Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kursi Berkaki Tiga (1)

5 Juli 2012   17:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:15 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13415092671936491163

Adam tak banyak kegiatan di Sabtu sore. Waktunya banyak ia habiskan dengan mencermati bab-bab terakhir Even Angles Ask. Buku karangan Jeffrey Lang itu membuatnya sempat adu mulut dengan Alina mantan istrinya terkait sebuah ayat kitab suci yang mempersoalkan perbedaan keyakinan antara ayah dan anaknya. Ia mencari jawaban dari pertanyaan kecil itu. Begitu serius lembar demi lembar sampai matahari nyaris terbenam. Ketika mulai menyerah dan nyaris tertidur, bunyi dering telepon menyadarkannya. Pesan masuk.

Pak Adam, perkenalkn sy Sonia Anggraini. Ibu rmh tangga dgn 2 anak. Sy sangat memerluka bantuan anda soal kematian suami sy 3 hari lalu. Polisi tuduh sy membunuhnya. Tapi itu TIDAK BENAR. Mohn bant. Sy akan tiba di tempat Anda nanti jm 7. Smoga bisa. Thx.

Adam menggerak-gerakkan ponsel itu sambil berpikir. Matanya lalu melirik ke tumpukan surat kabar dan beberapa lembar coretan kasus yang belum terselesaikan. Tapi ada yang menarik hatinya setelah membaca pesan itu. Seorang perempuan yang langsung memperkenalkan dirinya di awal permintaan biasanya tidak main-main. Berbeda dengan banyak pesan masuk sebelumnya yang memuji-muji setinggi langit tapi bahkan maksudnya pun tidak jelas. Jemarinya bergerak-gerak. Jempol menekan tombol pengiriman.

Pesan terbalas.

Setelah menikmati sate Madura di gang depan Adam langsung kembali ke kamarnya. Lampu kuning yang tak begitu terang di depan sengaja ia nyalakan sebagai penanda masih ada aktivitas di dalam ruang kontrakan sempit itu. Setelah menggerutu sendiri lantaran setengah jam sudah berlalu dari waktu yang ditentukan, akhirnya ia membuka pintu dan menyambut perempuan itu.

Yang memperkenalkan diri sebagai pengirim pesan singkat sebelumnya itu benar-benar menarik perhatian Adam. Perempuan tiga puluh tujuh tahun yang lebih mirip dua puluhan. Rambut hitam sebahu agak bergelombang dan pundaknya yang melengkung agak rendah menonjolkan tubuhnya yang langsing meski pakaian lengan tanggun agak ketat membuatnya nampak kurus. Matanya yang agak sipit membuat Adam sempat mengira tamunya adalah keturunan Asia timur, lengkap dengan balutan kulit putih kekuningan.

“Saya asli Jawa, Pak Adam,” jawab Sonia dengan senyuman.

Adam mempersilakan tamunya masuk setelah memohon maaf atas keadaan ruangan itu yang lebih mirip studio seni rupa. Sonia mengiyakan tawaran Adam untuk segelas teh hangat dan langsung meneguknya seujung bibir. Tamu itu nampak tenang dan ramah meski matanya menyimpan kesedihan dan rasa khawatir yang sulit disembunyikan bahkan dengan senyuman ayu.

“Anda kemari jalan kaki?” tanya Adam begitu saja.

“Oh? Tidak. Saya naik mobil diantar sopir. Tapi parkirnya agak jauh di sana, maklum.”

Adam tersenyum dan berusaha menunjukkan pemahamannya atas kata maklum barusan. Tapi pikirannya tetap menyimpan tanya. Setelah perkenalan singkat, barulah tamu itu menjelaskan maksud kedatangannya. Laron mengerubuti lampu ketika ia merapatkan kedua tangannya di lutut. Posisi badan yang tegak menunjukkan keseriusannya. Sinar matanya lurus, kata-katanya lirih namun teratur.

“Suami saya, Pak Adam. Iyus Ismail. Meninggal tiga hari lalu. Di rumah saya sendiri.”

“Saya ikut berduka.”

“Terima kasih.”

“Apa yang terjadi?”

“Kesetrum. Dia membilas akuarium waktu tiba-tiba listrik di rumah kami nyala kemudian padam lagi. Padahal awalnya sengaja dipadamkan, seperti biasa karena suami saya tahu ada bagian alat yang bocor. Gelap karena hari sudah magrib, saya berteriak kepada sopir dan meminta listrik dinyalakan, tapi lampu tidak juga menyala. Barulah ketika berjalan sendiri dari kamar ke arah luar, saya menemukan suami saya dalam kondisi menyedihkan.”

Perempuan itu membuka tasnya sambil menahan isak. Tak menemukan yang dicari, ia lalu mengangguk dan meminta maaf ketika mengambil selembar tisu dari tangan Adam.

“Kepalanya. Kepalanya tertahan di atas bak akuarium. Lehernya tertahan kaca, sementara satu tangannya berada di dalam air. Tubuhnya menggelepar waktu saya tiba, dan kemudian dengan sigap saya cabut steker listrik dari kontaknya, barulah datang bantuan dari anak saya yang kecil, juga sopir saya yang berlari dari luar. Suami saya dibawa ke Bethesda, tapi tidak terselamatkan. Dokter bilang kejutan luar biasa merusak batang otaknya. Saya terima saja kematiannya, Pak Adam. Namanya takdir, mungkin. Tapi …”

Adam terus menyimak.

“Tapi, polisi malah membuat saya terkejut. Karena menuduh saya yang membunuh suami saya. Pak Adam, tuduhan semacam apa itu? Saya yang kehilangan kok saya yang dituduh?”

“Tunggu dulu.” Adam mencoba rekonstruksi. “Apa yang membuat mereka berkesimpulan kalau ini pembunuhan?”

Sonia berpikir sebentar, kemudian berkata, “Entahlah, tapi kata mereka ada sidik jari saya di steker listrik dan stop kontak.”

“Tentu saja!” Adam menyeru. “Anda kan sempat memegang steker itu ketika melepaskannya.”

“Memang betul. Tapi polisi tidak percaya begitu saja. Mereka berpikir saya yang menahan stekernya di sana. Ditambah lagi …”

Adam mengernyitkan dahi, menantikan lanjutan kalimat itu. Merasa tamunya itu tak kunjung melanjutkan penjelasannya, ia memancing.

“Ditambah lagi apa? Ada saksi?”

Sonia mengangguk. “Ada, anak bungsu saya itu. Dia bilang ke polisi bahwa saya memang menahan stekernya di lubang kontak. Tapi kan …”

Adam mengangkat telapak tangan sambil mengangguk. Sonia menahan kata-katanya dan memilih menundukkan kepala sambil berusaha menyeka matanya.

“Saya mengerti, Bu Sonia. Ini memang sulit, karena sepertinya polisi terlalu ngotot untuk menyidangkan Anda. Tapi bagi saya, ini menjadi menarik karena ada kemungkinan kita bisa membongkar kebenaran di balik kematian suami Anda.”

Sonia menunjukkan pengiyaan.

“Atau …, justru fakta yang akan kita temukan nanti justru membenarkan tuduhan polisi.”

Sonia mengangkat wajahnya. “Apa maksud Anda?”

“Seperti yang Anda tahu, tugas saya sebagai orang profesional adalah mencari kebenaran, sepahit apapun itu. Jadi apapun kenyataan yang akan kita hadapi nanti, saya minta Anda untuk menerimanya.”

“Saya mengerti.”

Adam tersenyum puas. “Dan satu lagi.”

“Iya.”

“Saya berhak untuk juga menyelidiki Anda, atas dasar kepercayaan yang Anda berikan kepada saya. Jadi saya minta akses untuk semua keperluan penyelidikan saya, termasuk perlindungan dari polisi jika sewaktu-waktu saya memerlukannya.”

“Bisa saya usahakan.”

“Terima kasih. Silakan minum dulu tehnya.”

Adam mengamati setiap gerakan tubuh kliennya. Sembari merapikan pikirannya dari hal-hal yang tidak penting, ia mulai mengambil secarik kertas dan menuliskan  beberapa kata yang sekiranya akan jadi petunjuk awal.

“Anda punya berapa anak, Bu Sonia?”

“Dua. Satunya dua puluh tahun sudah kuliah, satunya lagi masih SMP umur empat belas. Dua-duanya perempuan.”

“Di rumah ada pembantu?”

“Ya. Sopir kami dan satu juru masak.”

“Sopir dan pembantu Anda tinggal di rumah itu juga?”

“Cuma sopir yang kami sediakan kamar khusus di dekat garasi. Juru masak datang setiap hari jam enam, pulang jam sembilan malam.”

“Berarti waktu kejadian mati listrik sampai Anda menemukan suami Anda, semua pembantu ada di rumah?”

“Betul.”

“Dan anak-anak Anda juga?”

“Cuma yang kecil. Mesty yang kuliah sore itu belum pulang ke rumah, dan kami baru ketemu di rumah sakit.”

“Tiga orang ya.”

“Sebenarnya ada satu orang lagi yang di rumah kami, cuma belum sempat masuk.”

“Siapa itu?”

“Yohanes Piliang. Dia teman suami saya di klub golf. Beda kantor tetapi sering ketemu. Mereka terlibat di bisnis bersama. Waktu itu dia datang untuk mengajak ke tempat golf yang baru dibuka, tapi batal karena kejadian itu.”

“Rekan bisnis ya …” Adam mulai berpikir. Tangannya tetap mencoretkan beberapa kata di buku catatannya. “Setahu Anda, bagaimana hubungan mereka berdua?”

“Suami saya dan Pak Yohanes?”

Adam mengangguk.

“Baik-baik saja. Yohanes baik kepada keluarga kami karena dulu suami saya membantu memodali usaha tambaknya.”

“Jadi dia pengusaha ikan ya.”

“Betul. Akuarium yang di rumah kami pun sebenarnya pemberian dia.”

“O … jadi begitu!”

Sonia terkejut dengan perkataan Adam barusan. Tapi kembali teralihkan ketika Adam mengangguk sambil tersenyum.

“Maaf. Apakah jenazah suami Anda sudah dikebumikan?”

Lagi-lagi hanya bisa mengangguk.

“Semoga jiwanya tenang. Baiklah, Bu Sonia,” kata Adam sembari bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke arah dinding kasus dan menempelkan kertas yang sudah ia tulisi sebelumnya.  “Saya akui kasus ini menarik, dalam artian untuk diselidiki sesuai kapasitas saya. Sepertinya ini akan berat untuk Anda lalui. Maksud saya, setelah kematian suami yang baru beberapa hari lalu. Mesty dan adiknya pasti terpukul sekali.”

Sonia kembali terisak. Kali ini tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.

“Saya akan selesaikan, janji.”

Kalimat itu yang akhirnya membuat perempuan itu tersenyum. Beberapa tetes air matanya menghasilkan beberapa bulatan gelap di warna merah muda bajunya.

“Satu lagi, Pak Adam.”

“Ya?”

“Kalau bisa, tolong apapun fakta yang Anda temukan tentang kematian suami saya nantinya, jangan beritahu siapapun.”

Adam mengernyitkan dahi.

“Termasuk …”

“Khususnya kedua anak saya.”

“Apa Anda rela dipenjara atas kematian suami Anda sendiri?”

“Saya hanya perlu mengetahui kebenaran. Tidak perlu menambah kesedihan keluarga.”

Adam menghela napas kemudian kembali duduk. Kasus yang benar-benar menarik. Pandangannya tetap terarah ke mata perempuan itu. Berbagai pertanyaan kembali muncul. Tapi untuk sementara, ia tiba-tiba menannyakan pertanyaan yang ia anggap lebih cocok untuk dirinya sendiri. Untuk apa perempuan ini meminta bantuan kalau ia ingin menyimpan faktanya sendirian?

Pagi berikutnya, investigator itu sudah berdiri di depan gerbang kayu yang lebih tinggi dari kepalanya. Jalan Amri Yahya cukup ramai. Tapi ada sesuatu dari rumah itu yang membuatnya memicingkan mata.

Keheningan yang tidak biasa.

(Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun