Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Foto Hitam Vila Sawangan (4)

15 Agustus 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:43 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13446113761725878480

Ada sosok bayangan itu di waktu malam.

Terlalu banyak yang aneh di rumah itu setelah kematian Lingga.

(Sebelumnya ....)

Adam menggumam. Bibirnya mengangkat senyum kecil, dan pikirannya mulai bertaut. Yoga menunjukkan raut kebingungan, sementara Tomo melayang-layangkan tangannya ke udara mencoba mencari penjelasan sendiri atas fakta yang baru saja didengar. Alina dan Ningrum saling tatap sebentar, sedangkan Aini meremas-remas tangannya.

Adam menyaksikan reaksi dari setiap mereka.

Polisi tiba dua jam kemudian dan membawa kesimpulan yang sama. Ditemani tim INAFIS mereka menyusuri beberapa bagian rumah itu dan menggeledah beberapa ruangan. Tak banyak yang ditemukan. Majalah fotografi, catatan perjalanan, telepon genggam serta baterai cadangan adalah beberapa barang yang dimasukkan ke dalam plastik yang sama bertuliskan properti korban. Sementara beberapa majalah dan buklet ditinggalkan begitu saja di ruang tamu setelah mereka memeriksannya. Setiap dari mereka yang di rumah itu diwawancarai oleh penyelidik, tak terkecuali Adam yang menjelaskan alibinya antara jam 17 hingga 20 malam kemarin. Polisi diperkirakan mati dibunuh dengan cara tenggelam. Tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh korban. Anak itu punya perjalanan hidup yang menarik, setidaknya dari sudut pandang polisi.

Lingga adalah anak bungsu dari seorang pengusaha kaya asal Semarang yang memusatkan bisnisnya di distributor ritel. Kedua kakaknya berhasil menjadi insinyur sipil dan dokter, sementara ia sendiri sempat dikucilkan di keluarga karena memilih fotografi dan jurnalistik nonakademis. Ketertarikan awal anak itu pada fotografi pasca-reformasi berujung pada perjalanan karir yang ternyata menggembirakan beberapa tahun kemudian. Ia berhasil membuat portofolionya sebagai fotografer profesional pada usia kedua puluh, ketika menjadi tenaga lepas untuk beberapa majalah wisata dan satu koran ekonomi meski harus bersusah payah dengan proses liputan yang di luar dugaannya. Kinerja cemerlang, ia justru memilih tetap menjadi tenaga lepas dan menolak beberapa tawaran pekerjaan tetap di bidang periklanan dan penerbitan. Terakhiria bekerja menghasilkan foto-foto investigasi untuk GRA, sebuah majalah bisnis yang fokus pada sosok-sosok pengusaha nasional yang berhasil. Tomo dan Ningrum adalah salah satu pasangan keluarga yang pernah ia tampangkan di halaman depan sebuah majalah edisi usaha berbasis hasil alam. Sejak pertemuan dua tahun lalu itulah anak ini menarik perhatian banyak keluarga pengusaha.

“Dia bahkan pernah bekerja untuk KPK, meski info yang ini masih simpang siur.” Kalimat penjelasan polisi itu mengejutkan Adam, tapi sekaligus memuaskannya. Lingga memang berbakat tepat seperti dugaannya. Tapi ada beberapa fakta yang tak bisa diabaikan begitu saja.

“Akan kami lanjutkan penyelidikan ini,” kata petugas itu menutup penjelasan singkatnya. Setelah itu mereka kembali saling menginstruksi soal tempat kejadian perkara yang kiranya menyisakan beberapa barang penting.

“Itu aneh,” Adam menggumam, membuat polisi yang perutnya buncit dan pipinya mengembung itu memiringkan kepala. Komentar yang tentu pantas dipertanyakan maksudnya.

“Sepatu korban tergeletak tidak teratur di atas rumput, sekitar satu meter dari bibir kolam. Anda sudah memperhitungkannya juga?”

Polisi itu menunduk. Mukanya memerah, sementara bola matanya bergerak-gerak mencari jawaban. “Ini kan masih dugaan sementara, penyelidikan masih berlanjut.”

Adam tersenyum sambil berdeham. “O, tentu saja. Maafkan saya. Kerja Anda dan tim sudah bagus.” Kemudian ia diam sejenak seperti sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak mungkin kepolisian luput memeriksa sepatu itu, dan beberapa benda penting lain yang bisa menjelaskan bahwa ini pembunuhan yang mengerikan. “O, Pak,” sapanya lagi saat polisi itu sudah beranjak. “Anda tidak menanyakan soal foto ke saya?” Polisi itu mendekat dengan pandangan jauh lebih heran.

“Foto? Apa maksud Anda?”

Adam menggeleng malas kemudian bangkit. “Foto hitam? Yang ada di kartu memori kamera korban? Tadi malam kan tim Anda ketemu foto itu. Sudah diselidiki?”

Polisi itu tersenyum mantap. “Oh, itu. Tentu sudah. Tak banyak petunjuk. Itu foto salah jepret saja. Kemungkinan korban menggelepar dan tidak sengaja tombol shutter tertekan. Padahal penutup lensa sedang terpasang. Ada gambar itu, gagal.” Kemudian polisi itu berlalu sambil bersiul memegang berkas-berkas itu rapat.

Adam menatap tajam. Sekiranya hal ini benar-benar bisa jadi petunjuk, maka ia tak akan menyia-nyiakannya. Polisi meninggalkan banyak lubang penyelidikan, dan ia tahu betul itu. Dugaan bahwa kasus ini pembunuhan yang dilontarkan korps sama sekali tidak berdasar. Mereka belum meningkatkan status kasus ini ke penyidikan, dan ia sendiri tidak yakin proses investigasi ini akan selesai dalam satu-dua hari.

Saat berjalan melalui ruang tamu, Adam dikejutkan oleh Ningrum yang sedang bersalaman dengan pembantunya Retno. Pembantu itu membawa sebuah koper yang nampaknya penuh terisi. Ningrum menyadari keberadaan Adam dan langsung menyeka air matanya.

“Maafkan saya, Pak Adam.” Nyonya rumah itu menyeka pipinya. “Bu Retno sudah menemani keluarga saya hampir sepuluh tahun. Sekarang ia harus pulang, anaknya sakit keras di Cilegon.”

Adam mengintip pandang pembantu itu yang nampak bergetar. Retno perawakannya sedang dengan rambut yang menunjukkan tubuhnya menua lebih cepat di usia yang masih paruh baya. Pembantu itu tak henti-hentinya merapal tangannya sendiri dan merapatkan pandanganya ke lantai. Gejala syok medis yang nampak normal.

“Dia syok, sepertinya kita harus mengerti,” bisik Ningrum yang dibalas anggukan paham oleh Adam. Meski ia pada akhirnya menjelaskan bahwa polisi tidak akan mengizinkan satupun dari mereka meninggalkan rumah, rupanya Ningrum sudah menyiapkan semuanya agar suasana lebih tenang.

“Polisi sudah menyetujui. Kami semua berjanji akan menepati persyaratan polisi untuk senantiasa di dalam kontak jika sewaktu-waktu dibutuhkan.”

“Sebentar,” Adam menyela. “Maksud Anda, kita semua akan pergi dari sini?”

“Ya. Aini dan Yoga berangkat sore ini. Mereka ada kuliah dan ujian besok pagi. Sementara saya dan Tomo harus kembali ke Jakarta nanti malam untuk persiapan pembukaan cabang baru. Karena itu, Pak Adam. Kami mohon maaf jika …”

Adam sontak mengangkat tangannya dan mencoba membuat mereka saling mengerti. Ningrum tentu tak mau menggunakan bahasa gamblang untuk menjelaskan situasi bahwa vila itu harus ditinggalkan demi memberi ketenangan pasca-tragedi. “Oh, tidak masalah. Kita saling mengerti kok. Saya akan memberitahu Alina segera setelah ini.”

Ningrum kembali meminta maaf kemudian berlalu ke arah gerbang bersama Retno. Sementara dari sisi rumah lainnya Yoga mengejar Aini yang kembali cemberut dan merajuk.

Adam mulai kebingungan. Langkahnya lunglai melalui meja tamu itu, berpikir harus mulai penyelidikannya dari mana. Ia bahkan berpikir untuk menyerah saja dan memberikan semua kasus ini kepada tangan ahli polisi. Tapi hanya dalam beberapa detik pemikiran itu, ia cepat-cepat mengembalikan kesadaran naluriahnya. Beberapa lembar kertas yang tergeletak di atas meja itu ia masukkan ke saku jaket tanpa ketahuan.

“Adam,” sapa itu kembali memanggil ketika Adam melangkah menaiki tangga lengkung berbidang kayu itu. Perpustakaan mini nyaris digapainya tapi panggilan itu menghentikannya tepat di depan pintu kamar. Alina sudah memberi isyarat untuk ke dalam. Lalu setelah mereka berdua di kabin itu, pintu tertutup dan kuncinya terkatup.

Adam menatap mantan istrinya itu dengan curiga. Tidak biasanya Alina menjadi agresif seperti ini, pikirnya. Untuk beberapa detik itu Adam tak kuasa berbicara, karena Alina hanya memandangnya diam. Telapak tangannya terasa hangat. Merasakan pundaknya dibelai pelan ketika Alina perlahan-lahan mulai berdeham.

Adam menutup mata, merasakan ada kehangatan yang mendekat di udara sekitar telinganya. Ia tak ingat kapan terakhir mereka sedekat ini. Tangan mereka saling bertaut. Cahaya masuk melalui jendela ketika tirai-tirai tipis terangkat dan jatuh pelan karena tiupan angin.

Tapi akhirnya bisikan itu kembali membuka matanya sampai membelalak. Kata-kata yang Alina bisikkan langsung ke telinganya benar-benar jelas. Deskripsi singkat yang berhasil menyatu dengan beberapa kancing fakta yang ia kumpulkan melalui celah-celah.

“Tidak mungkin begitu.”

Tapi Alina mengangguk mantap atas komentar Adam yang singkat itu. Mantan istri itu kemudian tersenyum, lalu merangkak di atas kasur dan mendekat kembali ke Adam yang duduk di pinggir ranjang. Mengalungkan kedua lengannya ke leher mantan suaminya yang hanya terdiam itu. Mereka nyaris tanpa jarak untuk beberapa detik. “Sudah, lanjutkan saja. Kita tidak punya banyak waktu di sini, dan mungkin hanya ini satu-satunya celah di mana kita bisa berdua dan menikmati ini. Aku sudah merasakannya sejak semalam, Adam. Aku tahu kau bisa.”

Adam menggumam. Kemudian tirai itu jatuh kembali ketika angin dingin menyeruak pergi.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun