Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kematian Ganda (1)

17 Juli 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:52 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GERIMIS jatuh lembut. Meski begitu, aspal sudah basah sedari tadi dan kaca-kaca jendela mulai berembun karena kondensasi yang tak terkendali. Bulan Januari memang tak pernah sebasah ini. Laki-laki itu memasukkan kedua tangannya ke selipan saku jaket kulit berjahit garis melintang. Mengikuti irama kebanyakan orang yang terjebak dalam langkah kakinya di atas trotoar. Saat berbelok ke dalam gang dan sejurus kemudian sudah berdiri di depan pintu kecil berwarna merah tua, ia membuka tudungnya. Kacamatanya berembun lebih parah daripada nako di depannya. Tak lama kemudian pintu dibuka oleh penghuninya.

“Kau selalu datang di saat yang tepat,” kata tuan rumah itu.

“Ya. Sudah seharusnya. Kasus satu ini benar-benar menarik perhatianku.”

“Oh iya? Apa pasal?”

“Karena orang yang dicurigai sebagai pelaku, justru adalah pelapor.”

“Hm …. Seperti jadi tren kriminal saat ini.”

Adam sudah meletakkan dua cangkir coklat panas di atas meja bundar rendahnya yang selalu setia berhadapan dengan televisi kecil di ruangan sempit itu. Sang tamu, Eno si polisi menggosok-gosokkan telapak tangannya sambil menjelaskan maksud pembicaraan mereka yang terasa semakin serius. Setelah merapikan dapur seadanya dan menutup pintu, Adam langsung duduk menyimak. Buku-buku Pentagramic Evil dan Rahasia Meede dirapikan ke bawah meja.

“Kau sedang menyukai cerita teka-teki sekarang?” komentar Eno melihat susunan pustaka popular itu. Adam tersenyum dan menjawab sekenanya bahwa ia hanya tertarik pada sampul dan judulnya.

“Isinya mudah ditebak,” ia berseloroh kemudian menyeruput minumannya. “Siapa pelapor kita ini?”

Eno memperbaiki posisinya. Posisi tubuhnya ditegakkan seiring kedua tangannya saling bertaut. “Winarsih, begitu ia memperkenalkan diri. Dua puluh sembilan tahun, pekerja salon. Tingginya rata-rata, badannya montok seperti kebanyakan perempuan menua. Asli Klaten tapi sehari-hari bekerja di Condongcatur.”

Adam mengangguk, berpikir sejenak, kemudian meminta kelanjutan informasi itu.

“Winarsih ini melaporkan kasus pembunuhan kekasihnya, Agus Hilmani, dua empat, seorang instruktur senam aerobik. Korban meninggal dua minggu yang lalu. Mayatnya ditemukan dengan  mulut berbusa di kamar oleh salah seorang teman kontrakannya.”

“Jam berapa ditemukannya?”

“Korban meninggal?”

Adam mengangguk.

“Pagi jam sembilan. Waktu itu saksi teman korban sedang pulang sebentar untuk mengambil sesuatu. Menurut pengakuannya, saat berniat meminta pengembalian utang ke korban yang sudah seminggu tidak diberikan, ia temukan kamar korban tidak terkunci, dan mayat sudah telungkup di sisi kasurnya.”

“Kasurnya di lantai?”

“Di TKP seperti itu.”

Adam menghela napas. Ia memutuskan untuk mengambil buku catatannya mengingat ada banyak informasi yang bisa saja bertautan satu sama lain meski bentuknya pecahan-pecahan fakta awal yang belum begitu meyakinkan.

“Bagaimana polisi bisa menuduh Winarsih sebagai pelaku?”

“Karena saksi itu juga. Mereka mengatakan malam sebelum korban ditemukan, Winarsih menginap di kamar bersama korban dan baru pulang pagi hari sekitar jam lima. Waktu itu, teman kontrakan korban belum tidur dan mendengar suara sepeda motor Winarsih dibawa keluar tanpa mesin menyala.”

Adam mulai berpikir dan  menunjukkan ketertarikannya. Ia menggosok dagu dan meminta jeda sejenak.

“Mencurigakan sekali,” komentarnya.

Eno mengangguk. Sejenak ia sempatkan diri menyeruput coklat panas itu, merasakan kehangatan mengisi relung tenggorokan hingga ke ruang perutnya, barulah ia memancing dengan pertanyaan.

“Jadi?” tanyanya.

Adam tergelak dan mengangkat alis. “Jadi apa?”

“Kau mau mengusut kasus ini?”

“Ya tergantung seberapa menarik fakta-faktanya. Kau tahu Eno, terkadang misteri kriminalitas tampak justru tidak begitu menarik kalau faktanya terlihat begitu jelas. Dan untuk kasus ini, Winarsih tidak punya alibi apa-apa kan untuk mengelak tuduhan polisi?”

“Benar. Dia juga tidak menunjukkan pembelaan apa-apa saat pemeriksaan. Penyidikan dilanjutkan besok?”

Adam tergelak. “Apa, penyidikan? Sudah ditetapkan tersangka?”

Eno mengangguk mantap. Tapi justru itu yang membuat Adam bangkit dari kursinya, mencatat beberapa kata di kertas, kemudian menempelkannya di dinding kasusnya. Isyarat itu jelas sudah. Eno sumringah dan mengangguk puas. Investigator rekannya itu memutuskan ikut campur dalam kasus ini.

Malam itu menggelayut seperti keheningan yang selalu diam.

***

Pagi yang cerah dengan balutan embun di atas jalan basah. Untuk kesempatan yang begitu langka dan karena rasa rajinnya yang tiba-tiba muncul entah atas mimpi apa, Adam sudah berbalut jaket parasut menutup hingga ke leher dan kakinya dibalut sepasang sepatu lari yang rapat. Jalan Gejayan polutif seperti biasa, tapi ia memastikan keringatnya harus mengalir karena bagaimanapun ia telah berupaya untuk bangun sepagi mungkin beberapa jam sebelumnya.

Saat baru sampai di gang keempat, teleponnya berdering.

“Adam, gawat.”

Langkahnya terhenti. Ia bisa mendengar suara rekan polisinya itu di seberang sana. Terdengar pula beberapa sahut dan seruan jauh di belakang. Juga bunyi sirene menjauh.

“Winarsih, pelapor yang kuceritakan tiga hari lalu itu, ditemukan meninggal dunia di tempat kerjanya tadi malam. Kondisinya mengenaskan dengan gejala keracunan yang hampir sama dengan … yang waktu dia ceritakan itu. Belakang rumah sakit Condongcatur, datanglah sesegera mungkin. Aku di rumah kecil dekat pos ronda lapangan bola.”

Pandangannya tentang keramaian jalan sama sekali tidak berpengaruh setelah mendengar panggilan itu. Informasi yang begitu mengejutkan datang di saat ia baru saja menyusun konstruksi pikiran atas kasus yang nampak sederhana pada awalnya. Tapi fakta kematian kedua ini, membuyarkan semua perkiraan awalnya. Polisi pasti kewalahan menanggapi pernyataan wartawan, pikirnya. Tersangka tewas beberapa jam sebelum dijemput sebagai tahanan. Adam melihat jam, dan baginya tidak ada satu menitpun yang boleh dilewatkan.

Perempuan itu juga mati, hanya tujuh belas hari setelah kematian kekasihnya.

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun