[caption id="" align="alignnone" width="460" caption="Ilustrasi (davidbenjamin.com)"][/caption]
Setengah abad terakhir interaksi sosial global dibawa pada gejala yang disebut ‘information overload’. Kejenuhan informasi yang secara teknis dianggap sebagai konsekuensi paling logis dari era media baru. Beberapa pakar menandainya sebagai rekonstruksi pola hubungan antar-masyarakat dunia. Sebagian lain berpikir skeptis bahwa kemajuan peradaban tetap meninggalkan ruang yang tak dapat dikontrol oleh manusia itu sendiri, terutama dalam hal aliran informasi.
Pada tahun 1970 Alvin Toffler tidak menyangka bahwa bukunya Future Shock benar-benar memberikan guncangan ide di kalangan ilmuan ilmu-ilmu sosial di Amerika Utara. Idenya menuliskan information overload langsung diamini oleh akademisi humaniora di Harvard. Ide Toffler sederhana saja, bahwa ada fase tertentu bagi seseorang untuk mengalami kebingungan dalam pengambilan keputusan, justru karena mendapat terlalu banyak informasi. Bahkan, untuk informasi yang berasal dari bidang kerjanya. Kejenuhan informasi kemudian disebut-sebut sebagai pemicu stres yang “paling cerdik” dan sulit didefinisikan.
Yang Toffler tidak perhatikan adalah, bahwa frasa ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1964, saat Bertram Gross, seorang pakar manajemen dan pengamat ekonomi meluncurkan buku The Managing of Organizations. Saat studi berlanjut, ide kejenuhan informasi membawa banyak ilmuwan untuk membaginya ke dalam dua aspek fenomena nyata, yaitu internet dan psikologi.
Dimulainya era internet sejak Tim Berners-Lee menemukan world wide web yang merevolusi pola pemberitaan dunia. Para jurnalis beralih dari steno dan laporan koran ke pola pelaporan digital melalui laman-laman yang dikelola atas kuasa perusahaan. Para periset membuat blognya sendiri untuk melaporkan setiap penemuan mereka kepada dunia. Termin ‘pemirsa’ mengalami perluasan arti yang begitu masif, hingga bahkan pengguna telepon genggam pun dianggap sebagai penikmat media paling menguntungkan. Hasil studi pakar sosial dari Universitas San Diego, California menuliskan, di abad ke-21 ini rata-rata orang menghabiskan waktunya 12 jam per hari dalam aliran informasi. Jika waktu tidur manusia normalnya adalah 7 jam, maka setidaknya sisa waktu lima jam lainnya tetap akan habis dalam proses penerimaan informasi.
“Sangat tidak mungkin untuk hidup tanpa web,” kata Tim Berners-Lee dalam sebuah simposium Masachussets Institute of Technology pertengahan agustus lalu. “Mustahil untuk hidup tanpa air. Dan jika ada yang memilih internet dan yang lainnya tidak, maka perbedaannya bisa terlihat pada pola pertumbuhan mereka. Pengaruh internet masa kini tumbuh begitu besar sehingga setiap orang ingin punya waktu lebih dari 24 jam dalam sehari, hanya agar otaknya kelebihan informasi.”
Data lembaga statistik Go-Gulf mencatat beberapa statistik mencengangkan terkait perilaku manusia terkait internet. Data yang dilansir BBC pada pertengahan 2011 itu diberi judul “Apa yang terjadi di internet selama 60 detik?” Dan berikut hasilnya.
Dalam waktu 60 detik internet global, ada 168 juta email terkirim. Ada 694.445 klik pencarian di Google; Ada 695.000 status baru di Facebook; Muncul 98.000 tweet baru di Twitter; terjadi pengunduhan sebanyak 13.000 di iPhone Apps; Ditayangkan 1.500 tulisan baru di blog; dan 2.500 video dengan total durasi lebih dari 25 jam terpublikasi di YouTube.
Kebingungan yang dimaksud Toffler pada bukunya mungkin belum menyentuh perkara arus digital secara spesifik sebagaimana statistik nyata di atas. Tetapi sebagai seorang futuris, ia jelas tahu bahwa pola hubungan manusia yang semakin dekat karena perkembangan teknologi informasi akan mengalami penyimpangan-panyimpangan sporadis yang bisa saja telat kita sadari. Padahal, saat ia mengemukakan ide itu, dunia masih dua dekade sebelum laman internet pertama buatan Berners-Lee dipublikasikan lewat proyek ENQUIRE milik laboratorium fisika elektron CERN.
Dunia hari ini berubah menjadi gelembung teknologi dengan segala persaingan antar-korporasinya.
Saat iPhone 5 baru saja dirilis, para penggemarnya langsung antre dan menjamur di seluruh dunia. Rekor penjualannya pun mencengangkan: mencapai 2 juta unit hanya dalam 24 jam! Seminggu berselang, merek pesaing Samsung Galaxy SIII memuat video iklan yang menyindir iPhone terbaru itu karena tidak memiliki fitur pertukaran data dengan hanya menempelkan dua perangkat yang sama. Hingga saat ini, dunia menyaksikan persaingan dua raksasa penghasil telepon pintar ini dalam menggapai lebih banyak konsumen.
Semakin banyak pengguna, semakin banyak orang yang tertarik dan mencari informasi terkait produk teknologi.
Bukan masalah psikologis
Secara psikologis, efek kejenuhan informasi pada manusia mudah diamati. Meski demikian, tidak semua akademisi setuju dengan teori Alvian Toffler.
Tim peneliti dari Universitas Northwestern dan Universitas Michigan mengemukakan hasil penemuanmereka setelah melakukan penelitian terhadap 77 orang sampel dengan preferensi informasi yang beragam. Tujuannya adalah untuk mencari tahu apakah benar secara psikologis manusia masa kini mengalami atau mengerti diri mereka sedang jenuh informasi. Hasilnya, hanya 22 dari total jumlah responden itu yang mengaku terganggu dengan aliran informasi. Selebihnya meyakini diri mereka baik-baik saja, bahkan, antusias dengan semakin banyaknya berita yang mereka tau dari internet.
Televisi tetap menjadi instrumen media yang dianggap paling efektif sebagai sumber informasi, sementara media sosial yang berkembang 10 tahun terakhir berada di baris kedua dengan sedikit aksen motivasi asmara di dalamnya. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal “The Information Society” 3 September lalu.
Tapi perlu dipahami. Hasil penelitian tersebut berlaku dalam lingkup pandang kelas kehidupan sebagian besar masyarakat Amerika yang tingkat produktivitasnya rata-rata lebih tinggi daripada di Asia dan Afrika.Ada banyak negara yang masyarakatnya mengalami masalah sosial kompleks, dan bisa memengaruhi pola konsumsi informasi secara kolektif. Sayangnya, belum ada studi serupa yang memfokuskan penelitiannya pada kasus kejenuhan informasi masyarakat negara-negara berkembang.
Pengguna teknologi sepertinya perlu menyadari, bahwa aliran informasi adalah berkah sekaligus musibah, jika konteksnya berubah. Baik dilihat dari sisi kemajuan internet maupun gejala psikologis manusia, ide kejenuhan informasi ini bisa disikapi dengan kesadaran (awareness) yang cukup, motif yang jelas, dan berbanding lurus dengan kegiatan produktif harian. Karena kejenuhan informasi adalah fenomena serupa pemanasan global, yang terjadi progresif dan tak bisa dilawan, maka manusia sebagai pengelola informasi diposisikan sebagai corong dua arah. Menerima dan menerjemahkan.
Ekses sporadis
Sebagai akibat logis, proses kejenuhan informasi pada akhirnya muncul sebagai ekses sporadis. Mulai terlaporkan beberapa kasus di penjuru dunia yang melibatkan perubahan perilaku manusia yang aneh karena pengaruh teknologi.
Sebut saja kasus Phil Inkley, seorang teknisi komputer dari Hampshire, Inggris. Oleh dokter ia didiagnosis menderita electromagnetic hypersensitivity. Sebuah penyakit langka berupa gangguan saraf yang diderita setiap kali terekspos gelombang elektromagnetik, mulai dari oven microwave, jaringan nirkabel (WiFi), telepon genggam, dan menara BTS. Kepalanya langsung pusing akut dan telinganya mengiang setiap kali mendekat dengan barang pemancar elektronik aktif.
Akibat penyakit yang dideritanya itu, Inkley memilih mengasingkan dirinya dengan tinggal di tengah hutan hanya dengan sebuah karavan, tanpa radio dan internet. "Saya berpikir bahwa inilah satu-satunya cara untuk mengontrol sakit-sakit itu dan menyelamatkan hidup saya," ujarnya kepada daily mail.
Inkley bekerja sebagai teknisi komputer selama belasan tahun sebelum akhirnya 7 tahun lalu saat berusia 36 ia mulai merasakan gejalanya. Waktu itu teknologi wireless sedang berkembang. Inkley bukan satu-satunya orang yang menderita gangguan ini. Meski dunia medis masih berdebat soal penyebab penyakit ini, buktinya sudah ada lagi dua perempuan di Perancis menderita penyakit serupa. Studi lain mengungkapkan, sebanyak 20 hingga 30 persen penderita penyakit ini tidak menyadari keadaan yang dialaminya.
Kasus Inkley bisa disebut sebagai ekses sporadis dari kejenuhan informasi. Meski secara teknis ini sangat kompleks karena melibatkan kemampuan respon manusia terhadap software dan hardware, bukti nyata yang menyebutkan semua penderitanya adalah pengguna internet aktif patut dipercayai.
Kejenuhan informasi adalah fenomena dwirupa. Bagi manusia, kemampuan mengelola setiap input danoutput demi tujuan dan motif produktif adalah kunci pertama untuk menyeimbangkan eksesnya. Anda tetaplah menulis status di dinding Facebook dan berkicau di Twitter selama itu membantu Anda bersenang-senang. Saat email menggantikan surat dan blog-blog sejajar dengan koran harian, Anda diberi begitu banyak pilihan informasi baik yang Anda inginkan, maupun yang tidak Anda inginkan.
Kesadaran penuh secara motorik dan sensorik mutlak diperlukan agar ekses sporadis tidak meluas.Bagaimanapun dalam peradaban sosial era media baru ini, teknologi sebangsa internet sudah berada dalam kelas yang sama dengan air minum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H