seorang juri ajang pencarian bakat itu, kemudian menyadi masalah yang bisa dibaca secara renyah, mudah dikunyah dan membuat terperangah. Hal-hal sederhana yang diulas ringan tapi tidak kekurangan tujuan yang tegas. Kemudian muncul tulisan yang seakan-akan lahir dari momentum tertentu seperti “Coblos? Apa Itu?” yang berkaitan dengan pemilu dan “9/11 atau 11/9?” yang mengkritik serius terkait pemberitaan tragedi gedung kembar di Amerika Serikat 2001 silam.

“Kritik kepada bahasa Indonesia, kritik kepada kebiasaan berbahasa, kritik kepada pengguna bahasa, tanpa harus menggurui.”

Kiranya pendapat Harimurti Kridalaksana dalam purnawacana di atas layak disetujui oleh para pembaca. Ungkapan di atas tentu bukan tanpa alasan. Satu faktum menyedihkan dalam pembelajaran popular kita soal bahasa Indonesia adalah karena dosen ilmu budaya, mahasiswa sastra, sampai guru bahasa Indonesia masih enggan membagi ilmunya di ranah popular. Padahal, bahasa Indonesia adalah pelajaran abadi untuk segenap bangsa.

Bagaimanapun juga, proses belajar kita sebagai bangsa berbahasa masih berlangsung. Dan saat keping demi  keping kebenaran bahasa itu kita pahami secara bersama-sama, pekerjaan ini menjadi lebih mudah dan menyenangkan, walaupun di banyak pelajaran kita justru tersenyum dan malu. Seperti 111 tulisan kolom dalam buku ini, perlahan tapi pasti kita akan memahami bahasa kita sendiri tanpa ego dan gengsi berlebihan. Kita sedang mengumpulkan remah-remah ilmu bahasa, untuk kemudian disepakati sebagai faktum yang terangkum menjadi fakta.

Judul Buku: 111 Kolom Bahasa Kompas

Penulis: (Kolektif)

Penyunting: Salomo Simanungkalit

Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Cetakan: II, April 2007

Ketebalan: xi + 347 halaman

ISBN: 979-709-269-6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun