Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kata Sandi MOZÉ (6)

18 September 2012   15:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:17 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya berita sampai ke koran-koran.

Penyelidikan dikembangkan dan sampai mengulik kematian seorang pesohor di masa lalu.

(Sebelumnya ....)

PETUGAS JAGA itu langsung mengangguk-angguk hormat kepada suara yang terdengar dari ponsel. Dua rekannya saling tatap dan langsung tahu bahwa yang memanggil itu adalah atasannya. Instruksinya jelas dan singkat. Mereka lalu mengangkat pita pembatas.

ADAM mengangguk, berterima kasih kemudian langsung masuk  ke rumah dan dua polisi itu mengikutinya. Seorang lainnya terpaksa menunggu di luar karena tak mungkin lingkar satu itu tak kelihatan terjaga dari mata orang-orang. Tukang parkir Tarno sudah sibuk lagi dengan lalu lintas sementara penjaga rumah berdiri begitu saja ketika didekati Adam.

“Pak, siapa nama Anda?”

“Kim.”

“Pak Kim, bisa kita mengobrol sebentar? Pak polisi, jika Anda sekalian tidak keberatan, tolong tinggalkan kami sebentar.”

Polisi itu saling tatap lagi. Sementara Adam sedang tak ingin menghabiskan waktu hanya dengan bernegosiasi, ia sudah menggeser dua kursi dan langsung menurunkan tirai pemisah ruang tamu dengan ruang tengah tempat televisi berkotak kayu antik itu berdiri diam di sudut. Lantai ubin yang lebih mirip semen licin terasa dingin di kaki, tapi Adam coba biasakan dan langsung membuka pembicaraan.

Orang tua itu sudah bekerja di rumah dinas ini selama enam belas tahun. “Sudah tiga kepala dinas saya layani di rumah ini,” katanya lurus di awal-awal pembicaraan. Adam lalu membawa mereka ke topik yang lebih terkonsentrasi pada kasus kematian kemarin. Ia mulai dengan menanyakan di mana saksi berada sewaktu musibah itu terjadi.

“Anu, Pak. Saya sedang mengangkat telepon dari kantor bapak, di ruangan kerjanya.”

“Anda dibolehkan masuk ke ruang kerja Pak Kadisdikbud?”

“Iya.” Orang tua itu mengangguk. Ia memegang lututnya dan mengarahkan lurus matanya. Bibirnya yang tipis bergerak-gerak gesit tidak hanya untuk membalas pertanyaan, tapi juga menjaga gigi-gigi palsunya agar tidak melompat keluar. “Semua bagian rumah ini dipercayakan pada saya. Pak Iskak orang yang pengertian dan percaya sepenuhnya pada tanggung jawab saya. Beliau keluar kota, jadi saya hanya diminta mencatat beberapa pesan. Semuanya tertulis di nota meja kerja bapak.”

“Begitu.”

Adam mulai mencatat di bukunya. Ada keheningan sejenak sebelum ia melanjutkan pertanyaannya. Kerongkongannya sudah kering lagi. Ia membasahi bibir dan melanjutkan.

“Pak Kim, ada berapa pekerja di rumah ini selain bapak?”

“Tidak ada. Saya pengurus satu-satunya. Sudah enam belas tahun saya bekerja di sini. Semuanya saya yang mengatur.”

“Lalu dua pekerja perempuan yang kemarin malam itu?”

“O, Tisa dan Noni, itu ibu-ibu pengurus RT. Mereka selalu ada kalau rumah ini ada gawe. Tinggal mereka pengurus RT yang mau ikut rembug. Yang lainnya berdalih sibuk berdagang. Saya paham itu.”

“Jadi, waktu kejadian, selain Anda dan dua pekerja bu Tisa dan bu Noni, tidak ada orang di bagian belakang rumah ini?”

“Mestinya begitu.”

“Kapan terakhir kali Anda melihat Mas Mozé sebelum kematiannya?”

Kim melipat bibir. Pandangan matanya diedarkan ke kaki-kaki atap, menyadari mulai banyak ramat yang mesti ia bersihkan di atas sana. Ia mengingat kejadian malam itu.

Ia berada di dalam kamar berpenerangan remang. Ruang kerja Kadisdikbud tidak terlalu besar, dan tidak ada jendela yang menghubungkannya dengan sisi dalam. Satu-satunya ruang pandangnya mengarah ke gang belakang yang dibatasi taman sempit tempat tumbuh serangkai bunga anggrek berwarna ungu. Antara ruangan itu dan ruangan lain di rumah hanya dibatasi koridor sempit tempat beberapa lukisan tergantung di dinding dan beberapa cinderamata ditata sedemikian rupa di lantai pojok antara dua dinding. Karpet persia menghangatkan bagian itu, ujungnya berakhir di pembatas ruang tamu dan ruang tengah, tempat penjaga rumah itu duduk menjawab pertanyaan pagi ini.

“Waktu pentas saja. Di ruang tamu depan. Waktu orang-orang bertepuk tangan dan nama den mas disebut, saya mengintip dari balik tirai ini dan ikut tepuk tangan. Tisa dan Noni di belakang saya.”

“Apa yang dikerjakan Bu Tisa dan Bu Noni sebelum  berdiri di belakang Anda itu?”

“Saya kurang paham. Mencuci piring, atau mengelap, mungkin. Baju saya basah waktu itu, mungkin mereka yang pegang. Saya tidak begitu yakin.”

Adam mencatat lagi.

“Berapa umur Anda?”

“Saya?” Kim lagi-lagi melayangkan ingatannya. Tapi kali ini tak selama tadi, karena jawabannya langsung keluar. “Enam puluh sembilan.”

Kemudian buru-buru ia ralat. “Eh, enam tujuh, apa enam enam begitu, saya tidak pandai berhitung. Pokoknya saya lahir sewaktu Sukarno hampir dimakzulkan lah.”

Adam menatap orang tua itu tajam, meski alisnya terangkat mengirimkan isyarat keramahan pada orang tua. Ia memberi kesempatan kepada saksi itu untuk berdiri sejenak dan mengambil air putih. Ia tak bisa berbicara banyak tanpa larutan itu, katanya. Adam ikut meneguk dari satu gelas lain yang ia ambil sendiri dari tabung dispenser di sisi lain ruangan.

“Anda rematik, Pak Kim?”

Adam melempar pertanyaan begitu saja, melihat orang tua itu berjalan membungkuk, beringsut ke kursi sambil meluruskan lututnya ke depan. Kim mengangguk dan menutup matanya. Keningnya mengkerut karena merasakan sesuatu entah di kepalanya, atau di dengkulnya. Ia mulai sulit membedakan rasa sakit, mulai terbiasa.

“Pak Kim,” Adam coba memulai lagi. Orang tua itu membuka matanya kemudian tersenyum. Rasa sakit disimpannya dalam-dalam, kemudian duduk menegakkan punggung yang tetap melengkung sembari menopangkan tangannya ke pegangan kursi bertali yang didudukinya. “Monggo.”

“Menurut Pak Kim bagaimana Mozé? Anaknya baik atau …”

“O, baik sekali, Mas! Baik sekali. Dia sering membelikan saya koyo, pakai uangnya sendiri. Ya, tentu itu uang dari bapaknya, tapi saya senang sekali anak itu penuh perhatian pada orang tua. Seandainya … tidak terjadi …”

Kim nampak sedih dan menatap lebih rendah.

“Andai saja masih hidup, ia pasti bisa jadi pejabat yang lebih tinggi pangkatnya daripada bapaknya. Dia tak banyak bicara, tapi banyak tersenyum. Sesekali saya diajaknya berbicara soal artis-artis zaman dulu, primadona saya sewaktu muda.”

“Seperti apa? Nadia Tumbulaya?”

“Ya. Nadia! Dia itu, penyanyi karaoke. Lagunya yang terkenal ini …” Kemudian orang tua itu bersenandung. Seperti tubuhnya ringan seketika, sampai nyaris berdiri, kemudian Adam berdeham dan ia pun berhenti dengan malu-malu. Menangis tersedu. Kemudian diam.

“Den Mas Mozé tahu banyak soal Nadia Tumbulaya. Saya pernah dikasih satu majalah yang isinya tentang Nadia Tumbulaya semua. Den Mas Mozé punya banyak majalah dan kliping soal Nadia Tumbulaya. Kata Den Mas Nadia itu primadonanya. Heran juga saya, karena kan dia masih anak-anak, mengidolakan orang yang sudah meninggal begitu. Saya ketawa saja kalau dia berbicara ngalor-ngidul. Sedih saya.”

“Hmmm ….” Adam mulai mendapatkan cahaya. Tapi sebentuk apa itu persisnya, ia belum benar-benar paham. Bisa jadi keterangan soal masa lalu orang sohor ini petunjuk utama, tapi bisa jadi justru pengabur yang membawa arah pemahaman makin jauh dari tujuang awal. Maka kemudian wawancara singkat itu diakhiri. Orang tua akan melalui fase kekanakan emosional yang labil sekali lagi, begitu kata orang-orang. Adam menyadari kondisi psikologis Kim mulai kurang stabil karena kenangan dan kesedihannya yang tergurat perlahan. Mungkin juga karena rasa nyeri yang menyetrum dari tungkai dan tengkuknya.

Wawancara kedua dilakukan pada dua saksi sekaligus. Tisa dan Noni. Pekerja rumah yang malam itu merangkap sebagai juru masak dan juru cuci. Pelayan lain yang berjumlah tujuh orang hanya bertugas menata makanan dan mengatur orang-orang, dan mereka dianggap tidak terkait karena memegang alibi telah pulang satu jam sebelum kejadian itu terjadi. Polisi telah melakukan pengecekan ulang dan Adam sepakat bahwa penyelidikan akan berfokus pada saksi terdekat yang indikasi keterlibatannya paling kuat.

Maka duduklah dua perempuan paruh baya itu di depan Adam kini. Satunya agak gemuk dan berambut pendek setempurung kepala, sementara satunya agak genit dengan lengan dan pipinya yang montok, ditambah senyum dan tawanya yang cekikikan seperti bisa cepat menghilangkan ingatan jangka pendek traumatis.

“Anda berdua, jawab. Di antara Anda siapa  yang membunuh Mozé?”

Adam mengarahkan pandangannya dengan cermat pada beberapa bagian terkecil yang sengaja ia tunggu bereaksi. Dan kedua perempuan itu terkejut nyaris bersamaan. Adam merasakan sesuatu dan langsung tahu. Seseorang di antara mereka menunjukkan respon yang berbeda.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun