Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kata Sandi MOZÉ (4)

14 September 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:28 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13472460021402784219

Penelepon itu tak mau menyebut nama.

Anonim. Dan Adam mulai merasa semuanya menjadi semakin berbahaya.

(Sebelumnya ....)

Jam tiga lebih empat puluh menit membawa kehidupan beranjak bangun lagi. Di jalan-jalan daerah utara, para pedagang Gudeg sebagian terkantuk menanti pelanggan dan sebagian di blok lain terlanjur sibuk karena orang-orang lebih suka makan sambil melihat diamnya gedung-gedung perbelanjaan. Anjing-anjing liar menyeberang jalan membuat tikus-tikus kembali ke lubang got. Cahaya lampu mengoranye dan diam dibalut kabut yang beringsut mengikuti udara yang menghangat di atas tapi dingin di permukaan. Jendela itu basah, dan pintu di dekatnya tidak tertutup sempurna.

Adam menggerak-gerakkan badannya membuat kursi yang didudukinya berderit-derit. Jam berdetak dan tak mau berhenti. Ia hanya menggenggam ponsel, menanti panggilan atau pesan balasan, tapi tetap nihil. Panggilan aneh yang diterimanya hampir tiga jam yang lalu membuka pikirannya lagi soal kisut kasus yang ia rasa semakin membingungkan. Di meja, berkas-berkas kasus hilangnya komputer lipat pengusaha tepung itu sudah tak tersentuh. Dua gelas cangkir kopi menindihnya, meninggalkan bekas tetasan kecoklatan.

Pikiran Adam meraba-raba suara penelepon misterius. Seorang perempuan matang dengan nada keyakinan yang cukup untuk membuatnya menerka bahwa orang itu tidak sedang main-main. Ia sudah sering mendapat panggilan teror, informasi iseng, bahkan ibu muda yang merayu. Tapi panggilan ini benar-benar beda, karena membuatnya menarik diri dari kekisruhan kasus yang dihadapi untuk sejenak menyentuh masa lalu. Saat akhirnya ia terhentak mengingat sesuatu, ia melihat layar ponselnya sekali lagi. Nomor penelepon 081229 menandakan kartu selular yang digunakan setidak-tidaknya dibeli di Jawa. Ia melompat dari kursi dan langsung menuju lemari kayu yang tegak di sudut dekat dapur. Ia mengambil dan melihat begitu saja kertas-kertas dan beberapa foto yang adalah hasil kasus yang telah dipecahkan. Kemudian lemari itu tertutup lagi. Ia pindah ke dinding kasus yang sedang ditangani, menghadap ke bidang gabus yang tertempeli puluhan kertas kecil seukuran setengah telapak tangan dengan pin-pin paku menahannya. Di barisan kanan adalah kasus terbaru, berturut-turut ke tepian kiri. Ada beberapa foto anak kecil dan orang tua beruban di kiri bawah, lalu ada beberapa garis lengkung menyerupai kurva, jika tidak mau ia anggap jaring laba-laba, menghubungkan satu foto dengan foto lain, satu kertas dengan kertas lain. Ia perhatikan seksama tulisan-tulisan di sana, cahaya redup kamar tidak begitu bersahabat tapi ia masih bisa mengerti tulisan tangannya sendiri. Masih nihil.

Adam kembali melempar punggung ke kursi. Sampai kayu itu terdorong ke belakang. Bunyinya berderit, membuatnya memicingkan mata. Ia perhatikan ujung kursi yang meninggalkan bekas di lantai ubin semen. Kemudian ia melihat layar ponselnya lagi bergantian, lalu kembali melompat dan membuka berkas-berkas di lemari. Hingga akhirnya, ia menemukan sebuah berkas kasus.

Kasus ketiga. Arza Basyahril. Ia membaca tulisan besar di tepi atas kertas itu. Bertulis tinta merah dari spidol tebal hingga beberapa titik tintanya menembus ke belakang. Kasus ini sudah ia pecahkan sekitar tujuh bulan lalu, ia ingat malam ketika berjibaku dengan asap dan cahaya berkilau di dalam ruangan sempit di Surabaya itu.

Ia memeriksa berkas lain dan mulai menemukan lipatan-lipatan kecil berwarna kuning. Ia kembali ke tengah ruangan dan menggeser meja hingga persis berada di bawah lampu tengah yang dikerubuti laron. Beberapa kali ia harus bolak balik membawa kertas-kertas itu ke depan komputer kemudian kembali ke meja. Bahkan data di penyimpanan digitalnya pun tak bisa memberitahu lebih banyak. Hanya ada sebuah gambar siluet berbentuk sosok tinggi langsing, berjubah hitam dan bertopi bundar bak pemburu, tak nampak wajah apalagi petunjuk suara.

Gerimis terdengar dari luar hanya beberapa detik kemudian hening lagi. Adam meneguk habis kopinya.

“Arza … Arza … Arza Basyahril.” Adam  mulai bergumam sendiri. Tangannya sibuk menyusun kertas itu, mencoba menerka apa yang sebetulnya ia cari, yang ia butuhkan. Saat terhentak di kursi beberapa menit lalu, ia teringat sebuah nama yang muncul dari kejadian aneh pada kasus ketiga itu. Beberapa pesan pendek yang datang melalui kertas-kertas kecil berwarna kuning, sejak ia masih berada di dalam bus menuju Surabaya. Kemudian ia akhirnya ingat lagi, telah masuk sebuah pesan dari pengirim asing siang itu, ketika berhasil memecahkan kasus menghilangnya seseorang yang dikenal sebagai Arza Basyahril, calon pengantin yang sebetulnya tidak pernah ada. Setelah beberapa kali berusaha mengembalikan fokusnya, akhirnya tangannya tiba pada selembar kertas kecil berwarna merah muda pudar, nyaris putih. Di tengah kertas itu tertulis sederet nomor telepon, dan isi pesan singkat.

Sebuah nama pengirim yang sengaja ia tulis sebagai berkas kasus.

Lady Eve.

“Alias Lady Papyrus. Alias …” Adam berbisik kemudian mengangkat kertas itu mendekati matanya. Ia kemudian mengangkat ponsel dan mencocokkan dua deret nomor yang muncul di dua bidang berbeda.

Tapi tak ada kesamaan dua nomor itu kecuali tiga angka depannya. 081. Adam melempar kertas begitu saja kemudian bersandar, memijat keningnya dan membiarkan kakinya lurus menyerah pada gravitasi. Ponsel itu setengah dilempar ke lantai. Layarnya masih berpendar dengan nomor ponsel yang baru itu. Alat itu hanya menyentuh lantai selama sepuluh detik karena kemudian Adam menyambarnya kembali.

Nomor tersimpan, dengan nama baru. EVE.

Ramat meliuk-liuk di atas sana. Beberapa laron yang tadi masih berkeliling di sekitar cahaya lampu kini malah terperangkap jaring laba-laba dan berusaha kabur dari maut yang datang perlahan. Adam menghela napas dan hanya menatap langit-langit kamarnya, berusaha menutup mata. Entah bagaimana ia harus beristirahat, pikirnya. Tapi untuk sejenak ia tersenyum melihat rekannya justru tertidur pulas di lantai sudut dekat meja komputer. Polisi muda itu tidur seperi anak bayi, mengigit jempol dan kakinya menekuk menghadap samping.

Pagi datang terlalu cepat.

Adam terhentak bangun karena mendengar pintunya digedor begitu keras. Terlalu keras, bahkan jendela nako jendela sampai bergetar. Panggilan beberapa kali dari luar itu jelas terdengar ketakutan. Eno  yang ikut terbangun langsung berdiri dalam posisi kuda-kuda dan dua tangannya mengarah ke depan dengan jari-jari merapat, persis gaya pesilat yang menguasai jurus baru. Adam memberi isyarat tangan bahwa tidak apa-apa. Pintu terbuka, dan anak itu langsung masuk memeluk pamannya.

Di luar pintu kini berdiri perempuan tua. Badannya sulit bergerak karena kegemukan, dan hanya bertahan dengan papahan tongkat berjalan yang di ujung bawahnya berbentuk empat jari menapak tanah. Eno membantu nenek itu masuk dan mendudukkannya di kursi santai. Sementara Adam membungkuk menanyakan ada apa.

“Om, tolong saya om. Ada orang menelepon saya dan … dan …”

Adam terperanjat dengan pengakuan itu. “Apa! Siapa?”

Mila menggeleng keras. Jelas ia panik, kepalanya hanya menggeleng keras dan pelukannya tak mau lepas. “Aku tidak tahu, om. Suaranya perempuan.”

Untuk sesaat itu Adam langsung tahu ini ada kaitannya dengan penelepon semalam. Kesadarannya kemudian naik sampai ke kepala dan menyimpulkan dengan tegas bahwa penelepon semalam itu jelas punya maksud tertentu.

“Mila. Mila. Tenang dulu. Duduk. Eno, tolong air minumnya.”

Setelah remaja itu duduk dan bisa bernapas lebih tenang, Adam mulai tersenyum. Air di meja tinggal setengah, dan nenek yang mengantarkan remaja itu nampak tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sepertinya sang nenek hanya diseret oleh cucunya untuk menemani. Untung saja sopir setia mereka masih ada di rumah, dan saat ini sedang berdiri siaga dengan kacamata hitamnya di ujung gang luar.

“Coba ceritakan.”

Mila menatap mata Adam penuh pengharapan. Pupilnya bergerak-gerak dan jarang berkedip. Ketakutan telah menguasainya, tangannya masih bertaut dan tak mau diturunkan ke samping sebagaimana posisi orang santai dan terbuka. Setelah menunggu beberapa jenak, anak itu bicara.

“Iya, perempuan, mirip suara mama. Tapi lebih berat,” Mila mulai mengisahkan. “Dia bilang akan membunuh om, kalau …”

“Kalau apa?” tanya Adam. Eno menghentikan gerakan tangannya menggosok piring di dapur sudut. Busa mengalir ke lubang.

“Kalau …” Mila kembali megap-megap. Tangannya saling memijat. “Dia bilang mau membunuh om Adam, kalau Mila tidak mau mengaku sebagai pelaku …”

“Stop!” Adam lalu mengangkat telapak tangannya, membuat Mila terkejut. Anak itu melototkan matanya singkat tapi kemudian menunduk. Ia tak bisa bicara lebih panjang lagi karena Adam sudah bangkit dan berjalan cepat menggamat tangan Eno.

“Ini serius. Hubungi reskrim polda, sekarang.”

“Tapi …” Eno berusaha menimpali. Ia sendiri bingung apa yang sebenarnya terjadi.

“Sudah  hubungi saja. Bilang, seorang penculik yang residivis kasus Surabaya, kini ada di Jogja, dan kemungkinan ia berada di balik kasus pembunuhan berantai yang melibatkan perusahaan EXCO tiga bulan lalu di Sleman. Kalau Polda menolak, bilang saja bahwa reputasi kepolisian dipertaruhkan karena mereka hanya memburu seorang perempuan.”

Eno mengangguk cepat. Polisi muda itu lantas bersiap-siap dan langsung berangkat membawa mobil Starletnya.

Setengah jam berlalu dan Adam hanya mondar-mandir di tengah ruangan. Nenek Mila mulai mengantuk dan meminta izin pulang untuk meminum obat paginya. Adam menyilakan.

“Mila, sekarang sudah setengah delapan. Tidak ke sekolah?”

“Iya, ini mau ke sekolah.”

“Ya sudah. Berangkat saja. Tapi hati-hati. Biar om bicara dengan Pak Seto biar dia menjaga Mila sampai pulang sekolah. Nenek biar diantarkan ke rumah oleh taksi. Adam lalu menoleh ke arah nenek yang lalu mengangguk tidak keberatan. “Yang penting saya minum obat.”

Mobil berangkat, dan Adam mengangguk di pintu. Ia menapak dua pinggangnya ketika matahari mulai menghangat. Dengan singkat kemudian berkas-berkas di ruangan itu ia rapikan kembali ke dalam lemari, menandai beberapa dan memasangnya di dinding, dan menyabet ponsel ke dalam saku celananya. Setelah mandi dan sarapan singkat, ia memanaskan mesin motornya.

Kemudian ponsel itu berdering lagi.

“Halo, jagoan. Tidurmu nyenyak?”

“Halo! Apa maumu? Jangan melibatkan anak kecil dalam masalah kita!”

Suara di seberang itu tertawa ringan. Suaranya terdengar menakutkan justru karena nadanya yang rendah dan kalimatnya yang seperti diucapkan tanpa harus membuka mulut lebar-lebar.

“Mila hanya bagian kecil, Adam. Kau tak perlu mencemaskannya. Aku menelepon gadis kecil itu semata-mata untuk menyemangatimu memecahkan kasus kematian Mozé. Tidakkah kau senang, merasa aku sedang memudahkan langkahmu? Detektif naik daun?”

“Jangan bercanda. Katakan saja apa maumu.”

“Sederhana saja. Kau pecahkan kasus kematian ini, selamatkan keponakanmu, dan tangkap pembunuhnya. Itu akan jadi berita sangat indah kalau kau bisa menyelesaikan keduanya. Tapi kalau tidak …”

Adam menyimak geram. Tangannya menggenggam ponsel itu dengan sangat kuat sampai ujung jarinya memerah.

“Kau tahu polisi tak bisa diandalkan untuk kasus yang menuntut kecepatan berpikir seperti ini. Aku akan sangat terhibur kalau kau bisa menyelesaikan ini dalam waktu dua hari, Adam. Empatpuluh jam dari sekarang. Temukan pembunuh Mozé, temukan aku, dan mungkin kau bisa menyelamatkan Mila dari kecelakaan yang mengerikan.”

Adam mendengar bunyi gemerisik dari seberang sana, kemudian sigap membalas. “Tunggu … jangan tutup dulu!”

Terdengar keheningan yang menunggu.

“Kau, EVE, bukan?” Adam menebak dengan pelan. Matanya tajam dan pikirannya terfokus seketika.

Tapi suara di seberang sana lagi-lagi hanya tertawa rendah sampai akhirnya bunyi panggilan putus sudah terdengar. Adam menarik ponselnya lebih rendah dan menatap jalan di depannya. Teka-teki tentang siapa penelepon itu kini bisa ia pastikan. Anonim, tanpa nama. Tapi Adam memberikannya hadiah panggilan yang menyimpan anomali. EVE. Pasangan dari Adam dalam sejarah terbesar peradaban manusia.

Sepeda motor itu melaju tanpa menunggu siapa-siapa.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun