Kemunculan tiba-tiba pemuda bernama Hamdan lalu menyingkap tabir baru.
Lantas ada apa dengan Lies, ibu dari anak itu?
Adam kebingungan karena kejadian terjadi begitu runtun dan tiba-tiba. Eno mulai was-was dan mengantisipasi kejutan apa lagi yang akan datang ke rumah itu. Sementara saat Tikno baru saja meletakkan selang dan mengintip lewat pintu samping dekat taman, pintu utama rumah itu sudah kembali menarik perhatian karena yang ditunggu-tunggu ternyata muncul.
“Neng Alika!” seru Tikno terperanjat. Tapi kakinya lemas tak bergerak ketika melihat siapa yang berjalan masuk di belakang anak itu.
Alika kini berdiri di dekat pintunya, menghadap ke dalam dengan sorot mata yang sayu. Tangannya bersedekap ke dada memeluk sebuah benda empuk yang nampaknya adalah bantal jok mobil. Anak itu nampak kelelehan tapi baik-baik saja. Rambutnya tersisir rapi dan lurus sampai tengah punggung. Sebaris poni terbentuk menutupi keningnya, melengkapi kesan manis di bagian kepalanya tempat bando berwarna kuning gading terikat sampai ke ujung telinga. Pipinya bulat dan dagunya lancip berisi. Badannya dibalut terusan tanpa lengan bermotif polkadot putih di atas merah. Kakinya lurus dan rapat dengan sepatu kets hitam yang berdebu. Anak itu diam saja, karena sudah merasakan kedua pundaknya ditahan rapat oleh sebuah telapak tangan besar yang sangat ia kenal.
Adam menegakkan badan dan waspada. Eno menyembunyikan kakinya di balik sofa ketika tangannya mulai gelisah. Mereka memandang sesaat sosok yang datang itu. Sementara itu, Hamdan langsung berjalan mendekat dengan cepat ke arah Alika.
“Kau!” Hamdan baru saja ingin melayangkan tinjunya ketika tiba-tiba tangannya ditahan oleh Adam.
“Tahan dirimu,” seru Adam ketika melihat kemarahan yang begitu terpancar dari kedua mata pemuda itu. Ia lalu mengajak semuanya duduk, namun tak satupun menyetujui saran itu.
“Lebih baik cepat diselesaikan semua ini, Pak Adam,” seru orang yang membawa Alika yang tak lain adalah Rustam sendiri.
Lelaki bertubuh besar yang mengundang Adam dan Eno ke rumahnya itu kini nampak berbeda. Tak banyak kehangatan yang terpancar dari baik perilaku ataupun raut muka Rustam. Tangannya waspada dan terkesan sangat menjaga Alika agar tidak menjauh darinya. Kata-katanya mulai tidak tenang dan napasnya mulai tidak teratur. Setelah gertakan yang nyaris berakhir pukulan oleh Hamdan barusan, ia mulai tenang dan perlahan-lahan menjelaskan situasinya.
“Maafkan saya, Pak Adam, karena telah membuat Anda kebingungan dengan semua kejutan ini,” kata Rustam memulai. Hamdan yang kini dipegang oleh Eno hanya menatap tajam dan sesekali mengumpat. Rustam kembali menjelaskan perihal kedatangannya yang masih mengenakan baju kerja itu.
“Mungkin kalian belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa Alika bisa ada di sini.”
Adam berbalik badan kemudian duduk di sofa. “Aduh maaf, Pak Rustam. Tapi kejutan-kejutan ini justru menegaskan dugaan saya sejak awal. Semuanya sudah saya mengerti sekarang. Dan seperti yang saya duga, jelas ada yang salah dengan Anda, dan juga anak Anda. Atau, bisa saja dengan istri Anda.”
Kalimat itu membuat Rustam terkejut. “Tapi, bagaimana bisa …”
Eno sudah kembali bangkit dan menghela napas. “Pak Rustam, Jika Anda mencari istri Anda, tanyakan saja kepada anak ini. Dia yang menyekapnya di lantai atas, di kamar tidur Anda.”
“Kurang ajar!” giliran Rustam yang naik pitam, tapi ia tak berani mendekat, dan tetap mengembalikan tangannya ke pundak Alika.
Adam yang mulai menguasai suasana kemudian berjalan mendekat dan berjongkok di depan anak kecil itu. Alika balas menatap mata Adam yang menunjukkan sikap ramah dengan senyuman.
“Alika baik-baik saja?” tanya Adam.
Anak itu mengangguk, menengadahkan wajahnya melihat ke arah ayahnya, lalu mengangguk lagi. “Baik, om,” jawabnya pada akhirnya. Adam memerhatikan penampilan anak itu sekali lagi dengan seksama kemudian bangkit dan menatap mata Rustam dengan tajam sebelum meneguk minuman di meja.
“Pak Rustam mau jadi ayah yang baik?” tanya Adam kembali mendekat.
“Tentu saja. Tapi ini bukan persoalan …”
“Ya saya tahu. Saya tahu pada akhirnya, bahwa tidak semua ayah, termasuk Anda, bisa jadi orang tua yang baik. Apa Anda setuju itu?”
Rustam tertunduk. Kata-katanya mulai terbata. “Ya, saya akui itu, Pak Adam. Sebagai ayah saya …”
“Apanya yang ayah? Kau bukan ayahnya Alika! Dasar pendusta!” tiba-tiba Hamdan berseru kencang yang membuat Eno kewalahan menehannya. Tikno yang sebelumnya hanya mendengar dari balik pintu samping kini lalu berlari mendekat dan berdiri di sisi majikannya, tanpa tahu jelas ia akan bagaimana menghadai kemelut pendapat ini. Di pinggir jalan beberapa tetangga dan pengendara mulai berkerumun dan bertanya dalam hati apa gerangan yang terjadi. Mobil ringsek itu masih terparkir di luar.
Polisi mendekat, terdengar dari bunyi sirene yang bunyinya naik dan beberapa mobil berhenti. Kemudian terdengar seruan melalui pengeras suara kecil khas kepolisian lalu lintas, meminta orang-orang menjauh ketika beberapa polisi sudah melintangkan kendaraannya di tengah jalan dan menghalau lalu lintas menjauh dari mobil rusak itu. Dua personel berkaca mata hitam dengan helm masih bertengger di kepala mereka lalu masuk ke rumah dan mencari seseorang.
“Bapak Rustam, yang mana?”
Rustam angkat tangan. Kedua polisi itu pun lalu mendekat dan memapah dua lengan tuan rumah itu. Rustam memberontak tapi tak kuasa. Ia memprotes dan menanyakan alasan penangkapannya.
“Anda diduga sebagai pelaku perusakan mobil di depan, beberapa menit yang lalu. Apakah Anda bisa bekerja sama, Pak Rustam? Nanti kita bicarakan di …”
“Sebentar …” pinta Adam kepada kedua polisi itu. Ia bermaksud menahan dulu agar polisi jangan langsung membawa Rustam, tapi kedua polisi itu bersikeras karena hal ini terkait pelaksanaan keamanan lingkungan. Saat Adam hampir menyerah, ia lalu melihat seorang ajun komisaris yang dikenalnya ikut bergabung di ruang tamu itu, nampak baru tiba dengan sedan berwarna gelap.
“Ada apa ini?” tanya polisi petinggi itu. “Oh, Pak Rustam! Teman baik saya. Apa yang terjadi. Eh, kalian. Lepaskan dulu. Jangan main tangkap saja. Ada apa ini?”
Kedua polisi itu kemudian menjelaskan alasannya, yang lalu ditanggapi dengan tawa oleh polisi gendut yang berkumis itu. “Aduh tidak apa-apa. Kecelakaan sering terjadi. Kau, pemuda. Sedang apa di sini? Bukannya minggu lalu sudah berbuat ulah di jalan Ahmad Yani?” kapolsek itu menunjuk tajam ke arah Hamdan yang menyembunyikan mukanya di balik pundak Eno. Tiba-tiba ketakutannya muncul dan semua kegarangannya tadi seperti menguap ke udara.
“Lo, Pak Agung,” tanya Adam kepada kapolsek itu. “Anda kenal dengan anak ini?”
“O, tentu saja, Pak Adam. Hamdan, suka demo bawa bendera HMI. Aktivis, katanya. Tapi sebenarnya provokator mungkin. Saya juga kurang tahu. Mau apa kau kemari, Nak?”
Hamdan tak berani menjawab. Tiba-tiba suasana berbalik. Rustam kini berdiri dengan tegap kembali, membiarkan dua polisi tetap siaga di sisinya penuh kebingungan karena aksi heroik mereka dicegak dengan tidak begitu menyenangkan oleh atasan yang datang tiba-tiba.
“Sebaiknya kalian tangkap Hamdan ini, Pak Agung. Dia menyekap istri saya di atas. Permisi,” kata Rustam yang lalu berjalan menggiring Alika naik ke tangga. Ia berusaha membuka pintu kamarnya, tapi nihil karena kuncinya masih tersimpan di saku celana Hamdan. Ia kemudian berjalan turun kembali, berbelok ke koridor menuju dapur dan menghilan beberapa saat sebelum kembali dengan sebuah kunci bergantung rantai kecil perak di tangannya. Ia naik kembali ke lantai dua, membuka pintu dengan kunci yang dibawanya, lalu menyambut Lies yang berjalan tegas menuju pintu.
Tapi apa yang diterimanya begitu mengejutkan. Sebuah tamparan yang menyakitkan di pipinya yang sontak panas dan memerah. Lies kecewa berat, dan tanpa kata ia turun tangga dan langsung memeluk Alika.
“Alika, adek tidak apa-apa? Alika diapakan oleh ayah?”
Alika melihat dari jauh Rustam yang berhenti di balkon lantai atas. Mata anak itu menyimpan kemarahan yang sangat bisa dirasakan siapapun yang melihatnya. Tapi apa alasannya, belum ada yang menjelaskan. Kapolsek itu sendiri bingung dan meminta Adam menjelaskan sesuatu.
“Sepertinya, Pak Agung,” komentar Agung begitu saja. “Anda tak perlu membawa masalah ini ke kantor polisi. Kecuali, kata-kata saya berikut ini terbukti dan diakui salah satu dari mereka. Atas tuduhan penculikan, keterangan palsu, atau paling tidak perbuatan tidak menyenangkan. Hanya satu pertanyaan yang perlu saya tanyakan. Dan kalau jawabannya seperti yang saya harapkan, maka silakan Anda bawa satu tersangka dari rumah ini. Maaf, kalau boleh …,”
Adam lalu berjalan mendekat kemudian berjongkok di depan Alika yang sudah melepaskan pelukan dari leher ibunya.
“Alika, kalau boleh om tanya. Siapa yang menjemput Alika dari kamar tiga malam yang lalu?”
Anak itu tersenyum. Adam juga balas tersenyum. Tapi Eno dan yang lainnya justru memasang wajah kebingungan. Jawaban Alika begitu menentukan, sampai dua orang di antara mereka berkeringat dan menunggu.
Alika mengangkat tangannya. Telunjuknya mengarah tepat, dan sama sekali tidak melenceng. Yang ditunjuknya juga tersenyum, tapi merasa kalah. Orang-orang mengalihkan perhatiannya seketika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H