Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teka-teki Alika (10-habis)

7 September 2012   15:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:47 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya ayah itu mengaku.

Tapi ada hal besar yang melatarbelakangi semuanya.

(Sebelumnya ....)

Adam membalik badan kepada Rustam. Kepala rumah tangga itu berkali-kali berusaha mengangkat lengannya dan menggerakkan bibirnya, tapi beberapa kali juga katanya harus ia ulang. Mengatakan kebenaran memang sulit, apalagi di saat-saat terakhir. Tapi dia mengatakannya begitu saja.

“Memang saya yang membawa Alika pergi dari rumah.”

Tiba-tiba terdengar kaca pecah dari belakang. Di lantai atas itu, sebuah kursi sudah tergeletak membentur pagar balkon. Berhenti setelah terseret di atas ubin lantai. Lies lalu keluar dari kamar itu dengan gontai, berusaha menyeimbangkan tubuhnya.

Rustam melangkah cepat menolong istrinya tapi tangannya justru ditepis.

“Ayah macam apa kau!” bentak Lies.

Dari bawah kemudian yang lain  berangsur mendekat tapi Adam meminta mereka jaga jarak, dan menyimak apa yang terjadi antara suami-istri itu.

“Kau yang menculik Alika, dan selama ini kita berdua berpura-pura sedang merindukannya? Kau ini mau apa sebenarnya heh? Rustam, jawab!”

Rustam menggeleng, berusaha menyentuhkan tangannya ke badan Lies yang sudah menjauh menuruni tangga. Kemudian suami itu berteriak membuat Lies menghentikan kakinya di anak tangga kesembilan.

“Kau sudah tahu sejak awal Alika bukan anak kita. Kenapa tidak kau beritahu dia?”

Lies menunduk. Sementara di lantai bawah itu Alika menengadahkan kepalanya, memanggil “mama” tapi urung mendekat. Lies yang telah mengedarkan pandangannya ke hampir semua orang di ruang itu lantas terkekeh.

“Aku mengakui semua itu, sayang. Kita bukan orang tua Alika tapi aku mencintainya seperti anakku sendiri. Lalu kau? Kau culik untuk kau serahkan kepada anak muda ini? Sekarang, Hamdan. Kau menjanjikan apa kepada suamiku jika mengembalikan Alika padamu dan membatalkan kontrak adopsi yang dulu kami tanda tangani itu?”

Hamdan tak bisa menjawab karena Lies kembali menguasai ruangan itu. Ia berjalan mendekati Alika, memeluknya kemudian berusaha menggendong anak itu.

Alika menolak. Ia seperti bingung tapi menunggu jawaban yang mungkin diinginkan oleh hatinya.

“Alika …,” seru Lies keheranan. Berkali-kali ia mendekat untuk sekadar menyentuh anak itu, Alika tetap menggeleng dan menjauh. Ia menarik kedua tangannya ke belakang pinggang sampai terus berjalan mundur mendekati Hamdan. Lies baru berhenti dan bangkit menegakkan badannya setelah menatap mata Hamdan itu.

“Oh, jadi begini jadinya. Hamdan, kalau memang benar kau kakaknya, kakak kandungnya Alika, kita butuh buktikan secara medis.”

“Saya siap,” jawab Hamdan gesit, membuat kata-kata Lies terhenti sejenak.

“Wah, sepertinya memang benar adanya. Sudahlah, kalaupun benar. Relakah kau membiarkan Adikmu terpisah dari orang tuanya? Sendirian tanpa jaminan kelanjutan hidup yang lebih baik? Kau bisa apa untuk merawatnya?”

“Bu Lies,” balas Hamdan menggeleng. Ia melangkah, merogoh tasnya kemudian mengeluarkan secarik kertas dari dalam sana. “Ini adalah bukti pembayaran. Dan setengah dari pelunasannya sudah terbayar kepada suami Anda. Dunia memang kejam, karena aku harus membeli adikku sendiri dari rumah yang membesarkannya. Kukira uang sebesar tujuh puluh juta tidak terlalu mengecewakan, bukan. Pak Rustam?”

Lies mengerutkan keningnya lalu membalik badan ke lantai tas melihat suaminya yang berlutut ke lantai. “Rustam!”

Kapten Agung mulai mengeluarkan isyarat yang membuat dua anak buahnya bergerak menyergap Rustam, tapi kemudian terdengar dehaman keras yang menghentikan mereka.

“Tunggu sebentar, bapak ibu.” Adam menarik perhatian. “Sebelum Anda mengadili, aduh, saya kira ini masalah keluarga saja, Pak Agung, tidak perlu dimejahijaukan, kecuali Anda ingin memperpanjang kesedihan Alika.” Kalimat itu membuat orang-orang saling pandang kemudian tertunduk.

Adam berjalan pelan ke arah Alika lalu bertanya lagi. “Alika, kau pernah melihat kertas ini?”

Teka-teki “temukan kata” dan beberapa petunjuk yang mendasarinya. Kertas itu nampak sangat besar di mata Alika, sampai-sampai ia harus menggerak-gerakkan badannya agar bisa meyakinkan diri tentang apa yang dilihatnya

Mata Alika  berbinar. Suaranya ceria dan jawabannya sangat bersahabat. “Iya Alika tahu! Itu kertas teka-teki pemberian Kak Isma. Kakak kelas Alika! Dapat dari mana, Om?”

“Pemberian?”

“Ya, Om. Kak Isma, anaknya Ibu BK, memberikan kertas itu, katanya mau mengajarkan Alika matematika. Karena selama ini nilai Alika …”

Lies menunduk malu, begitu pula Rustam. Mendengar pengakuan kelemahan dari anak kecilnya sendiri bukanlah sesuatu yang bisa mengangkat wajah sampai mata terlihat orang-orang.

Adam mencegah anak itu melanjutkan kalimatnya. “Terima kasih, Alika. Kau anak cerdas, dan Om percaya teka-teki akan sangat berguna untuk pembelajaran matematika Alika nanti, bareng Kak Isma.” Adam mengakhiri wawancara kecilnya itu dengan mengusap kepala Alika. Anak itu mengangguk dan tangannya mengepal.

“Nah, sekarang saya kira semua pertanyaan sudah terjawab. Uraiannya kira-kira sebagai berikut.”

Adam bangkit lalu mulai menepukkan tangannya satu kali sehingga perhatian mereka terkumpul di tengah ruangan itu. Eno sudah memasukkan kembali pistolnya dan baik Kapten Agung dan dua anak buahnya nampak lebih rileks meski tangan mereka tetap siaga.

“Malam itu, Rustam masuk ke kamar Alika melewati balkon lantai dua dan jendela kamar dekat jalan. Jejak sepatu yang ada di bingkai jendela dan tanah di bawah tangga lingkar itu tentu saja milik Anda, Pak Rustam?”

Tuan rumah itu tak menjawab.

“Saya kira demikian. Tapi yang belakangan baru bisa kita simpulkan adalah, bahwa malam itu Anda tidak melakukan ini sendirian. Begitu berhasil membujuk Alika untuk keluar, entahlah mungkin dengan iming-iming ajakan main ataukah benar-benar menodongkan pistol yang Anda tarik dari atas meja itu, yang, sangat kejam jika benar Anda lakukan, Anda turun ke jalan, melewati halaman rumah Anda sendiri, kemudian masuk ke mobil dan pergi. Mobil yang digunakan malam itu adalah, mobil Hamdan saya kira? Karena menurut pengakuan Tikno pada suaru sore beberapa hari lalu, ketika saya tanyakan, tidak ada mobil dari rumah ini yang keluar pada jam itu. Pun, tidak ada taksi ataupun kendaraan umum lain yang berhenti secara mencurigakan. Pikir saya, Hamdan memarkir mobilnya di seberang jalan dan Anda mengajak Alika berjalan-jalan sebentar sampai berbelok melewati warung angkringan yang di depan itu. Ya, saya sudah tanyakan dan pedagangnya membenarkan melihat Anda. Tentu mereka tidak menyangka Alika diculik karena ia bersama orang yang dikenal sebagai ayahnya. Setelah berbelok ke gang lain, barulah Anda membawa Alika ke mobil dan menyepakati transaksi dengan Hamdan. Tujuh puluh juta? Wah sebegitu kecilnya Anda menghargai putri cantik ini.”

Lies sudah melipat kedua lengannya di depan dada, sementara Eno menatap tajam ke arah Rustam yang terduduk melipat lengannya di puncak lutut yang tertekuk. Keningnya merapat ke lengannya yang lalu  basah karena keringat.

“Entah mengapa,” Adam melanjutkan. “Terjadi sesuatu dengan transaksi ini, sampai akhirnya Hamdan memutuskan untuk mengambil paksa Alika dari rumah ini. Anda menjanjikan membawakan ALika di suatu temat, bukan? Di kantor polisi, kalau saya tidak salah terka?”

Kapten Agung terperanjat. “Apa maksudnya?”

“Seminggu lebih yang lalu, kapten,” jawab Adam langsung. “Saya sedang berusaha membuat SIM tetapi gagal karena manajemen pelayanannya buruk. Hari yang sama ketika saya mendengar laporan melalui bawahan Anda yang berbakit ini, Iptu Eno, bahwa seseorang melaporkan kehilangan Anaknya. Dua hari kemudian, informasi mengejutkan terdengar oleh saya karena ternyata sang ayah mencabut laporannya itu tanpa alasan jelas. Coba jelaskan, Pak Rustam. Apa sebenarnya hanya berpura-pura membuat laporan itu? Untuk mengalihkan perhatian polisi dari aksi yang sebenarnya Anda lakukan yakni menyembunyikan putri Anda sendiri? Untuk apa mencabut laporan itu?”

“Anda melihat Hamdan di sana!” Eno mengejutkan semuanya karena tiba-tiba berteriak. Rustam tak menampik jawaban itu dan hanya mengangguk. Sementara Hamdan menunduk tak bisa mengelak. Satu-satunya keterkejutan pemuda itu adalah ia baru tahu kalau Rustam begitu menyiapkan semuanya secara matang, bahkan mengalihkan perhatian polisi.

“Tentu saja Anda tidak ingin transaksi Anda ini batal,” Adam lanjut dengan hipotesisnya. “Kalau Hamdan tahu Anda melapor ke polisi, kalian  berdua bisa kena masalah besar. Sebenarnya, menurut saya, kalian berdua sama cerobohnya. Sama berpikir paling bisa, tapi  nyatanya membuat risiko satu sama lain. Hamdan ada di kantor polisi itu dan mengikuti saya dengan mobilnya, setelah mendengar percakapan saya dengan Eno yang menyebut-nyebut nama Anda. Tapi yang sungguh tidak saya sangka adalah, pengejaran mobil di jalan tadi ternyata dilakukan oleh Anda, Pak Rustam. Anda mengejar, lebih tepatnya menggirin kami, untuk memastikan bahwa saya dan Eno tidak menyadari kehadiran Hamdan di sisi lain jalan. Anda, sengaja menggiring kami kemari agar kami bisa menjadi saksi atas rencana-rencana Hamdan yang sudah Anda antisipasi sejak awal. Tentunya, untuk melindungi Nyonya Lies. Tapi itu semua jadi tidak berarti, bukan? Karena ternyata Anda berdua sama mengancamnya.”

Lies mulai menggeleng dan nyaris lemas pada kedua kakinya.

“Alika ada di mobil itu sejak tadi,” kata Adam lagi. “Di mobil yang mengikuti kami. Tapi setelah memastikan kami tiba di rumah ini, Anda menjauh dan membiarkan Hamdan masuk ke rumah ini seakan-akan terjadi penyerangan, dan membiarkan Hamdan membawa Alika pergi. Tapi, keadaan jadi lebih rumit, karena Hamdan terlanjur terburu-buru dan mengetahui posisinya tidak baik. Ia mengamankan Nyonya Lies juga semata-mata untuk mencegah Pak Rustam melukai istrinya demi uang, yang, sebenarnya tidak ada? Bukan begitu Hamdan?”

“Apa? Uangnya ada kok … Benar saya mau bayar ke Pak Rustam …”

Adam buru-buru mengangkat telapa tangannya. “Tunggu dulu. Kau sekolah hukum, dan pasti tahu sejak awal melalui surat adopsi itu, surat ini,” Adam mengangkat salinan surat adopsi yang tadi dibawa pemuda itu. “… bahwa surat adopsi tidak bisa dibatalkan begitu saja kecuali melalui proses perdata dan saksi-saksi. Kau sudah tahu ini sejak awal, dan membiarkan Rustam percaya begitu saja bahwa ia bisa mendapatkan uang tujuhpuluh juta dengan membatalkan fungsi surat adopsi. Itu proses yang panjang, dan sudah akan terbongkar duluan bahkan sebelum kalian berpikir membayar seorang saksi. Uang itu hanya iming-iming. Dan cek yang kau tuliskan untuk Rustam itu hanyalah cek kosong.”

Pemuda itu tertunduk.

Terali-terali kayu di tangga berguguran karena Rustam memukulnya begitu keras. Ayah itu mengamuk kepada dirinya sendiri, berteriak-teriak dan menangis seperti bayi. Alika yang menatapnya menjadi ketakutan dan bersembunyi di balik kaki Eno.

Lies masih coba menenangkan tapi anak itu terus menjauh dan menggeleng. Eno mengangguk simpati kepada Lies dan meminta waktu.

Akhirnya kapten Agung membawa Rustam bersama dua anak buahnya. Sementara Hamdan terduduk di lantai dengan kertas tergeletak di lantai. Ia menyerahkan dirinya kepada polisi tapi meminta waktu beberapa menit untuk berbicara.

“Ini tidak lebih jelas daripada saat aku memikirkannya di awal,” katanya dengan pandangan kosong.

Adam dan Eno yang kembali bergabung setelah mengantarkan Rustam keluar, hanya bisa menatap diam pemuda itu.

“Apa benar Alika adikmu?” tanya Adam begitu lurus dengan suara rendah.

Hamdan mengangkat wajahnya. Pandangannya nanar tapi suaranya tak keluar. Ia lalu kembali tertunduk dan memenuhi pikirannya dengan pikiran-pikiran yang membingungkan. Ia tentu saja ingin adiknya kembali ke pelukannya, tapi ia tak sadari cara yang ia tempuh terlalu jauh dan sama sekali tidak menemui sasaran. Rustam bukan orang yang mudah diakali. Bukan karena ia terlalu pintar, tapi sebaliknya. Tindakan ceroboh ayah itu terlalu dibutakan oleh uang yang ia sendiri tidak yakin apakah benar ada.

Tapi apa yang terjadi berikutnya sungguh mengejutkan.

Alika, anak teka-teki itu, menjatuhkan bonekanya di lantai, kemudian melangkah dan mendekat. Anak itu tak bersuara, tak juga tersenyum. Hanya memandangi lurus-lurus Hamdan. Menjatuhkan badannya hingga berlutut, kemudian memeluk leher pemuda itu sampai pipinya menempel di rambut kering yang keriting itu.

Hamdan menangis. Lies ikut terisak.

Kedua anak itu nampaknya benar-benar adalah kakak-adik. Kalaupun semua ini tidak seperti yang dipikirkan, Adam tak menampik pikirannya bahwa Alika masih punya kehidupan di masa depan. Entah ia akan dibesarkan oleh kakaknya yang menjalani masa-masa sulit pada hari-hari berikutnya, ataukah tetap tinggal di rumah yang membesarkannya dengan cinta yang dibalut rahasia hidup.

***

Senja terlukis sempurna.

Adam meneguk kola dinginnya ketika berjalan gontai menyusuri kawasan pedestrian di Malioboro. Pikirannya terasa segar dengan pengaruh soda yang terasa hingga kepala. Ia melihat anak-anak kecil dituntun oleh orang tuanya. Balon-balon melayang di udara dan tertahan benang yang tergenggam di tangan-tangan kecil itu.

Alika tak pernah mengetahui hal yang menimpanya, mungkin. Adam masih memikirkan kasus itu. Tapi satu hal yang pasti, bahwa anak itu lebih memercayai perasaannya daripada apa yang dilihat matanya. Persoalan-persoalan berat dan pelik yang sering disandiwarakan orang-orang dewasa pada prinsipnya tak pernah benar-benar diabaikan oleh batin anak-anak. Dan bagi Adam, Alika adalah anak yang tumbuh dengan cinta. Cinta sama bahkan jika berasal dari orang-orang yang bertentangan.

Adamt tersenyum ketika membuka kembali layar telepon genggamnya. Kiriman dari Eno.

Kalimat jawaban itu begitu singkat, tapi membuat batinnya cukup puas. Kasus dua minggu lalu akhirnya mulai disidangkan, meski hanya disodorkan pasal-pasal perbuatan tidak menyenangkan, dan selebihnya diselesaikan secara kekeluargaan.

Sebuah foto keluarga. Tertanggal kemarin. Dan Alika nampak jauh lebih dewasa dengan senyumannya. Mungkin karena Lies memeluknya begitu erat dari belakang.

Tapi yang paling menarik dari foto di layar telepon itu adalah, lembar teka-teki yang dibuka lebar-lebar oleh anak cantik itu.

Teka-teki Alika, yang sebenarnya tertulis indah tidak di atas secarik kertas.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun