Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kritis Juga Terhadap Iklan

4 Agustus 2012   05:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_198083" align="aligncenter" width="540" caption="Ilustrasi/Shutterstock"][/caption]

Tertanggal 31 Mei 2012 Komisi Penyiaran Indonesia melalui surat nomor 336/K/KPI/05/2012 melayangkan imbauan kepada seluruh stasiun televisi untuk melakukan perbaikan tayangan iklan pelayanan kesehatan yang akhir-akhir ini kerap tayang di jam-jam primer. Imbauan yang dimaksud ditujukan untuk iklan klinik kesehatan alternatif yang menampilkan testimoni pasien dengan maksud memasarkan klinik tertentu. Namun hingga saat ini, Iklan-iklan klinik alternatif yang di maksud hingga kini masih masih tayang saban hari.

KPI mendasarkan imbauannya pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1787 tahun 2012 yang melarang pemasaran testimonial dan tawaran rabat (diskon) bagi segala macam produk kesehatan. Rekomendasi yang sama datang dari peraturan Badan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (BP P3I) No. 635/BPPPPI/III/2012 pada 12 Maret 2012 yang meminta masyarakat berhati-hati terhadap iklan layanan kesehatan yang menggunakan nama "Klinik -".

Setidaknya dalam kurun waktu April hingga Juli 2012 ini KPI Pusat telah mengirimkan 15 surat baik berupa imbauan ataupun teguran kepada sejumlah stasiun televisi terkait penayangan iklan yang dinilai tendensius dan berdampak buruk bagi pemirsa. Beberapa di antaranya bahkan dijatuhi sanksi penghentian sementara penayanganannya. Sedangkan jumlah aduan jauh lebih banyak dari itu.

Ini merupakan tanda jelas bahwa kekritisan masyarakat terhadap tayangan televisi tidak lagi seputar tayangan program yang merugikan khalayak. Masih segar dalam ingatan kita setahun lalu tatkala setidaknya tiga stasiun televisi mendapat teguran keras dari KPI terkait penyematan iklan dalam tayangan azan magrib selama bulan Ramadan. Meski kontroversial secara konten, pada kenyataannya konten iklan yang berani melakukan terobosan tetap berada dalam lingkup teropong komisi penyiaran. Pemirsa harus dilindungi dari stigma singkat yang bisa merugikan ataupun dampak psikologis sosial yang dibawa oleh iklan.

Kalau tayangan program komedi sahur sudah banyak diadukan pemirsa, maka tayangan iklan nampaknya belum segenting itu. Bisa jadi karena jenis tayangan iklan berbeda dengan program primer yang punya kepastian tertonton lebih tinggi. Iklan-iklan masih dianggap selingan dan tidak serta-merta memengaruhi preferensi pemirsa terhadap pilihan tayangan. Meski demikian, KPI sudah pada tempatnya menegur setiap iklan yang berpotensi menimbulkan penyimpangan, apalagi melangggar peraturan berketatapan hukum.

Dilema jam tayang

Salah satu teguran terbaru yang dilayangkan KPI ditujukan untuk iklan produk Sensitive Compact. Peringatan tertulis tanggal 31 Juli 2012 itu menindaklanjuti aduan masyarakat yang menilai iklan alat tes kehamilan yang memeragakan perempuan dengan hanya mengenakan kemeja putih dan duduk di atas kloset itu melanggar jam tayang. Iklan dengan konten dewasa seharusnya tayang antara pukul 22.00 sampai 03.00. Padahal, tingkat ketertontonan pada jam-jam itu paling rendah dalam sehari.

Dilema yang lebih membingungkan dan klasik dialami iklan-iklan produk tembakau yang selama ini lazim menjadi sponsor utama tayangan olahraga. Saat tayangan olahraga sudah mulai pada pukul 19.00 WIB, iklan produk tembakau tersebut otomatis tayang sebelum peluit tanda mulai atau saat istirahat paruh waktu. Jauh sebelum waktu yang diperbolehkan. Aduan pun masuk ke KPI, tapi terbentur pada belum adanya peraturan yang melarang iklan produk tembakau untuk mendukung tayangan olahraga yang mengudara pada jam keluarga.

Di kalangan pemirsa pun timbul kontroversi. Bahkan ada yang meminta KPI merevisi aturan rentang tayang produk-produk pendukung tayangan olahraga. Padahal, baru-baru ini Federasi Sepakbola Inggris beserta sponsor utamanya sekelas Barclays rela meminta maaf kepada lembaga terkait “hanya” karena Rio Ferdinand ikut main dalam iklan produk tembakau Indonesia.

Patut diakui, masih besar persentase masyarakat pemirsa yang belum tahu aturan tayang terkait iklan. Wajar saja, soalnya bahkan aturan tayangan primer berupa sinetron atau komedi pun tak melulu dipersoalkan selama dinilai menghibur. Kerinduan terhadap tayangan berkualitas di beberapa sisi masih utopis sifatnya.

Iklan luar televisi

KPI bertanggung jawab penuh atas iklan-iklan dan tayangan yang siar lewat media televisi dan radio. Lantas, bagaimana dengan iklan-iklan di luar lembaga penyiaran publik?

Beberapa tulisan blog beberapa waktu lalu juga mengkritik pemasangan iklan spanduk ataupun poster yang kerap ditemukan di persimpangan jalan. Iklan-iklan yang dimaksud berupa iklan layanan kesehatan, atau lebih tepatnya penanganan semimedis, yang menawarkan jasa kontroversial. Sebut saja iklan “telat haid” atau “besar panjangkan”. Dipasang dengan warna kontras di persimpangan jalan yang dihiasi lampu pengatur lalu lintas. Terbaca jelas setiap kali para pengendara berhenti di belakang garis marka.

Siapa yang mengontrol?

Hal semacam ini belum diawasi maksimal, karena kewenangan himbauan dan pelarangannnya masih terpusat pada kebijakan daerah tertentu melalui dinas Kimpraswil atau Perhubungan. Bahkan, sering kali ditemukan iklan tak berizin dan cenderung liar tertempel di halaman-halaman sekolah.

Belum lagi kalau bicara iklan di internet. Kementerian Kominfo tak kuasa menahan laju iklan yang tersemat dan tayang jutaan kali dalam sehari, bahkan sebelum diklik oleh pengguna.

Masyarakat perlu dilindungi secara holistik, berlaku di semua tempat dan media. Mendahului rasa abai pemirsa yang mungkin saja beralasan, lembaga-lembaga seperti KPI pusat maupun pemerintah daerah tetap harus menjadi inisiator bagi jutaan keluarga Indonesia agar lebih kritis terhadap iklan. Karena media aduannya sudah ada dan terbukti efektif, masyarakat perlu lebih gesit dalam melindungi komunitasnya dari paparan iklan-iklan yang cenderung merugikan. Yang diperlukan adalah media-media penghubung aspirasi masyarakat dengan lembaga tertentu yang berwenang terhadap pencegahan, sampai penindakan.

Semoga periklanan Indonesia maju lebih baik. Karena melindungi masyarakat dari tayangan merugikan sifatnya mutlak dan wajib.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun