Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Sepotong Roti (8)

30 Juni 2012   13:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:24 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sebelumnya ....)

Matahari terbenam. Jalan-jalan sepi sejenak untuk kemudian menggeliat membawa kepentingan warga kota atas hiburan pelepas lelah atau sekadar pelayanan makan malam kelas tengah. Lampul-lampu jalan memendarkan cahaya mirip bola-bola osiris yang membela langit yang begitu gelap tanpa bulan. Bunyi mesin-mesin kendaraan menderu hingga ke gang. Namun mobil sedan itu berhenti diam selama tiga menit sebelum akhirnya pintu kirinya terbuka.

“Mau ke mana?” tanya Eno melihat rekannya tiba-tiba keluar.

“Ada satu hal yang ingin kupastikan.”

Adam berjalan menyeberang jalan, kemudian memberi isyarat tangan agar Eno tetap di dalam mobil. Invesitgator itu sesaat melihat jam di pergelangan tangannya kemudian menghilang di sudut halaman kantor CAKRA. Lima menit berselang, ia kembali ke dalam mobil.

“Sudah?” tanya polisi rekannya.

Menjawab dengan anggukan mantap. “Semuanya sudah siap?”

“Sudah. Kapten pasti sudah mengumpulkan orang-orang itu di kantor saat ini. Lagipula kenapa tadi kita tidak langsung ikut dia saja?”

“Semuanya harus sempurna, Eno, karena itu aku ingin mengumpulkan bukti terakhir. Tidak boleh ada yang tertinggal.”

“Aku saja sejujurnya masih bingung, Adam.”

Kalimat itu menghentikan gerak tangan Adam yang berusaha membuka bungkus roti yang baru saja dibelinya di warung tadi.

“Maksudmu?”

“Iya, bagaimana kau menemukan fakta-fakta, dengan pencarian kita yang hasilnya kurang begitu memuaskan. Kau kan tadi bilang …”

Adam menggut-manggut sambil tersenyum. “Iya, maaf, sobatku Eno. Maafkan aku. Memang kesannya egois dan terlalu misterius. Tapi aku ada tugas penting buatmu nanti, yang aku yakin akan sangat berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya pemecahan kasus kita ini. Aku tidak ingin pikiranmu terbebani terlalu banyak data yang seharusnya aku saja yang mengelolanya.”

Eno tersenyum mendengar pembelaan itu. Bagaimanapun ia sadar posisinya yang terlalu formil, jauh dari pemberontakan yang selama ini ia dapatkan dari Adam.

“Metode seorang investigator sangatlah independen. Kalau tidak, maka lebih baik jadi polisi.” Kalimat itu terngiang-ngiang sampai saat ini di benak Eno. Entah atas alasan apa Adam bertahan dengan pandangan seperti itu.

Kantor polisi sepi di malam hari. Hanya ada dua warga sipil yang nampaknya mengadukan kehilangan barang-barangnya di perjalanan. Di loket depan berjaga dua polisi muda tapi ruangan di bagian tengah kantor itu nampak penuh meski hanya ada enam orang di dalamnya. Sempit.

Adam dan Eno masuk setelah mengetuk pintu kaca. Hilmi menyambut mereka sambil berdiri dan menyiapkan satu kursi.

“Sepertinya tugasmu mengawal tamu kita cukup baik, Eno,” seloroh kapten itu sembari duduk di kursinya. Eno berdiri siap kemudian bersandar di dinding, mengamati siapa saja yang duduk penuh tanya di sofa tamu.

“Ha! Sepertinya Anda juga berhasil mengikuti petunjuk saya untuk mengumpulkan mereka di sini, Pak Hilmi. Saya berterima kasih,” komentar Adam sembari membungkukkan badan sesaat kepada empat orang yang duduk di sofa itu.

Di ujung terjauh laki-laki paruh baya itu memicingkan matanya ketika pipinya mengempis, kemudian otot wajahnya kendur kembali ketika matanya memejam dan bibirnya melepaskan asap mengepul ke udara.

“Pak Adam, untuk apa kami dikumpulkan di sini?” tanya Ketua RT itu sambil membuang abu rokoknya begitu saja ke lantai di sisi kursi.

“Iya, ada apa ya? Kapten ini juga tidak bilang apa-apa, kami disuruh kemari saja,” keluh perempuan paruh baya yang duduk di bagian tengah. Tubuhnya yang gemuk membuat beberapa kali ia harus menggerakkan bokong untuk sekadar membuatnya lebih nyaman.

Adam tersenyum. “Maafkan saya, Bapak Ibu. Harus mendadak begini. Ini untuk kebaikan kita bersama, dan juga agar kasus kematian Ratna Siregar bisa terungkap jelas dan tidak menyisakan misteri apapun buat Karang Rejo.” Kata-kata itu sontak membuat kedua orang dewasa di sofa itu saling pandang keheranan.

“Apa? Maksud Anda, Ratna dibunuh?”

Adam tak langsung menjawab pertanyaan itu, melainkan berlutut dan melihat mata Reza yang sedari tadi hanya menunduk dan memegang tangannya. “Sebentar lagi, dik, kau bisa tenang. Ini memang sulit, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan keluarga dekat.” Adam menghela napas setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Ia kemudian bangkit namun tangannya dipegang oleh anak itu.

“Siapapun yang membunuh kak Ratna,” kata anak itu, “ … aku sudah memaafkannya.”

Adam berlutut lagi, tersenyum, kemudian memajukan badannya dan memeluk anak itu. Reza menangis tersedu-sedu saat merasakan ada gosokan berkali-kali di punggungnya. Ia bukan lagi anak kecil, tapi kesedihan seperti ini ia rasakan baru pertama kali. Antara sesal dan kebingungan bagaimana nasib hidupnya setelah ini semua berakhir. Saat mulai tenang, anak itu melepaskan pelukannya kepada Adam dan lalu mengusap matanya sendiri.

Pintu kembali terbuka. Kali ini yang masuk adalah Idham Samawi. Mengenakan kemeja rapi yang menyebarkan aroma wangi laut yang khas, penampilannya membuat sang kapten minder. Entah mengapa ia masih setia dengan jaket kulit hitam itu. “Silakan duduk,” kata sang kapten.

Adam sempat mengangguk kepada tamu terakhir itu meski tak berbalas. Idham langsung duduk di kursi tanpa banyak bicara. Tangannya sibuk dengan telepon genggam.

“Baiklah, karena semuanya sudah di sini. Kita mulai saja.” Adam menepuk tangan ketika akhirnya bangkit dan mengambil posisi di tengah-tengah. “Saya harus berterima kasih kepada kalian semua, terutama Kapten Hilmi, karena sudah memenuhi permintaan saya yang mungkin terdengar aneh pada awalnya. Tapi apa yang akan kita dengar bersama nantinya, adalah sepenuhnya pendapat profesional saya. Proses hukum lanjutan tetap saya serahkan kepada kepolisian.”

Eno tersenyum mendengar sambutan pembuka itu.

“Bu Dini, tante korban; Reza, adik korban; Pak Mukhlis, Ketua RT; dan Pak Idham, atasan korban …” Adam menghela napas sebelum mengeluarkan kalimat yang paling disukainya. “Saya harus katakan, salah satu dari kalian adalah pelaku pembunuhan atas Ratna Siregar.”

Sontak ruangan itu riuh. Mukhlis menjatuhkan rokoknya yang masih menyala begitu saja ke lantai. Reza mengangkat kepalanya terheran-heran, sementara Idham dan Dini nampak santai saja tanpa banyak memprotes. Pikiran kedua orang itu seperti sedang berada di tempat lain.

“Bagaimana bisa?!”

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun