Pembantu itu cukup memberi informasi, membuka sedikit rahasia yang menyedihkan.
Adam telah merampungkan ceritanya, tapi ...
Suram tiba-tiba. Bukan karena sore dengan redup cahaya jelang malam yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Sekelompok kerabat yang bersimpati baru saja meninggalkan rumah. Tiga perempuan paruh baya masih tinggal dan memberesi ruang tamu dari karpet dan beberapa kursi yang selesai terpakai. Taman disiram lagi oleh Win yang sembari mencuci mobil.
Anak bungsu keluarga itu, Kei, seperti kebingungan dan hanya bertopang dagu di depan buku gambarnya. Pikirannya melayang-layang entah ke mana. Es krim meleleh di atas meja kaca.
Tak banyak pembicaraan. Seperti biasa. Rumah itu benar-benar kehilangan rohnya tanpa kepala rumah tangga. “Pak almarhum itu orang yang tak begitu banyak bicara. Tapi candanya selalu menyegarkan suasana. Jarang yang seperti itu,” komentar seorang tetangga yang berjalan keluar.
Adam yang menangkap kuping kalimat itu kembali berpikir. Pandangannya menyapu setiap sudut rumah itu dari luar. Halaman kompleks yang luas dengan bangunan yang tak begitu besar. Terbayang bagaimana perjuangan keluarga ini untuk menjaga keharmonisan di tengah jam kerja yang begitu sibuk dan lingkungan yang begitu tertutup. Sopir dan pembantu masak itu pun sepertinya tak bisa membantu banyak. Ketentuan kerja membuat mereka harus mengenyampingkan kepekaan sosial yang dibawa dari desa.
Sebelum masuk ke rumah, tubuh Adam terdorong oleh seseorang yang beberapa senti lebih tinggi darinya. Orang itu meminta maaf dan dengan ramah mengembalikan buku catatan yang terjatuh. Adam berkata tidak apa-apa dan mereka lalu disambut bersamaan oleh nyonya rumah yang sudah berpakaian rapi seperti hendak menyelenggarakan jamuan makan malam.
“Kalian datang nyaris bersamaan. Sungguh pertanda baik,” kata Sonia sambil menjabat tangan kedua tamunya.
Adam melangkah masuk dengan tetap menjaga pikirannya.
“Pak Adam, maaf. Ini Pak Yo, yang saya ceritakan kemarin.”
“Apa? Kalian membicarakan saya? Siapa ini?” protes orang yang berkulit putih dan tinggi itu. Ia menegakkan kerah batiknya sembari berusaha menjaga kata-kata.
Sonia tersenyum lalu meminta maaf.
Yohanes masih keheranan. Berulang kali ia memerhatikan wajah Adam dan bergantian mengharapkan konfirmasi dari Sonia.
“Ini Adam Yafrizal. Seorang teman baru.”
Adam memiringkan kepala atas penjelasan itu, tapi ia menyadari ada maksud di belakang kalimat nyonya rumah kepada rekan mendiang suaminya. Dan tampaknya itu tak mengurangi kecurigaan Yohanes.
“Ada apa ini. Merubah standar sosial?” komentarnya ringan. Sonia tak menjawab atas sindiran itu. Adam yang menampung kejengkelan di dalam hatinya, meski emosinya cepat terkendali setelah ingat maksud dan tujuan kedatangannya.
“Oh, Bu Sonia. Ini catatan yang tadi saya janjikan.”
Tapi nyonya rumah mengangkat telapak tangan sebagai isyarat agar lembaran itu jangan dikeluarkan dulu. Yohanes curi pandang dan mengernyitkan dahi, menikmati kebingungannya sendiri mengikuti seruputan teh panas dari bibir cangkir.
“Bukan apa-apa. Tagihannya bisa Anda simpan dulu. Resume yang kemarin belum saya baca utuh.”
Cepat-cepat topik seperti beralih. Sonia lalu membicarakan beberapa hal terkait persiapan notariasi harta milik suaminya. Dan sepertinya Yohanes nampak bersemangat sekali menawarkan bantuannya terkait pemenuhan utang, pengurusan piutang, pengelolaan aset bergerak, dan lain-lain bahkan sampai ihwal royalti buku-buku yang ditulis oleh Iyus. Saat perbincangan mulai membuat Adam bosan karena merasa diabaikan, terdengar hardikan dari arah belakang.
“Dasar penipu! Mama, jangan percaya dengan orang ini!”
Adam tergelak dan teh nyaris tumpah dari cangkirnya karena teriakan itu, mengira dirinyalah yang dibentak oleh suara gadis itu. Saat semua menyadari apa yang tiba-tiba terjadi, Nisa sudah berdiri di dekat kursi. Matanya tajam penuh kebencian.
“Kau harusnya tak boleh ada di rumah ini, Yohanes! Mau apa lagi kemari? Tidak puaskah menyeret ayahku ke dalam kejahatan di luar sana?”
Sonia yang bingung lalu bangkit dari kursi dan berusaha menenangkan anaknya. Dari arah pintu juga sudah datang Win sambil membawa lap basah.
Yohanes bangkit sambil menawarkan telapak tangannya, tapi anak gadis itu langsung ingin melompat dan melayangkan tendangannya. Beruntung Adam cukup dekat untuk menangkis serangan itu karena Sonia tak berdaya dan kalah tenaga. Yohanes sendiri hanya tersenyum dan menunjukkan wajah bingung. “Apa yang kau katakan, Nak? Aku menyayangi ayahmu sama seperti aku sayang pada keluarga ini.”
“Bohong! Kaulah penyebab kematian ayah. Kaulah yang membuatnya depresi dan bergaul dengan banyak penipu sepertimu. Harta ayah kau gerus perlahan, dan bahkan kau masih tega menawarkan jasamu untuk keluarga ini? Cih. Pergi saja dan urus pelacur-pelacurmu itu. Kau yang membunuh ayahku!”
“Sonia, apa yang kau katakan, Nak?” Sonia mulai mengguncang badan putrinya.
Adam masih berdiri di tengah antara mereka. Keluarga ini memang menyimpan banyak intrik yang belum diketahuinya. Ia kemudian merapatkan telapak tangan ke saku bajunya, memastikan catatan itu aman-aman saja.
Beberapa bagian harus dikoreksi di sana. Pikirannya tiba-tiba berbisik bahwa kesimpulannya keliru.
“Jangan pergi dulu.” Adam menyeru sambil tangannya menangkap lengan Yohanes. Orang itu memprotes tapi akhirnya mengalah.
“Pak Adam! Apa-apaan ini? Biarkan penjahat ini pergi.”
Adam menggeleng, lalu balas tersenyum ke gadis itu.
"Kalian semua tetap di sini. Panggil Win dan pembantu itu juga kemari. Lebih baik kujelaskan saja semuanya. Secara terbuka, di sini, saat ini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H