Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sejauh Mana Pewarta Warga?

25 September 2012   03:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_207785" align="aligncenter" width="600" caption="Kadiv Kamtib UPT Malioboro sebagaimana saya jepret usai wawancara, 5/9/2012."][/caption] Pertanyaan lama yang belum terjawab soal pewarta warga, salah satunya adalah sejauh mana kita (yang berlaku sebagai pewarta warga, tentunya) bisa menggapai sumber berita. Apakah ketemu dengan narasumber utama dinilai terlalu jauh karena sejangkauan kerja wartawan profesional? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita pasang dua kesepakatan penting terkait pewarta warga. Pertama, pewarta warga bukanlah wartawan. Artinya, kegiatan peliputan, kroscek, sampai penulisan yang dilakoni pewarta warga tidak berlaku profesional, dan tidak terikat kode etik jurnalistik yang disahkan di bawah dewan pers. Hasil laporan pewarta warga tidak kontekstual untuk dilaporkan ke Dewan Pers, karena pertanggungjawabannya bersifat individual. Kedua, pewarta warga bukanlah pekerjaan regular, dengan alasan yang sama. Selain itu, pewarta warga tidak dibekali kartu identitas pelaporan sebagaimana lazim digunakan wartawan dalam mengumpulkan berita. Untuk itu, pewarta warga tidak membawa nama, ataupun berafiliasi dengan lembaga pers manapun. Dua hal penting di atas perlu dipahami dulu oleh setiap orang yang melakukan pewartaan warga. Karena pewarta warga sejatinya bukanlah pekerjaan profesional, berita-beritanya pun tetaplah berita warga. Soft news jika dikategorikan secara teoritis. Meskipun demikian, tak jarang pewarta warga terlibat dalam pelaporan berita keras (hard news) yang tingkat kepentingannya bisa melebihi lingkup kerja wartawan. Kembali ke pertanyaan. Jika pewarta warga dihadapkan pada situasi di mana ia punya ruang gapai berita yang lebih luas dan dalam, apa yang mesti dilakukan? Apakah boleh menghampiri narasumber utama atau mengejar sumber penting lain saat berada dalam situasi yang berpotensi jadi berita penting? Pertengahan September lalu, saya mendapat kiriman tweet, yang baru terbaca 6 jam kemudian, dari admin Kompasiana Nurulloh yang isinya meminta konfirmasi soal laporan yang saya tayangkan pada 5 September terkait plang jalan Malioboro Yogyakarta. Melalui pesan utuhnya yang dikirim berlapis admin meminta saya mengonfirmasi apakah narasumber yang saya tulis di dalam laporan tersebut faktual. Dan saya menjawabnya dengan "Ya." Setelah menjelaskan, barulah saya paham bahwa maksud admin menanyakan hal itu adalah karena laporan saya tadinya akan diangkat ke kompas.com lewat proses hybrid. Saya pikir, mungkin laporan semacam itu termasuk kelas hard news karena saya laporkan langsung dari tempat kejadian, dan menemui dan mewawancarai langsung narasumber yang waktu itu adalah Kadiv Keamanan dan Ketertiban Unit Pelaksana Tugas Malioboro. Laporan UPT Malioboro menurut saya ini menarik, karena merupakan yang pertama kali datang dari inisiatif mendatangi narasumber utama. Hari itu sedianya saya mewawancarai Kepala UPT, Syarief Teguh Prabowo yang ternyata sedang rapat saat saya tiba di pos kantornya. Setelah menunggu 3 jam dan berhasil ketemu, akhirnya Pak Syarief ini menjabat tangan saya dan meminta kadiv-nya mewakili dirinya melayani wawancara saya. Usai wawancara, Kadiv Kamtib Syamsudin bertanya, "Dari mana dek?' Kemudian saya jawab dengan menyebutkan daerah tempat indekos juga kampus. Setelah mengetahui saya tidak dari media manapun, barulah narasumber saya itu menepuk pundak dan terkekeh, "Wah, bisa masuk tipiwan, nanti." Setelah itu akhirnya kami mengobrol lebih santai sampai akhirnya berpisah sore harinya. Apakah "legal" seorang pewarta warga melakukan itu? Sehari sebelumnya, saya mendapatkan pengalaman yang lebih mengejutkan karena ternyata bisa terlibat langsung dalam konferensi pers resmi yang menghadirkan pembicara tunggal mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Berangkat sejak pagi ke Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tadinya saya hanya berniat melaporkan acara itu lewat gambar, karena kebetulan membawa kamera cukup. Ternyata panitia membolehkan saya masuk setelah meminta izin, "Tempat untuk fotografer di mana ya?" Setelah di dalam, ternyata memang siapapun yang mau memotret dipersilakan, selama tidak mengganggu jalannya acara dan tidak terlalu dekat dengan panggung atau menghalangi sorotan kamera video salah satu stasiun televisi lokal. Beberapa gambar pun berhasil saya abadikan. Selepas orasi ilmiah yang jadi acara puncak, saya bergabung di ruangan konferensi pers karena diajak oleh kawan peliput lainnya. Tak kelihatan satupun media televisi nasional yang hadir, hanya dua media Malaysia  yang nampaknya sengaja "dibawa" oleh rombongan mereka. Dan dalam kesempatan itu, saya berhasil menanyakan dua pertanyaan yang dijawab langsung oleh Mahathir. Saya bahkan sempat mengabadikan foto saat matanya menyorot ke saya, juga sempat berjabat tangan seusai acara tanya jawab. Laporannya saya tayangkan hari itu juga. Apakah pewarta warga boleh seperti itu? Saya menyerahkan beberapa pertanyaan yang saya sengaja pasang di baris khusus di atas kepada teman-teman yang lebih paham, termasuk admin Kompasiana yang dalam hal ini menyimpan aturan khusus terkait mekanisme pelaporan warga. Karena terus terang, saya sebagai warga beberapa kali harus berhadapan dengan situasi dilematis ketika mendapatkan akses setara dengan wartawan profesional untuk suatu berita, tapi "maju-mundur" karena tidak bekerja secara resmi. Beberapa kali pun akhirnya saya membatalkan peliputan hanya beberapa menit setelah acara dimulai, karena menganggap kegiatan itu terlalu berisiko dan saya tidak ingin masuk sebagai "orang asing". Padahal, pada hari-hari ini kita dihadapkan pada semistigma bahwa siapapun yang membawa kamera mumpuni bisa saja dianggap wartawan. Dan pewarta warga tidak boleh melewati garis. Solusi sederhana yang saya pakai selama ini adalah, pertama, menegaskan kepada panitia acara, ataupun pihak keamanan bahwa saya adalah juru foto amatir, bukan wartawan foto. Kedua, saat ditanya lembaga asal ataupun nama media yang membawahi, saya jawab tidak ada dan saya meliput untuk blog pribadi. Biasanya jika tahap ini ditempuh, pihak berwenang pada sebuah acara sudah memberi isyarat apakah saya boleh masuk atau tidak. Beda lagi tentunya jika berada pada situasi insidenal semisal kebakaran di pinggir jalan atau kecelakaan di rel kereta api. Pewarta warga biasanya lebih mengedepankan naluri, meski tetap harus tahu diri. Beda lagi tentunya jika pewarta warga menyusun reportase redaksional yang hanya mengambil dari berita-berita laman luar negeri atau media sosial. Menyusun laporan warga hanya dari peristiwa aktual di internet. Kompasianer Jack Soetopo menyebutnya sebagai "berita katanya". Konteksnya perlu dicermati. Karena pada hari ini siapapun yang memotret kejadian bisa melaporkan apapun, maka pewarta warga sesekali perlu otokoreksi, apakah peliputan yang dilakukan diperbolehkan atau tidak. Tentu saja, perlu ada mekanisme informal khusus yang dipahami komunitas pewarta warga, jika ada, khususnya terkait batasan-batasan yang perlu diperhatikan supaya tidak dianggap sebagai, apalagi mengganggu kegiatan wartawan profesional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun