Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teka-teki Alika (1)

21 Agustus 2012   15:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:29 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

YOGYAKARTA nampak murung karena awan yang menutupi langit beberapa saat menjelang siang. Udaranya lebih bersih dari biasanya, tapi itu hanya karena musim mudik sedang terjadi. Lebih dari setengah penduduk kota kembali ke daerah asalnya masing-masing setiap jelang lebaran Idul Fitri, meninggalkan jalan-jalan kota yang lebih lengang dari sepeda motor penyumbang polusi terbesar. Bus-bus kota masih menyembur asap pekat seperti biasa, jadi pada dasarnya udara tak pernah benar-benar sejuk.

Matahari menghilang di garis horison. Rona kemerahan tertinggal menyeka hitamnya langit pukul tujuh malam. Rumah itu diam. Berbisik hanya melalui serangga-serangga dan sesekali bunyi semburan air yang lalu jatuh ke rumput. Cahaya kekuningan terkotak-kotak di dinding setinggi dua lantai yang nampak jelas dari jalan itu. Lebih mirip apartemen gaya Amerika, jika saja tidak dilengkapi balkon berhiaskan tanaman rambat dan tangga lengkung bertiang tunggal. Di balkon lantai dua itu, di bawah cahaya bulan yang melalui sela-sela daun pohon Tanjung, laki-laki berjaket kulit dan bertubuh seukuran militer itu berdiri. Dua tangannya sibuk memutar silinder yang makin rekat pada bulatan lubang. Peredam terpasang, dan pistol itu siap digunakan.

Apa yang diintip laki-laki itu sepintas nampak biasa. Hanya jendela kecil dengan tirai sebelah dalam berwarna putih dengan ornamen kecil berbintang-bintang. Dari dalam cahaya lampu agaknya menyilaukan meski cahaya kuningnya nampak hangat. Laki-laki itu merapat ke dinding dan sesekali  memeriksa jalan yang memang sepi. Dengan sigap ia membuka kerai jendela dengan sebilah besi pipih, membawanya langsung menginjak karpet berwarna merah tua. Kamar itu nampak ditinggalkan hanya sejenak karena monitor berpendar dari komputer lipat dan cahaya kecil dari tombol volume pengeras suara juga masih menyala kebiruan. Teks yang terketik segera diganti dengan tampilan telusuran berkas. Tangan bersarung hitam itu meletakkan pistol di atas meja dan lalu mengutak-atik beberapa file, nihil. Belum sempat menemukan yang dicari, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan dari pintu kamar mandi di sudut lainnya. Dengan gesit laki-laki itu menyambar pistol kemudian merapat dan menyisir dinding melewati ranjang, hingga sampai di depan kamar manti saat pintu terbuka.

“Halo,” kata laki-laki itu dengan nada rendah dan suara halus. “Kurasa kau punya sesuatu yang berharga untukku.” Senyum tersungging dari bibir tipisnya yang nampak samar di balik topeng. Tak ada balasan lagi untuk kalimat itu.

Untuk beberapa saat kemudian, kamar itu kembali sepi. Dan komputer itu masih menyala.

***

Adam mengomel.

Mengeluh untuk kesekian kalinya siang itu. Makan siangnya cukup komplet dengan sayur tiga warna dan lauk udang goreng ditusuk sate. Tapi itu sama sekali tak memberinya semangat. Bagaimanapun kantin polres tak pernah nikmat baginya. Berjam-jam menunggu seorang petugas yang meninggalkan posnya entah kemana, ia hampir putus asa. Hanya pena dan corat-coret melingkar di halaman buku catatan bersampul merah. Angin berhembus dan debu terbang sampai ke depan kakinya di koridor itu. Antrean perpanjangan SIM tak pernah sepanjang ini.

Mulau jenuh, Adam berjalan mondar mandir dan dengan gaya cukup aneh memerhatikan bayangan dirinya sendiri yang bingung dalam pantulan bayangan kaca hitam ruangan. Bangku panjang tempatnya tadi kini sudah terisi lagi. Tak ada tempat baginya. Tapi saat kebosanan memuncak, akhirnya angin sejuk itu datang juga. Tak sengaja ataukah kebetulan yang kesekian kali, dilihatnya mendekat seorang petugas muda yang berkaca mata bingkai tebal. Tak pernah ia salah mengenali rekannya itu.

“Ada urusan apa kau di dirlantas?” tanya Adam menyapa lirih.

Yang menyadari sapaan itu lalu berhenti dan melepaskan pandangannya dari bundel kertas yang sedari tadi dibawa rapat dengan dua tangan. Eno mengangkat wajahnya dan membalas sapaan Adam dengan menanyakan kabar. Dua bulan mereka tak saling ketemu tentu merindukan kisah-kisah kecil yang seru.

“Adam. Apa yang kau lakukan di sini?”

“Kasus, tentu saja!” canda Adam lalu tertawa. “Tidak, tidak. Perpanjangan SIM. Entah kenapa mereka sedang tidak bersemangat hari ini. Antreannya panjang.”

Eno paham apa yang dimaksud rekannya itu. Setelah pamit sejenak dan menyerahkan berkas yang dibawanya, ia kembali dan mengajak Adam untuk duduk di sebuah ruangan kecil lengkap dengan sofa tamu yang empuk. Adam  menyimpan sejenak nomor antreannya dan memilih mencicipi minuman kola dingin yang sudah tersedia.

“Kukira kau ada kasus lagi,” komentar Eno setelah menenggak kola. Adam menggeleng dan memilih bercerita tentang hal-hal ringan saat mereka sedang tidak bertemu. “Kau tak akan percaya apa yang telah kualami di Ketep beberapa minggu yang lalu. Pembunuhan yang tak bisa diterima.”

Eno tersenyum dan menggeleng. “Memangnya ada pembunuhan yang bisa diterima?”

“O, manusia maksudmu? Tentu ada. Kalau opini publik membentuknya menjadi situasi  yang pantas untuk orang tertentu. Karena itu lahirlah istilah musuh publik di Amerika pada masa perang saudara dan perpecahan Apartheid di Afsel hampir satu abad yang lalu.”

Eno tak kuasa membalas kalau Adam sudah membahas rana filsafat. Tentu sebagai calon kriminolog inspektur muda itu mesti berkutat dengan banyak teka-teki, tapi filsafat ini, sepertinya harus menunggu lebih lama. “Logika adalah hak dasar manusia sejak lahir sampai mati. Itulah senjata terkuat untuk menyeimbangkan perasaan,” kata Adam ringan kemudian bersandar. “Ada kasus apa kali ini?” tanyanya.

Eno menghela napas dan kembali mengangkat gelas. Badannya ditegakkan untuk selanjutnya miring ke depan mengikuti pandangan yang semakin tajam. “Kasus penculikan, Adam. Kukira kau tak begitu tertarik.”

Adam mengerutkan kening. “Coba ceritakan.”

Merasa terpancing tanpa celah kerugian sama-sekali, Eno akhirnya menceritakan beberapa situasi penting yang dihadapi korps dalam seminggu terakhir.

“Alika, siswi SMP usia 14. Dilaporkan menghilang dari rumahnya pada 1 Agustus lalu. Sampai hari ini baik korps maupun tim penyelidik swasta tak menemukan tanda sama sekali di mana gadis penyuka matematika itu menghilang.”

Adam mengangkat telapak tangannya. “Sebentar, kau bilang, penyuka matematika? Bukannya memang siswi SMP mengunyah mata pelajaran memusingkan itu setiap minggu?”

“Ya. Tapi yang ini maksudku benar-benar penyuka matematika. Logika adalah senjatanya. Teka-teki angka adalah mainan sehari-harinya. Steve Jobs adalah idolanya. Dia inteligensia belia yang memahami dirinya pada minat kognitif yang luar biasa terhadap angka-angka.”

Adam mulai menyimak. Pikirannya mulai terusik. “Oke, gadis penyuka teka-teki. Apa fakta-faktanya?”

“Tidak banyak. Kamar korban tidak berantakan. Hanya keran air di kamar mandi yang menyala sampai akhirnya ayah korban mendapati kamar itu telah kosong. Jendelanya tertutup tapi sepertinya karena dorongan dari luar. Ada jejak debu berbentu jari di bingkai putih jendela.”

“Hm ….” Adam mulai menggosok dagunya. “Penculikan halus ya.”

“Kupikir juga begitu.”

“Siapa yang melaporkan kasus ini?”

“Ayah korban. Rustam, empat puluh satu tahun, pekerja pada firma hukum. Ia mengaku menemukan kamar telah kosong saat berniat mengajak putrinya makan malam, waktu itu sekitar jam tujuh lebih lima belas menit Sabtu malam.”

“Jejak kaki?”

“Nihil. Karpetnya terlalu tebal dan sepertinya ayah korban menginjak jauh lebih banyak daripada anak itu sendiri.”

“Kepanikan spontan.”

Eno mengangguk mantap. “Sejauh ini belum ada petunjuk berarti tentang ke mana Alina kemungkinan pergi, juga apa motifnya. Satu-satunya kecurigaan Rustam adalah anaknya minggat karena sedih atas pertengkaran dia dengan sang istri. Rumah tangga itu di ambang perceraian.”

“Lalu apa yang membuat kepolisian berkesimpulan sementara ini penculikan?” tanya Adam penuh kecurigaan. Untuk sejenak mereka saling diam dan Eno seperti menyusun kalimatnya.

“Anak itu takut ketinggian,” jawab Eno.

“Apa?”

“Ya. Acrophobia. Sementara balkon di luar kamar TKP itu berterali jarang dan lantainya terbuat dari besi berlapis baja tipis. Pemandangan dari atas situ tak akan menyenangkan bagi seorang penakut ketinggian. Tapi jejak tangan di bingkai jendela itu, cocok dengan bentuk jejak gesekan debu di pegangan tangga lengkung. Jejak sepatu semiresmi juga tersamar di tanah berumput di halaman samping rumah. Ini jelas penculikan.”

Adam paham untuk sesaat itu. Pikirannya sibuk mendadak. Menghilangnya Alika si penyuka matematika kali ini justru muncul sebagai kasus dengan petunjuk awal yang sama sekali tak bisa dihitung atau diterka dengan angka. Mereka saling pandang beberapa kali dan seperti bermain dengan pikiran masing-masing.

“Oke, aku tertarik,” kata Adam menyimpulkan perbincangan singkat itu. Tak lama kemudian, ia mendengar namanya dipanggil dengan nada jengkel.

“Sepertinya kita akan sibuk lagi minggu ini, kawan. Kencangkan sarung pistolmu.”

Adam bangkit dari kursi dan langsung berlalu menuju loket antrean SIM. Eno yang merasa ditinggalkan begitu saja hanya bisa menggeleng dan tersenyum pada dirinya sendiri. Kasus Alika akhirnya diusut oleh Adam, tapi entah polisi suka dengan ini.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun