Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teka-teki Alika (2)

22 Agustus 2012   15:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:27 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sebelumnya ....)

Tiga hari berlalu tanpa perkembangan kabar, sementara Adam menghabiskan hari-harinya dengan menyelesaikan sebuah kasus pencopetan yang dilakukan anak jalanan dan satu kasus lagi yang menurutnya salah alamat karena menyangkut rekening listrik.

Siang tanggal 15 Agustus, ia dan Eno sudah duduk di lobi Mapolres Sleman. Berdebat dengan cara yang aneh. Mereka berbisik. Bukan tanpa sebab, tapi karena tiga-empat prajurit dan satu kapten sedang istirahat di ruang yang sama jelang pergantian jam jaga sore hari. Tak ada kasus berarti jam santai, dan televisi adalah alat yang sangat membuai polisi yang menganggur.

“Biarkan ini perdebatan antara kita,” seru Adam.

“Tentu, kau selalu anggap polisi itu pemalas,” bisik Eno kesal.

“Ada alasannya, Eno. Lihat saja perut-perut buncit mereka. Bukankah itu tanda malas olahraga?”

“Jam kerja padat.”

“Ya. Itu salah satu alasan paling bagus,” sindir Adam. Eno dibuat buang muka dibuatnya, meski hanya untuk beberapa saat sebelum rekan polisinya itu kembali mengarahkan pembicaraan ke hal yang memang ingin dibahas sejak awal.

“Kasus Alika. Ada yang aneh.”

Adam tergelak. Buku catatannya baru saja terselip ke saku dalam jaket.

“Rustam, ayahnya, adalah pelapor pertama dan satu-satunya.”

“Itu tidak aneh.”

“Tentu. Tapi, dua hari yang lalu ia mencabut laporannya.”

“Apa?” tanya Adam terkejut. “Alika sudah ketemu?”

Eno menggeleng untuk pertanyaan barusan. “Rustam hanya ingin mencabut laporan. Tapi tidak ingin menghentikan penelusuran.” Setelah mengucapkan kalimatnya, Eno melihat sekeliling memastikan tak ada yang menguping perbisikan mereka. “Sebenarnya korps juga sudah tak berepot-repot menyelidiki kasus ini, toh pelapor sudah mencabut deliknya. Tapi karena kasus ini terlanjur menarik perhatianku, terutama karena pencabutan mendadak ini, aku ingin terus.”

Adam terdiam dan malah memandang miring. “Opsional?” ia berkomentar.

“Ya. Opsional. Aku tak ingin menjadi seorang polisi dengan perut buncit karena terlalu prosedural dan berdasar hitam di atas putih. Kau tahu …” Eno mengarahkan ujung telunjuknya tapi tak sampai menyentuh kacamata. Adam mengangguk paham, berpikir bahwa rekannya ini ingin menikmati kemampuannya mudanya sebelum dimakan usia.

“Suatu hari mata minus atau kacamatamu akan berguna bagi kita. Tunggu saja,” komentar Adam ringan dan dibalas anggukan sipu oleh Eno.

“Jadilah kalau begitu. Tunggu kabar dariku besok malam.” Eno pamit bekerja kemudian Adam berkeliling sebentar di kota hingga senja hari itu.

Pukul tujuh pagi pada hari yang disepakati, Adam dan Eno sudah berdiri di depan sebuah rumah terselip gang kecil di ujung kilometer 9 Jalan Kaliurang. Rumah bergaya modern dengan sentuhan gothic di ornamen-ornamen sudut atap gentengnya. Berdiri dua lantai di atas tanah yang cukup luas bahkan mengakomodasi tanah lapang berumput di sisi depan dan samping yang berbatasan langsung dengan gang. Tangga melengkung dan berdiri di sisi itu memungkinkan pekerja kebun untuk naik dan menyiram barisan pot dan alur rambat tanaman Fieringa yang beberapa ujungnya bahkan menyentuh kaca jendela.

“Ini.” Eno menyodorkan surat teramplop kepada Adam.

“Apa ini?”

“Surat undangan untukmu. Biar kau tahu harus bicara apa nanti di dalam. Entah mengapa secara misterius mereka lebih percaya orang biasa daripada polisi.”

Adam membaca surat itu sepintas sebelum menyimpannya di saku. Juga sempat memerhatikan ujung selang yang bergerak-gerak karena air mengalir keluar tanpa kendali. Setelah berjalan ke serambi berubin keramik putih di pintu depan, ia kembali ke arah keran kecil kemudian menutup aliran air.

Eno mengetuk dan tak lama kemudian mereka sudah disambut oleh perempuan paruh baya berpakaian santai bentuk terusan tipis warna turkois. Tak lama kemudian tukang kebun berlari kecil melintas, mengecek ujung selang dengan bingung.

“Terima kasih sudah memenuhi undangan saya, Pak Adam. Pak Eno.”

Nyonya rumah langsung menyambut mereka di ruang tamu dengan dua gelas teh panas di cangkir putih. Adam balas berterima kasih dan mereka pun mengobrol ringan sembari saling kenal lebih dekat secara profesional. Nyonya rumah memperkenalkan dirinya sebagai Lies Ayuni Rustam, ibu rumah tangga biasa dan mengurus kedua anak mereka yang masih kecil-kecil. Adam berbagi cerita seputar buku-buku psikologi yang ternyata juga digemari perempuan itu. Sementara Eno tak banyak bicara dan lebih menantikan tuan rumah yang akhirnya muncul dari arah pintu masuk lima menit kemudian.

“Oh, ini dia orangnya datang.” Lies langsung menyambut suaminya, membantu membawakan tas kerja dan beberapa folder berisi kertas. Tuan rumah itu sendiri langsung menyapa kedua tamunya dengan senyuman, meski jauh di dalam matany bisa dilihat kekhawatiran yang bertahan dan kecemasan tentang sesuatu yang akan datang. Adam sekaligus melatih kemampuan profilnya untuk beberapa saat ketika mereka sudah duduk bersama dan tuan rumah itu telah melonggarkan bagian kerah bajunya. Rustam Efendi seorang pekerja keras dengan tutur kata yang santun. Bidang matanya cekung dan hidungnya tegak dan cukup menonjol. Satu-satunya tanda beban hidup yang ditanggungnya adalah punggung yang melengkung bahkan saat ia mencoba duduk lebih tegak.

“Maaf, Pak Adam, Pak Eno. Mungkin kalian masih bertanya-tanya mengapa saya undang kemari.”

Adam mengangguk. “Sebagian informasi tentang menghilangnya Alika sudah kami bicarakan sebelum kemari,” katanya tanpa sekalipun menyinggung soal kantor polisi.

“Ah, baguslah kalau begitu. Sungguh kehormatan bagi saya mendapatkan Anda berdua di sini. Saya sudah kenal Eno sewaktu melapor di kantor kemarin. Maafkan saya, Pak. Tapi akhirnya mencabut laporan itu. Ada suatu hal … yang akhirnya membuat saya berpikir lebih baik menyerahkan kasus ini kepada pihak swasta. Lebih efisien, hasilnya lebih terukur dan saya bisa ikuti terus. Kalau instansi pemerintah, Anda tahu sendiri …”

Adam mengangguk paham. Eno tersenyum kering. Tak lama kemudian Lies sudah kembali bergabung dan mereka mengalihkan pembicaraan menjadi lebih serius dan terfokus.

“Alika meninggalkan sebuah teka-teki.”

Adam dan Eno terkejut mendengar penuturan itu. “Tapi kemarin di laporan awal, Anda tidak menyebutkan tentang petunjuk.”

“Saya baru saja temukan sore ini, di kotak mainannya. Ini.”

Rustam lalu mengeluarkan secarik kertas seukuran dua kuarto, dengan gambar tengahnya terpenuhi gambar pola teka-teki. Tiap-tiap dari seratus sepuluh kotak kecil itu berisi satu huruf yang susunannya acak satu sama lain. Umumnya, teka-teki itu dipecahkan dengan menemukan barisan huruf yang membentuk sebuah kata umum. Itulah mengapa disebut teka-teki ‘temukan kata’ atau dalam bahasa Inggris dengan sebuah istilah keren.

Find-a-word Puzzle,” kata Adam lirih ketika melihat lembaran itu.

Rustam mengangguk. “Ya. Ini masih kosong seperti asli waktu saya temukan, saya belum mengutak-atik apapun.”

“Anda bijak telah bertindak demikian. Ada lagi?”

“Di baliknya, Pak Adam.”

Saat lembaran itu dibalik, ada sebuah petunjuk baru berisi kalimat bertanda nomor satu. “Sepertinya ini pertama dari sekian petunjuk. Belum ada nomor dua, tiga dan seterusnya,” bisik Adam. Tulisan itu nampak alami dan murni tulisan tangan meski nampak lebih dewasa untuk ukuran anak SD.

1.Gejala tidur pada posisi salah, tulislah.

Adam lama memerhatikan kalimat itu ketika Rustam, Eno dan Lilis hanya bisa menunggu.

“Sepertinya ini petunjuk untuk sebuah kata tertentu,” Eno coba menebak.

“Ya memang demikian,” jawab Adam. “Tapi untuk apa, mengapa penculikan atau menghilangnya Alika harus melibatkan teka-teki seperti ini?”

Rustam berdeham, ketika Lies justru tertunduk. “Anak kami penyuka matematika, Pak Adam. Jika Anda paham, anak-anak suka bermain-main dengan hobinya, dan kami beberapa hari ini berpikir bahwa Alika telah dengan sengaja meninggalkan petunjuk yang tidak disadari penculiknya, agar kami bisa menemukannya berdasarkan pemecahan petunjuk-petunjuk itu.”

Adam mengangguk tapi tidak begitu saja menerima penjelasan itu. “Atau bisa jadi ini justru datang dari penculiknya yang punya maksud lebih dari sekadar uang tebusan.”

Lies nampak terpukul.

“Maafkan saya,” kata Adam segera. “Ini sangat menarik, terlebih karena kita harus terlibat dalam permainan yang sepintas mirip karya anak-anak. Gejala tidur pada posisi salah. Petunjuk pertama ini, jika memang adalah petunjuk, pasti akan sangat berarti. Kalau Anda tidak keberatan, saya dan Eno akan menginap di rumah ini selama tiga atau empat hari ke depan. Guna penyelidikan kasus sebagaimana Anda percayakan. Kalaupun ada kebijakan lain, kami tidak akan keberatan.”

Rustam dan Lies saling pandang kemudian menyetujui permintaan itu. Hingga malam, Adam tak banyak bicara dan hanya terpaku pada petunjuk itu.

Sebuah teka-teki, dan satu kalimat petunjuk awal yang membingungkan.

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun