Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jujur Mengkritik

7 Agustus 2012   05:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:09 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_205316" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Saya suka sekali dengan tulisan ringan Mbak Arimbi Bimoseno yang berjudul "Satu Pembaca Sudah Lebih dari Cukup" yang dimuat 5/7/2012 kemarin. Ringan namun penuh makna, menegaskan sikap seorang penulis yang menghargai dirinya sendiri tidak dari kuantitas masukan yang diterima, tetapi nilai penghargaan yang terbawa bersama sebuah komentar, meski diwakili hanya dengan satu klik. Bagaimana menerima sebuah kenyataan bahwa tulisan kita diapresiasi dengan sebenar-benarnya atau hanya dipoles komentar "politis" yang sekadar bentuk titip jejak? Saya selama dua tahun bersua dengan keluarga blog publik seperti ini sudah melihat bermacam-macam makna di balik komentar. Kritik, adalah bentuk komentar yang selalu saya rindukan. Di samping karena pembaca yang berani mengkritik secara jujur masih terbilang sangat sedikit, juga karena banyak penulis yang tak membuka ruang kritik bagi tulisannya atau malah anti-kritik. Terus terang saya mencatat beberapa nama pembaca (yang tentunya juga adalah seorang penulis) di blog publik yang tergolong pengkritik yang jujur. Mengapa jujur? Karena saya merasakan sesuatu yang berbeda setiap membaca komentarnya. Tak tergantikan. Jika ada dua puluh komentar yang tersemat di bawah satu tulisan saya, maka komentar dari seorang pengkritik sejati itu tidak akan nampak sama dengan sembilan  belas lainnya yang lebih sering menulis, "Saya suka", "keren!", atau "voted". Bagi saya, pengkritik sangat diperlukan, apalagi di ranah publik ketika kita dibanjiri banyak sekali tulisan-tulisan intermesso yang ditayangkan hanya untuk mengisi waktu luang tanpa pesan makna sama sekali. Tulisan-tulisan fiksi, misalnya, jumlahnya ratusan tayang setiap hari. Tapi mengapa Fiksiana belum berkembang seperti kanal lain? Karena miskin kritik. Sikap pembaca yang lebih menikmati alur cerita masih lebih menonjol ketimbang mengamati hal-hal teknis yang bisa dipakai untuk membantu penulis memperbaiki konstruksi berpikir serta kualitas tulisannya. Kebanyakan pembaca fiksi lebih senang terbawa perasaan dan memberi rating pada akhir tulisan, alih-alih mengamati pemilihan kata, pembentukan alur, dan proses panjang yang dilakoni penulisnya. Sebagai ekses, tulisan dinilai secara parsial, belum sempat membaca karakter penulisnya. Melalui sebuah komentar di tulisan fiksi, saya mendapatkan masukan yang luar biasa berharga. Saya kutip komentar sebagai berikut.

Secara ide dasar, saya pikir ini sudah sangat menjual. Tinggal sinkronisasi serta pengembangan lebih lanjut. (*frameworknya udah keliatan) . Diawal, benchmarknya udah bagus Mas (14+3hr). Cuma sayang kalo diliat dari bag (7) ini sepertinya out dari time line; persiapan Agustusan biasanya 2 bln sebelum hari H –sekitar bulan juni. . Akan jadi kontra dengan bag (1), disana setting waktunya ada pada bulan Januari.

Saya tidak akan menyadari kesalahan fatal dalam cerbung saya itu menuliskan runut waktu yang rentangnya sangan njomplang antara Januari sampai Agustus, kalau tidak komentar yang dimuat oleh Mas Glmax Soul di atas. Sekadar catatan, Glmax Soul sangat sangat jarang berkomentar di tulisan saya. Tapi dengan komentar di atas, cukup tegas bagi saya sebagai penulis cerbung untuk mengetahui bahwa selama ini ybs mengikuti tulisan-tulisan saya, bahkan menyimak detilnya sejak awal. Siapa yang bilang bahwa tidak keren menjadi seorang pembaca senyap? Selain komentator yang saya ambil contoh di atas, bisa dihitung jari rekan bloger yang mau memberikan kritik secara jujur. Menonjok memang terasa di pipi, ketika kebobrokan tulisan diungkap di depan orang-orang. Tapi konstruksi berpikir saya jadi terkoreksi dengan sangat cepat, membuat saya membuka-buka arsip tulisan sejak awal. Ternyata memang banyak penyimpangan di sana-sini. Itu contoh tunggal saja. Dan saya yakin ada banyak dari kita yang sudah mengalami hal serupa. Kritik bukan celaan Tentu sangat majemuk jawaban yang akan keluar jika ditanyakan tujuan atau preferensi membaca setiap orang. Ada yang sekadar memenuhi rasa ingin tahunya, mengikuti jejak penulis tertentu, atau sekadar "balas budi" dengan menjanjikan sebuah komentar dan rating tanpa pusing mengukur apakah tulisan ybs dia sukai atau tidak. Preferensi ini bisa saja berubah-ubah. Kritik bukan celaan apalagi hujatan. Tujuannya sangat jauh berbeda. Kritik punya orientasi perubahan yang lebih baik, sedangkan celaan hanya tamparan di wajah. Kritik berhubungan dengan apresiasi, sedangkan hujatan lebih pada diskreditasi. Pembaca yang paham konsep kritik tahu betul bahwa penulis punya kotak khusus untuk menampung banyak masukan. Yang saya maksudkan adalah, mengetahui tujuan membaca akan lebih membantu kita dalam membangun kejujuran mengkritik. Kalau memang karena menggemari penulis tertentu, Anda akan berkomentar sebagai pembaca setia, dengan mengikuti setiap tulisannya, apapun bentuknya. Jika lebih berani, maka lambat laun Anda akan menemukan karakter penulis tersebut dan melihat celah-celahnya. Jika Anda berpikir membaca hanya memenuhi hasrat pribadi, maka itu pun tidak masalah. Penulis akan tetap bersyukur tanpa harus meminta Anda berkomentar --seperti yang dipahami betul oleh Mbak Arimbi--. Hanya saja, nilai hubungan penulis-pembaca terpisah pada "hanya" sekat-sekat tulisan. Tidak lebih luas dari itu. Sambil terus menyimak, saya menikmati proses yang berjalan, sama seperti kebanyakan dari kita yang punya visi panjang tentang menulis dan membaca. Jika sudah merasa cukup dengan menikmati bacaan yang ada, maka ada baiknya mulailah mengkritik. Kritik akan sangat membantu penulis. Bagaimanapun cara pengungkapannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun