Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Foto Hitam Vila Sawangan (6)

17 Agustus 2012   15:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13446113761725878480

Situasi semakin genting dan waktu makin tipis.

Semuanya harus dihentikan segera, atau akan ada korban lagi.

(Sebelumnya ....)

Yang membuka pintu itu beringsut menegakkan badan dan membenarkan bajunya dari bekas lipat-lipatan. Rambut terpencar karena tarikan yang membuat kusut. Berdecak beberapa kali sekadar membenarkan posisi rahang dan mengembalikan kelembaban mulut. Ruangan itu remang dan isinya baru terlihat jelas ketika seseorang lain di belakang sana menarik tirai jendela ke arah samping kusen. Cahaya menyiram dengan kilau siang yang seketika membuat silau. Udara segar masuk melalui kisi kaca yang terbuka.

Tomo berdecak setelah mendengar penjelasan singkat Adam dan maksud kedatangannya yang tiba-tiba ke kamar keluarga itu. Ningrum merapikan rambutnya dan lalu berdiri mendampingi suaminya, memerhatikan gerak bibir dan tutur kata Adam yang nampak tergesa dan sangat khawatir.

“Ya, kami baik-baik saja. Ada apa?” tanya Tomo keheranan.

Adam berbicara dengan berbisik sembari melihat sekeliling koridor itu. Tomo masih bertanya-tanya kemudian bertanya semakin gesit. Mereka sama sekali tidak mengerti apa yang dipikirkan Adam dengan maksudnya perkataannya itu.

“Dengar,” kata Adam. “Kalian tetaplah dekat dengan polisi. Memang sulit dipercaya, tapi beberapa temuanku tentang kasus ini mengindikasikan potensi kejahatan tambahan setelah kematian Lingga. Dan kuharap dugaanku salah, nyawa kalian berdua terancam. Pembunuhnya sedang mengawasi dari dekat.”

“Tapi, Pak Adam,” sela Ningrum khawatir. “Kami memang mau pulang semua kan dari sini mulai nanti sore. Harusnya setelah dari sini tidak ada lagi masalah.” Pasangan suami-istri itu kemudian saling pandang dengan harap-harap cemas.

“Tetap saja berisiko. Kalian bisa diikuti … pokoknya mintalah pengawalan polisi sesegera mungkin, dan kalian jangan pergi ke tempat-tempat yang mudah ditebak. Tolong, aku akan coba menangkap pembunuh Lingga, tapi aku butuh kerjasama kalian.”

Kali ini Adam benar-benar menunjukkan wajah cemas dan berharap. Tomo dan Ningrum perlahan yakin bahwa tamu mereka itu tidak main-main. Kemudian setelah diskusi rahasia singkat, mereka menyepakati beberapa taktik agar kedua tuan rumah bisa dipindah ke tempat aman. “Bagaimana dengan Aini?” tanya Ningrum perihal anak putrinya.

“Jangan khawatir. Dia akan baik-baik saja.”

Setelah negosiasi itu Adam lalu menuju pos jaga sementara polisi dan menyampaikan beberapa permintaannya langsung kepada komisaris Lusius. Nampaknya pesan itu tersampaikan jelas karena beberapa petugas bawahan bergegas memosisikan diri mereka ke beberapa bagian rumah ketika Adam kembali masuk ke ruang tamu dan menemui beberapa penghuni rumah yang siap dengan koper dan perlengkapan mereka. Tiga mobil telah disediakan ketika dua mobil patroli sudah pergi dari jalan depan rumah itu ke dua arah berbeda.

Mobil pertama digunakan Tomo dan Ningrum istrinya. Mereka membawa Retno turut serta beserta barang-barangnya. Mobil kedua  yang ukurannya lebih kecil dikendarai Yoga bersama Aini. Sementara mobil ketiga disetir sendiri oleh Adam bersama Alina.

“Anda akan aman bersama kami, Bu Retno. Polisi akan mengawal kita untuk menjamin keamanan sampai batas kota,” kata Tomo begitu saja membuat pembantunya itu hanya bisa mengangguk cemas. Ia tak mengerti apa yang sedang atau akan terjadi.

“Tapi, apa ini benar-benar perlu?” tanya Alina di mobil lainnya. Adam tak banyak menjelaskan dan hanya berdeham dengan anggukan mantap penuh isyarat. “Apa kau yakin ini akan berhasil?” tanya Alina lagi. Adam membalas dengan kedipan mata.

“Apa-apaan ini. Berlebihan menurutku,” komentar Yoga begitu saja ketika mobilnya mulai bergerak paling belakang. Sebuah sedan bersirene mengantar mereka dari belakang. “Pasti pembunuhnya juga sudah lari sebelum kita berhasil mengurungnya. Lingga itu bukan orang suci, jadi kematiannya …”

“Yoga! Apa kau tak pernah menghargai kehidupan seseorang?” Aini protes gesit. Amarah masih menggumpal di hatinya. Dongkol bahkan tanpa bicara pada pacarnya itu. Yoga cuek saja dan memilih diam, meskipun tetap memberi perhatian-perhatian kecil pada Aini. “Lingga sudah mati juga, tolong hentikan kecemburuanmu.”

Yoga tak membalas.

Mobil yang dikendarai Adam bergerak ke arah jalan menanjak menuju hulu, diikuti mobil Yoga dan Aini. Sementara satu mobil yang membawa Tomo besera istri dan pembantunya bergerak ke jalan kiri menuruni bukit. Dari kaca belakang mobil Aini melihat ada sesuatu yang tidak beres. Rombongan polisi juga memencarkan pengawalan mereka. “Pengalihan, mungkin.” Jawab Yoga sekenanya.

Tomo melihat kaca spion berkali-kali ketika sebuah kendaraan mendekat dari kanan belakang. Polisi terlalu jauh di depan, dan ia urung menekan tombol klakson. Memerhatikan dari dekat apa yang diinginkan mobil sedan berkaca hitam itu, menyusul pelan tanpa mau mendahului. Sirene polisi seperti menahan lajunya kian melambat. Ningrum dan Retno sama merasakan ada yang aneh.

Di arah lainnya, Adam juga melihat kaca spion dengan waspada, membuat Alina memandang sekeliling dengan menyimpan tanya yang sama. Untuk beberapa ratus meter jarak yang ditempuh pelan kendaraan keluarga berukuran kecil itu, tak banyak suara yang keluar dari mulut mereka. Polisi di luar seperti diam dan mengawal saja. Sesuatu akan terjadi, tapi siapa yang akan memulainya seperti belum jelas.

“Ini tidak masuk akal,” kata Yoga. Ia sudah sedari tadi lelah dengan basa-basi. “Untuk apa coba kita melakukan ini, memangnya mau bikin film drama? Polisi-polisi ini selalu punya pikiran picik, paling-paling kita dikawal  menuju polsek terdekat, membentuk pertahanan karena mereka tidak bisa mengalahkan pembunuh itu. Kalau saja …”

“Kalau saja apa?” tanya Aini gesit. Tapi Yoga urung menjawabnya langsung. Pikirannya kembali teralihkan ke jalan.

Bunyi mesin mobil menderu-deru. Pedal gas ditekan setengah demi setengah mengikuti alur jalan yang tak menentu di perbukitan. Jauh di belakang, vila Sawangan telah benar-benar kosong dengan gerbangnya yang tergembok. Lampu-lampu dimatikan dan taman-taman seketika hening. Angin lewat begitu saja bebasnya.

Tapi di jalan itu, setelah lima belas menit melaju tanpa kepastian bagi siapapun, akhirnya sesuatu terjadi.

“Siapa yang akan Anda bunuh setelah Lingga ini?” tanya suara itu lirih. Yang mengucapkannya tersenyum di satu sudut bibir dengan rasa percaya diri yang terbentuk pelan-pelan.

Di dalam kabin salah satu mobil itu, seseorang terdiam. Wajahnya tertunduk dan matanya seperti tertarik ke dalam.

“Sudah katakan saja. Kita selesaikan ini baik-baik, dan mungkin saya masih bisa memercayai Anda.”

Tapi sosok yang ditujukan pernyataan itu hanya diam beberapa jenak. Kemudian terkekeh lirih pada akhirnya. Tangannya saling remas dan pandangannya tak melihat apapun selain ujung kakinya sendiri. Cahaya matahari siang menembus kaca dan menghangatkan kabin kecil itu.

“Jadi ketahuan ya. Anda memang hebat, Pak. Anak itu pantas mati.”

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun