Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Media-media?

3 Juli 2012   07:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_198613" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shuttersotck)"][/caption]

Ada beberapa kata bermakna jamak dalam bahasa kita yang cukup licin, dalam artian belum banyak orang yang berhasil menangkap penggunaannya yang benar. Sebut saja media, data, alumni, dan fora. Ingatkah kita pernah menuliskan, katakan saja, media-media? Seperti itu. Padahal, yang tepat harusnya “hanya” media.

Untuk menandakan kejamakan  dalam kata-kata bahasa Indonesia beragam cara penulisannya. Kita sudah mengenal betul bentuk ulangan sebagaimana contoh pada kalimat sebelum ini. Lalu ada pula bentuk reduplikasi semacam baris-berbaris dan jari-jemari. Umumnya, bentuk reduplikasi ini sudah mafhum diserap-paham sebagai penjamakan sebuah kata. Itulah mengapa terkadang kita terpeleset dan menyamaratakan bentuk ini ke dalam banyak kata, termasuk kata-kata yang sejatinya sudah bermakna jamak.

Media sudah bermakna jamak dengan bentuk tunggal medium. Kata bentuk tunggal tersebut memang tidak sepopular bentuk jamaknya karena orang-orang mengenal kata asal latin medius yang dikira dekat artinya dengan medium. Karena itu, mengatakan media-media secara konteks logika kebahasaan kurang tepat.

Begitu pula dengan data yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2004 diartikan sebagai keterangan; bahan-bahan; pendapatan, memiliki bentuk tunggal datum. Si bentuk tunggal memang jarang terdengar gaungnya, tapi semata-mata karena masih banyak orang belum mengenal kata itu sesuai fungsinya. Kasihan.

Dalam beberapa tweet-nya pada Januari lalu pengamat politik Fadjroel Rahman menulis kata fora yang ternyata adalah bentuk jamak dari forum. Memang waktu itu, beberapa pejabat negara termasuk presiden sedang melakukan lawatan ke luar negeri guna pembicaraan internasional.

Kata alumni pun tak luput dari gejala salah-makna kejamakan kata ini. Banyak yang menulis di blog ataupun berita utama kata ini merujuk pada makna tunggal. Contoh kalimat: Tersangka berusia 25 tahun, mengaku sebagai alumni Universitas Pasundan. Dalam kalimat tersebut, penulis memaknai kata alumni sebagai bentuk tunggal, sehingga enteng saja dirujuk kepada orang tunggal sebagaimana penggambaran tersangka berusia 25 tahun.

Evi Maha Kastri, staf bidang pengembangan Kantor Bahasa Provinsi Lampung dalam sebuah tulisannya yang dimuat Lampung Post 6 Juni 2012 lalu menegaskan, sampai saat ini masih banyak orang mengira kata alumni berarti satu orang. Ia mengemukakan bahwa betapa banyak dari kita terkecoh dengan mengira alumnus (yang adalah bentuk tunggal dari alumni) adalah kata asing. “Kemungkinan orang-orang menduga bahwa kata alumnus itu berasal dari kata asing. Dan dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris, kata bermakna sesuatu yang banyak atau menunjukkan jamak itu memakai akhiran -s atau –es,” tulisnya.

Benar saja, coba simak cuplikan berita berikut.

Selain murah, buah-buahan lokal juga lebih sehat. Hal ini dikampanyekan Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HAIPB) Sulsel.” –Fajar.co.id, dalam berita berjudul “Pisang Rebus Lebih Bagus”, 3 Juli 2012.

Dalam penggalan berita di atas, sudah jelas bahkan nama sebuah himpunan akademis masih salah mengartikan alumni. Jika dicermati, bagian Himpunan Alumni sudah mengindikasikan makna “lebih dari satu alumni yang berkumpul, berhimpun”. Bandingkan jika ditulis Himpunan Alumnus IPB. Singkatannya akan tetap HAIPB, dan pemaknaannya lebih tepat. Semoga belum ada alumnus dari jurusan sastra Indonesia di dalam himpunan itu.

Sebagai kesimpulan, banyak pengguna media kita saat ini masih enggan membuka kamus. Penyerapan begitu saja dari media adalah gejala peradaban yang menyematkan  banyak jebakan. Lalu semuanya kembali ke individu-individu, apakah mau memperbaiki yang salah atau tetap menjadi salah. Masih untung kalau gejala salah makna ini masih sebatas bahasa informal atau percakapan sehari-hari, belum sampai ke dokumen-dokumen resmi atau yang dicetak ratusan ribu oplah. Ataukah sudah?

Berikut beberapa cuplikan berita dari sumber-sumber yang "terdepan". Klik gambar untuk membaca berita yang dimaksud.

[caption id="attachment_192315" align="aligncenter" width="633" caption="Tertulis "media-media". Klik untuk membaca dari sumber aslinya."]

[/caption] [caption id="attachment_192316" align="aligncenter" width="609" caption="Tertulis "media-media". Klik untuk membaca dari sumber aslinya."]
134130043460050301
134130043460050301
[/caption] [caption id="attachment_192317" align="aligncenter" width="588" caption="Masih pakai "media-media" padahal ybs adalah portal berita terbesar. Kalik gambar ini untuk membaca langsung dari sumbernya."]
134130048156544332
134130048156544332
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun