[caption id="attachment_199540" align="aligncenter" width="429" caption="RMS Lancastria (jimwegryn.com)"][/caption] *
Aku lahir 9 Januari 1912. Tiga bulan sebelum Titanic, kapal yang membawa 2000 penumpang ke Amerika itu tertabrak gunung es di laut Atlantik utara dan tenggelam.
Tak banyak yang dikerjakan malam itu.
Hanya sentuhan terakhir untuk beberapa lembar manuskrip yang masih perlu ditambahkan datanya, terkhusus terkait siaran radio darurat yang sampai ke bilik Bank Dunia, membawa kabar bahwa Asia Tenggara akan terancam krisis ekonomi jika tidak mulai menyelesaikan beban utang. Lampu itu tetap temaram. Tak banyak suara kecuali derit jangkrik yang seperti berkelahi dengan semut rang rang di bawah sana. Perempuan itu menunduk ketika matanya mulai diselimuti kantuk. Bulan Februari tak pernah sebaik ini. Terlebih karena ia telah merampungkan biografinya sendiri, juga karena kisah itu dimulai jauh sebelum ia merapatkan pena ke kertas.
Cerita itu dimulai ketika hidupnya mulai berubah karena cinta.
RMS Lancastria merapat di pelabuhan Jackson di hari Rabu yang berawan itu. Bulan Juli 1944 masih saja suram di New South Wales. Angin dari Atlantik bertiup lebih dingin dari biasanya, membawa banyak kabar dari orang-orang yang saling berbisik di dek. Seorang perempuan muda turun dari kapal uap itu kemudian berjalan sendirian sampai ke kereta yang membawanya pergi. Kurang dari dua jam kemudian, ia tiba di sebuak kompleks yang tanahnya becek di dekat Corwa. Hanya ada beberapa pohon Ek yang nampaknya dibawa ke tanah itu beberapa dekade sebelumnya oleh koloni Inggris. Di lapangan yang di ujungnya berkibar bendera persemakmuran, ia melepas sepatu kemudian mendekati seorang petugas berpangkat.
“Kau tak bisa melakukan ini, David,” katanya dengan nada gesit. Meski berbisik, kata-katanya tegas dan matanya nanar memandang mereka yang berbaris tanpa pakaian di atas rumput. “Mereka ini bukan musuh dan justru mau membantu mengalahkan Jepang. Tidakkah kau pikir mereka ini juga manusia?”
Kapten itu menatap enam puluhan orang bertubuh kecil yang kebanyakan dari mereka meringis karena panasnya sengatan matahari. Kulit mereka hitam dan terbakar di sana-sini. Lutut mereka bergetar, keringat menetes menyertai bisikan-bisikan lirih dari bibir-bibir yang kering.
Lama kapten itu berpikir. David Moyes adalah komander kamp Corwa yang baru saja menerima kiriman pengasingan dari sebuah kepulauan lepas pantai utara Australia. Rombongan bertubuh mungil ini langsung dijemur di lapangan guna mendata siapa saja mereka. Penanganan yang mengiris hati perempuan yang tiba-tiba datang tanpa terjadwal.
“Molly. Mereka ini kiriman. Kau tahu aku tidak bisa berbuat banyak.”
Yang disebut sebagai Molly itu terdiam. Rambutnya bergelombang dibiarkan tertarik kemudian terikat ke belakang kepala. Hanya bisa mengangguk-angguk ketika kekecewaan memenuhi matanya. “Jangan panggil saya Molly, Sir.” Ia pun berlalu.
Beberapa bulan sejak kejadian itu Molly bertahan di Sydney sambil beberapa kali berkunjung ke kota kelahirannya Auckland. Menyibukkan diri dengan mempelajari sisa-sisa kelompok Fabian yang menentang imperialisme Eropa sampai ke India. Saat mencari cerita latar dikirimnya ratusan pribumi Hindia Belanda ke Tanah Australia sejak September 1928, ia tertarik dengan sebuah kepulauan luas di utara itu. Memenuhi pengharapannya terhadap kehidupan mereka yang lebih baik, sebagaimana paham luhur dari kisah Ramayana dan Mahabarata yang didapatkan dari ayahnya, juga penemuan terbarunya tentang simbolisme di Jawa dan sajak indah yang tertera di Borobudur. Usianya memasuki dua puluh enam tahun, saat ia bertemu dengan seorang laki-laki berkulit gelap dari kamp pengasingan.
***
Laki-laki itu berbadan tegap dan hanya beberapa senti lebih tinggi darinya. Sekilas pendiam tapi belakangan Molly menyadari kehangatan dari tutur kata laki-laki itu yang teratur dan bahasa tubuhnya yang sangat menghargai. Namanya Muhammad Bondan, dan senyumnya sungguh manis. Ia ada di dalam barisan “orang-orang mungil” yang tiba beberapa bulan lalu itu. Di sela-sela beberapa dalih sosialisasi kamp, Molly akhirnya merasa bahagia.
Mereka saling jatuh cinta sejak pertemuan pertama.
“Aku Molly Warner. Ya, dari Inggris.”
***
Molly berbunga-bunga. Harinya selalu cerah meski berita peperangan dari sisa Agresi Militer Belanda masih santer menyeruak dari radio-radio yang direlai dari Bukittinggi.
Tapi hari itu berbeda. Siaran radio berkoar-koar penuh sorakan. Laporan langsung dari Lapangan Ikada di Batavia. Sukarno berpidato disambut ribuan pemuda. Indonesia telah merdeka.
Siang hari Molly bergegas meninggalkan rumahnya untuk berkunjung ke Downing Street, memutuskan bergabung dengan beberapa rekannya dan mendirikan Australia-Indonesia Association setelah perundingan berat selama tujuh hari.
“Selamat, Molly. Selamat!” Beberapa rekannya berjingkrak saat mereka mengadakan pesta kecil di bilik AIA.
Tapi itu bukan ucapan untuk suksesnya asosiasi, melainkan karena perempuan itu akan berangkat ke Jawa setelah dipersunting seorang pribumi Indonesia. Di suatu Sabtu yang hangat 5 Oktober 1946, dua cinta menyatu diiringi terompet yang masih menyimpan wangi kemerdekaan Republik Indonesia.
Nama itu resmi berubah menjadi Molly Bondan.
***
Tak butuh waktu lama bagi Molly untuk menyesuaikan kulitnya dengan udara tropis. Terlebih lagi karena Bondan senantiasa menemani kebahagiaannya setiap merasakan tendangan dari dalam perutnya. Bondan beruntung dengan memperoleh pekerjaan di kementerian perburuhan. Karirnya baik tanpa cela, membuat Molly semakin cinta.
“Kurasa aku bisa bekerja sambil menyiar di radio, Mas,” katanya suatu malam. Bondan hanya tersenyum membalas permintaan itu.
Radio Republik Indonesia yang bertugas di Yogyakarta kemudian bersedia menerima seorang republikan sepertinya. Dengan sedikit upaya ia lalu bertanggun jawab untuk acara Voice of Free Indonesia yang mengudara tiga hari seminggu. Bondan menemaninya di banyak waktu jeda. Terlebih karena usia kandungannya memasuki bulan ketujuh.
Saya berpikir Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948 adalah kebingungan politik yang mengesampingkan kemanusiaan dan sebuah bangsa yang berdaulat karena rakyatnya. Saya merasa kita semua sepaham, bahwa keberanian yang sesungguhnya datang pada saat kita menghadapi lawan yang menyusahkan. Dan saya percaya karena itu pulalah kita akan bersatu sampai akhir.
Siaran malam itu disoraki orang-orang di banyak penjuru Yogyakarta. Bahkan, Sukarno yang malam itu sedang bersiaga bersama beberapa anggota kabinet langsung menegakkan duduknya ketika mendengar suara perempuan penyiar itu.
“Aku ingin bertemu dengan penyiar itu,” kata presiden.
***
Maret 1949.
Kota Yogyakarta bersiaga. Bukan hanya menanti rencana serangan umum yang mulai dibisikkan dari mulut ke mulut dengan sandi Jawa yang tak sedikitpun dimengerti oleh orang Belanda, tetapi juga karena presiden akan berpindah kantor ke tanah Kesultanan Hamengkubuwono itu. Suasana politik dalam negeri bergejolak ketika beberapa petinggi militer Belanda di Yogyakarta menemui jalan buntu dalam perundingannya dengan Sultan terkait status kewilayahan Yogyakarta. Ini adalah tanah pertahanan terakhir setelah Batavia takluk dan Surabaya kembali berkobar. Sultan mulai menyusun rencana dan memerintahkan Jenderal Besar Sudirman untuk membuat strategi penaklukan. Sebuah misi rahasia yang berhasil hanya dalam dua belas jam. Sang presiden tiba dan langsung disambut sorak-sorai kemenangan yang terdengar sampai ke meja Dewan Keamanan PBB.
Molly berdiri di Kamprement Straat, persis di depan gedung De Javasche Bank yang baru saja direbut kembali. Orang-orang berjejer di jalan sambil mengibarkan bendera Merah Putih, tapi ia dan Bondan berdiri di depan pintu utama yang dikawal beberapa tentara pembebasan. Tak lama setelah itu teriakan semakin riuh dan bergelombang dari kejauhan. Mobil yang membawa Sukarno telah tiba. Ditemani Suharto sang komandan Angkatan Darat, presiden langsung memasuki gedung itu dan bersalaman dengan beberapa orang. Molly terkejut karena dari belakangnya Bondan mencolek. Sang suami meminta Alit, bayi mereka untuk digendong, memberikan ruang gerak lebih baik bagi Molly yang tersenyum sipu.
“Wah, Anda Molly Bondan. Voice of Free Indonesia. Acara Anda menyemangati negeri ini. Sungguh.”
Kalimat itu mengejutkan Molly. Ini presiden, dan ia menyapaku, pikirnya. Jabat tangan bersambut dan Molly membungkuk sebagaimana sambutan gaya gadis Inggris. Presiden itu terpukau dan langsung berbisik kepada ajudannya tentang beberapa hal. Kemudian rombongan berlalu.
Molly melihat ke arah Bondan, dan suami itu mengangguk pelan sambil tersenyum.
Beberapa pekan kemudian, sebuah surat tiba di depan rumah mereka, membawa kabar bahwa Molly Bondan dipanggil untuk bertugas di Kementerian Penerangan, di bawah pimpinan langsung Arnold Manututu di Kabinet Republik Indonesia Serikat. Kabar radio lebih sering memperdengarkan pidato-pidato Sukarno dari seberang samudera.
Malam yang tenang dan sejuk. Di bawah jendela rumahnya Molly berdendang beberapa lagu Jawa. Bondan yang sedang sibuk menyemai beberapa tulisan di atas lembar-lembar birokrasi begitu menikmati senandung itu, meski beberapa kali tersenyum ketika sang istri berhenti di kata-kata yang sulit diucapkan. Si kecil Alit tumbuh dengan matanya yang semakin besar bagai kilau mutiara hitam dari Arafuru. Molly berterima kasih tanpa bicara.
***
Kamis pagi 1961.
Pintu diketuk beberapa kali. Molly yang sedang bersiap di depan cermin kemudian menyerukan balasan kemudian berlari kecil ke arah pintu. Alit sudah besar dan berpindah-pindah tempat tinggal di beberapa keluarga dekat ayahnya.
“Bu Molly,” kata pengantar berita itu. “Anda diundang ke istana sekarang juga.”
“Tapi … saya ada pekerjaan …” Belum selesai Molly berkata, pengantar itu sudah menyodorkan surat yang di dalamnya tersemat tanda tangan sekretariat negara. Pikiran Molly berkutat seputar beberapa pekerjaan administrasi dan lapangan yang harus diselesaikannya. Kementerian luar negeri berbeda jauh dengan kementerian penerangan yang telah ia geluti selama beberapa tahun belakangan. Ini terkait urusan diplomasi dan kebijakan pemerintah dalam menghadapi lonjakan krisis di Eropa serta gejolak politik dalam negeri yang terancam gerakan pemberontakan komunis. Ia melirik ke meja kerjanya di dekat jendela tempat manuskrip berjudul Subversive Activities in Indonesia itu masih tergeletak. Naskah itu belum rampung Molly merasa harus memilih. Matanya tajam namun akhirnya pasrah menatap.
“Presiden, yang memanggil Anda,” kata pengantar itu.
Kalimat itu tak terbalas lagi.
Siang hari mereka tiba dengan mobil di depan Gedung Agung. Di depan pintu istana, Molly langsung disodori beberapa bundel kertas dan disambut empat orang Kaukasia yang seperti dikenalnya. Tiga orang laki-laki dan satu perempuan kulit putih di antara beberapa pejabat dalam negeri.
Keempat orang itu lantas diperkenalkan sebagai Tom Atkinson, istrinya Rene, dan dua kawannya Ronald Heagan dan Herb Feith, analis bahasa yang kelihatan jauh lebih muda. Tom dan Rene selama ini Molly ketahui sebagai penulis naskah pidato presiden Sukarno untuk beberapa acara di luar negeri, tapi ia sama sekali tak menyangka bahwa orang-orang ini benar-benar bertugas di istana.
“Tuan Tom dan Nyonya Rene akan kembali ke Inggris,” kata juru bicara istana ketika mereka sudah berkumpul gaya rapat singkat. “Presiden akan menghadiri sidang umum PBB, dan satu-satunya penulis naskah pidato yang paling memungkinkan adalah Anda, Nyonya Molly.”
Perempuan itu bernapas lebih cepat. Jantungnya berdegup dari dalam sebagaimana mekanisme aliran darah bekerja sampai ke gerakan matanya. Rene dan Tom melihatnya penuh harap, begitu pula yang lainnya. Tapi Molly tak bisa bicara. Ini adalah momen penting bagi dirinya.
Sepulang dari istana itu, Molly langsung mencari Bondan dan memeluknya erat-erat. Sang suami tak kuasa bertanya ada apa hingga akhirnya mereka ke ranjang pada malam harinya.
***
Malam dan kesendirian.
Molly sengaja bekerja hingga larut dengan ditemani jahe panas perasan suaminya. Naskah pidato itu nyaris rampung, tapi pikirannya berkalut-kalut di seputar beberapa kalimat Sukarno yang pernah ia dengarnya langsung dalam rapat persiapan.
"Aku pernah bermimpi, bahwa orang-orang kita menguasai dunia," kata presiden sambil memajukan wajahnya dan menunjukkan sepasang pupilnya yang menyorot dalam keremangan. Pertemuan beberapa jam sebelumnya itu terus terbayang. Molly yang ditemani beberapa menteri lalu mengangguk dan mencoret-coret di kertas naskah pidato itu, ketika sang presiden kembali menghadap ke pancasila dan menghisap cerutunya dalam-dalam.
Tentang apa maksud kata "mimpi" yang barusan disebut oleh presiden. Haruskah ia menerjemahkannya sebagai impian, atau mimpi dalam tidur?
Unutk beberapa jam itu, sang penulis hantu lebih banyak terdiam dan mengoreksi kalimat di sana-sini. Sukarno dikenal sebagai pembicara yang berapi-api dan tidak segan menggunakan tekanan-tekanan khusus pada kalimatnya. Molly melihat celah, dan ia harus melakukan yang terbaik.
***
New York, Jumat sore 30 September 1960.
Puluhan bendera negara berkibar di bawah cahaya musim panas yang hampir berakhir.
Molly mengetuk-ngetukkan jarinya di atas sampul keras yang berisi puluhan kertas terketik. Tuan Syahrir dan beberapa menteri lainnya sudah merapat ke Independence Hall dan beberapa petugas keamanan memandang iri empat orang anggota Secret Service yang berdiri sambil mengedarkan pandangan mereka dengan sangat siaga.
Sidang Umum Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa akan dimulai dalam beberapa menit. Untuk selang waktu singkat itu sebelum masuk ke ruangan asistensi, Molly berdiri dan menghadap suaminya yang nampak semakin tua. Bondan kini beruban, namun Molly hanya bisa mengedipkan matanya sembari mencium pipi suami terhebat itu.
“Aku tak akan bisa menjelajahi sejarah sebuah bangsa yang besar, kalau bukan karena cinta yang kau berikan. Terima kasih, sayang.”
Bondan merapal senyum. “I never regret any of this. Kini kau adalah pahlawan Indonesia. Sudah, sana masuk.”
Untuk momen singkat itu Bondan hanya merapatkan jari-jarinya dalam posisi telapak tangan menengadah di depan perutnya. Kacamata tebal membuat tak membuat pandangannya ke punggung istrinya itu mengabur. Semenit kemudian, ruangan itu sudah hening dan hikmat.
Cahaya memasuki ruang-ruang terkecil dan hanya ditangkap mata-mata tertentu yang mau melihatnya.
Molly duduk merapatkan lututnya. Senyumnya terus dikembangkan. Ia sama sekali tak menyangka akan duduk di ruangan itu, bersama ratusan pemimpin dari seluruh dunia. Ia bisa melihat keriputnya muka perdana menteri Inggris Harold Macmillan yang mulai berkeriput di sana sini. Ia juga menyaksikan betapa bersahaja dan terbukanya seorang John Fitzergald Kennedy yang duduk di barisan sayap kiri. Presiden Amerika Serikat itu nampak masih sangat bugar dan bersemangat. Ada juga barisan kepala tertutup sorban putih. Telinganya juga tiba-tiba diisi suara ngiang dari hari kemarin ketika perdana menteri Uni Soviet Nikita Krushchev berteriak-teriak ketika menunjukkan kemarahannya atas operasi PBB di Kongo.
Tapi baginya sore itu, tak ada yang lebih menarik ketimbang menyaksikan sebuah kopiah bergerak-gerak naik turun dalam tempo yang cepat. Maju mundur untuk kemudian mengangguk-angguk kemudian. Adalah Sukarno, satu-satunya perwakilan Indonesia yang diterima baik dengan kesempatan khusus berpidato untuk semua delegasi dunia.
Pengeras suara berdetak-detak, dan Molly mulai berkeringat. Tapi setelah akhirnya suara bariton itu mulai mengatakan kata demi kata dari naskahnya, Molly merasa ada keheningan yang menyeruak masuk melalui lubang-lubang udara. Tak seorangpun di ruangan itu yang bersuara dari mulut mereka. Mereka semua nampak seperti patung, menyimak dengan penuh rasa tanya serta kekaguman yang datang tiiba-tiba. Sang proklamator itu benar-benar memukau. To Build the World Anew, judul yang akan mudah diingat.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Molly merasa telah melakukan hal yang benar-benar besar.
Dilenyapkannya imperialisme dan kolonialisme meniadakan penghisapan demikian daripada bangsa oleh bangsa. Saya percaya, bahwa ada jalan keluar daripada konfrontasi ideologi-ideologi ini. Saya percaya bahwa jalan keluar itu terletak pada dipakainya Pancasila secara universil! Siapakah di antara Tuan-Tuan menolah Pancasila? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari Bangsa Amerika yang besar menolaknya? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari bangsa Rusia yang menolaknya? Ataukah wakil-wakil yang terhormat dari Inggris atau Polandia, atau Perancis atau Cekoslowakia?
Ataukah memang ada di antara mereka yang agaknya telah mengambil posisi yang statis dalam Perang Dingin antara gagasan-gagasan dan praktik-praktik, dan yang berusaha tetap berakar sedalam-dalamnya sedangkan dunia menghadapi.
Kalimat Sukarno mengalir begitu lancar dalam bahasa yang dimengerti seluruh dunia. Dan Molly mendengarnya dalam-dalam sembari menutup mata, menggerak-gerakkan kepalanya. Tak satupun kata terlewatkannya. Kemudian saat ruangan hening sejenak, akhirnya presiden menutup pidatonya.
Terima kasih.
Molly membuka mata. Dan jantungnya kembali berdegup cepat. Orang-orang itu berdiri. Bahkan Kennedy mendahului yang lainnya dengan menepuk tangan sambil melepaskan pantat dari kursinya. Standing ovation berlangsung hampir satu menit. Sebutir air bening jatuh di sudut mata.
Di luar ruangan, Bondan mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menyelipkan dua tangannya ke saku celana. Punggungnya yang merapat ke dinding seperti merasakan kalau gedung itu bergetar.
***
Lima tahun berlalu. Molly yang menua lalu mengirim surat pernyataannya kepada kementerian dalam negeri dan beberapa delegasi penyiar. Surat itu berisi pendapatnya tentang gejolak komunisme yang akhirnya memuncak pada gerakan tiga puluh september.
… bagi diri saya pribadi Pancasila merupakan suatu bentuk ideologi politik yang sangat komprehensif. Dan selama masyarakat Indonesia mampu menjaga prinsip dasar tersebut, I shall support Indonesia through thick and thin.
Bondan memulai masa pensiunnya dengan menulis beberapa buku soal sejarah perburuhan di Indonesia dan masa depan industri kain yang tersebar di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara.
“Aku tak akan bisa berhenti bekerja, sayang,” katanya saat Molly memintanya beristirahat. Ia sendiri berpikir kehidupan mereka telah lengkap, namun mesti terus diisi dengan pencapaian-pencapaian besar.
Alit melanjutkan studinya di sebuah yayasan firma hukum. Tentu saja mereka senang. Di samping karena suasana dalam negeri mulai mudah dimengerti, dan juga karena Molly akhirnya percaya bahwa keputusannya meninggalkan Inggris dan Australia puluhan tahun lalu adalah hadiah terindah dari Tuhan. Karena ia bertemu dengan seorang laki-laki sempurna, dengan keluarga kecil yang indah.
***
Matahari senja bersinar begitu oranye dan keemasan. Alit beserta istri dan anaknya tersedu di sisi tempat tidur. Ayahnya sudah pergi beberapa tahun lamanya. Tapi bagi anak itu, tak ada kenangan lebih indah dalam hidupnya selain menyaksikan jalan hidup sang bunda membela Tanah Air yang dicintainya.
In Love with A Nation – Molly Bondan and Indonesia, Her Own Story in Her Own Words. Buku itu kini telah rampung, dan Alit kembali terisak ketika melihat kalimat pembuka yang ditulis Molly di sana.
Aku lahir 9 Januari 1912. Tiga bulan sebelum Titanic, kapal yang membawa 2000 penumpang ke Amerika itu tertabrak gunung es di laut Atlantik utara dan tenggelam.
Di dalam benak perasaan anak yang kini besar itu, ibunya benar-benar mengubah haluan hidupnya untuk menjadi seorang republikan sejati. Seorang penggerak keluarga, dan pejuang yang senyap dalam cintanya.
Molly Bondan menyerah kepada kanker dan meninggal dengan tenang di rumah hangatnya, Jumat 6 Januari 1990. Tepat tiga hari sebelum peringatan ulang tahunnya yang ke-79. Jenazahnya dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
*
Kau bisa mencintai bangsamu dengan sungguh-sungguh. Tapi itu baru akan terbukti saat kau berani mengambil langkah yang besar.
[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Molly dan Bondan (rosodaras.wordpress.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H