Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Foto Hitam Vila Sawangan (3)

14 Agustus 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:46 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Vila itu mendadak hening. Tak banyak kegiatan.

Sementara Alina menemukan dua fakta sekaligus.

(Sebelumnya ....)

Sementara Alina membawa Aini yang menangis ke ruang tamu, di bagian lain vila itu Yoga menghentikan langkahnya menuruni bukit karena melihat bayangan yang duduk menghadap ke lereng. Cekungan gunung selalu menarik untuk diamati pada malah hari. Lampu-lampu rumah berpendar kecil bagaikan bintang-bintang yang diam. Beberapa padam dan yang lainnya menyala. Menyampaikan pesan teduh betapa manusia tak pernah berhenti memikirkan kehidupannya.

Baru saja Yoga mau membalik badan, tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil oleh bayangan itu. Pemuda itu mendekat kemudian duduk di atas batu panjang tempat sosok itu menghela napas.

“Apa yang kau lakukan? Kau tahu kau sudah memperparah keadaan.”

Bisik itu terdengar jelas dibantu suasana gunung yang hening. Yoga tak kuasa menjawab dan hanya tertunduk menggenggam tangannya.

“Anak bodoh. Sudah kubilang kau tahan emosi. Jangan sampai semuanya berantakan gara-gara tingkahmu yang berlebihan. Aini anak yang baik, jadi kau jangan sekali-kali menyakitinya dengan cara yang tidak kuhendaki.”

“Tapi bukannya …” Yoga berusaha membela diri namun bayangan yang dilindungi kegelapan itu langsung menyergap kalimatnya.

“Cukup kendalikan perasaanmu. Kalau kau benar-benar mencintainya, maka jangan  merusak rencana selama di vila ini.”

Pemuda itu terdiam sejenak sampai akhirnya sosok gelap kembali menanyakan kemampuannya. Pemuda itu mulai diragukan. Angin menghirup dingin sampai menembus kulit.

“Aku mengerti. Maafkan aku.”

Kalimat itu tak berbalas. Kemudian dengan satu isyarat tangan Yoga sudah langsung beranjak dari atas batu itu dan kembali ke vila melalui taman kecil dan berbelok ke pintu utama.

Di sudut dinding luar yang jauh dari jangkauan cahaya lampu taman, Adam muncul dari balik batang pohon kamboja, memerhatikan arah datang dan perginya Yoga. Matanya tak berkedip lama ketika justru bergerak-gerak. Sesuatu jelas tidak beres, tapi ia belum tahu di mana menemukan awalnya.

Lima menit menjelang tengah malam, vila itu sudah hening dan gerbangnya sudah ditutup saat semua jendela juga sudah tertutup tirai. Polisi baru saja pergi dengan mobil patroli. Retno mengecek beberapa bagian pintu yang masih terbuka dan menyalakan lampu di beberapa sudut terluar kompleks. Pembantu itu mengecek semua bagian rumah termasuk memastikan Aini sudah berada di kamar ibunya, sementara Yoga diberi tempat di kamar tamu, kamar yang seharusnya dipakai berdua dengan Lingga.

Tuan dan Nyonya rumah sudah tidur ketika Adam justru baru masuk melewati pintu samping. Ia meminta maaf kepada Retno yang nampak menunggu di dapur. Setelah memastikan semua pintu terkunci, Retno menyusul tidur dan meninggalkan Adam sendirian di ruang tamu. Secangkir kopi sungguh menghangatkan pikiran di saat seperti itu.

“Di mana kau akan tidur?” tanya suara dari atas balkon. Adam menjawab sambil tersenyum bahwa sofa akan cukup empuk baginya malam itu.

“Adam, aku ingin bilang sesuatu kepadamu.”

Adam melihat ke arah balkon, mengamati setiap bagian wajah dari mantan istrinya yang nampak lelah, kemudian mengangkat alis. Tangannya tetap mencoret beberapa kata di buku catatan yang baru saja dikeluarkannya.

“Besok saja,” kata Alina ringan kemudian menjauh dari pagar balkon menuju pintu kamar. “Jangan terlalu larut,” pintanya saat sudah menghilang ke balik pintu.

Adam membalas dengan anggukan dan segaris senyum. Di kepalanya kini terputar-putar beberapa kejadian yang sulit dilupakan karena terjadi persis di depan matanya. Bayang-bayang itu bermain seperti pasar malam dengan tiket yang mahal sampai-sampai orang tak bisa pergi begitu saja. Adam melihat catatannya yang belum seberapa. Setelah membaca ulang dan mengoreksi di sana-sini, ia menandai satu kata yang ditulis di pojok kanan bawah halaman. Kamera itu sepertinya akan memberikan sesuatu. Tapi hari telah larut dan ia sama sekali tak merasa sudah duduk diam di ruang tamu itu selama dua jam.

Pagi harinya mereka sarapan di meja yang sama tanpa banyak saling bicara. Hanya Ningrum dan Alina yang coba membuka obrolan ringan dengan upaya mengalihkan topik agar kejadian malam sebelumnya bisa mereka tanggapi dengan tenang. Tapi itu tak berarti banyak. Tomo melihat dengan tatapan tajam ke beberapa orang di situ, sampai membuat anak gadisnya sendiri ketakutan dan istrinya memprotes.

“Sesuatu baru saja terjadi di rumah kita, Ma. Apa kalian tidak merasa aneh sedikitpun?”

“Aneh?” tanya Adam seketika. Merasa penting sejenak karena yang lain di meja itu menatap bergantian antara dirinya dan Tomo.

Tomo berdecak, membenarkan posisi duduknya kemudian mulai menjelaskan. “Dengar. Lingga mati di kolam, dan aku kira tidak  mungkin anak itu tenggelam. Kita pasti akan mendengar suaranya minta tolong atau minimal air berisik. Tapi tadi malam itu tidak ada suara sama sekali. Tiba-tiba mayatnya sudah di air.”

“Benar,” balas Adam. “Tangan anak itu cukup bebas meski tali kamera pasti akan menyulitkannya untuk berenang atau menggelepar. Tapi kukira dugaan kecelakaan atau bunuh diri bisa disingkirkan. Itu berarti …”

Yang lainnya menatap Adam dengan khawatir. “Adam, jadi …”

“Ya. Meski polisi belum tiba dengan hipotesis sementara mereka, saya cukup yakin bahwa ini bukan kecelakaan apalagi bunuh diri. Lingga tidak akan melepas sebelah sepatunya untuk menenggelamkan diri. Lagipula, membawa serta jaket dan kamera bertali akan menyulitkan jika kau coba bunuh diri dengan cepat. Anak itu dibunuh. Persis sebelum tubuhnya menyentuh air kolam.”

Mereka saling pandang sejenak ketika Adam akhirnya menghela napas.

“Lingga dibunuh oleh salah satu dari kita.”

Tomo dan Yoga melompat dari kursinya nyaris bersamaan. “Bagaimana mungkin?”

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun