Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sastra "Maya" Miskin Kualitas

30 Juni 2012   06:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:24 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13410365532114811119

[caption id="attachment_191616" align="aligncenter" width="567" caption="Ilustrasi (Afandi Sido)"][/caption]

Ada kalimat menarik yang diungkapkan oleh budayawan Radhar Panca Dahana Rabu (27/6/2012) kemarin. Dalam sambutannya untuk malam penghargaan cerpen Kompas itu Radhar menyatakan bahwa menurunnya kualitas kesusastraan Tanah Air disebabkan oleh paham baru bahwa kualitas karya sastra diacu pada kuantitas yang terbalut opini dunia maya. Munculnya wujud kesusastraan dunia maya yang sifatnya dadakan dianggap penyebab turunnya estetika sastra. Apa benar?

Kiranya patut direnungi barang sejenak. Internet adalah media untuk semua jenis karya digital, dan sastra adalah salah satu bidang yang menemukan aspek terbarunya dalam bentuk keluaran yang beraneka ragam. Waktu penyajian karya-karya sastra di dunia maya relatif lebih singkat. Sebuah cerpen bisa disiapkan pukul enam pagi untuk kemudian dimuat ke publik tepat tengah hari. Tidak butuh berjam-jam untuk merenungi keindahannya. Karena dunia maya adalah instrumen kebebasan berekspresi yang baru dan paling bebas, maka terbentuk demokratisasi karya sastra di mana standar-standar tentang bagaimana baiknya karya sastra itu mulai ditinggalkan.

“Orang bisa menulis apa saja dengan estetika yang dia buat sendiri. Lalu setiap orang memiliki kebenaran atas estetika yang ia ciptakan sendiri,” ujar Radhar. Akibatnya, tak banyak kritik yang terbangun karena aliran karya sastra begitu masif setiap harinya. Di blog-blog publik yang mengakomodasi karya sastra, pengguna bisa mengunggah cerita apa saja yang dipikirnya memiliki sisi menarik, tanpa harus gamang mempertimbangkan penilaian aspek kesusastraan yang sejak dulu memiliki paten tersendiri yang diterima sebagai opini umum.

Belum lagi, munculnya kecenderungan menggabungkan bahasa lisan dengan bahasa tulis. Kalimat percakapan anak SMA di Twitter dengan kata-kata semacam sich atau donk bisa saja diketik-muat ke dalam bagan cerpen yang lalu dipasang rapi pada kolom sastra. Apresiasi tentu relatif tinggi, karena perilaku kesusastraan sosial anak muda masa kini relatif sulit membedakan ihwal bahasa cakap dengan bahasa tulis.

Akomodasi

Sebetulnya gejala asimilasi gaya tutur ini bukanlah barang baru di dunia kesusastraan Tanah Air. Dewi Lestari, misalnya, berhasil mengukuhkan buku-bukunya yang tetap berpegang pada gaya bahasa cakap yang begitu fleksibel, terkini, dan terbuka dengan banyak sekali aksen anak muda. Karena tren bekerja sebagai hukum alami, muncullan penulis-penulis muda yang mengikuti jejak Dee dengan gaya bahasa cakap diramu ke dalam karya tulis sastra yang diterima publik.

Pembaruan-pembaruan atas nilai estetika sastra diakomodasi secara luas, termasuk mengadopsi opini-opini yang berkembang di dunia maya. Tidak ada perombakan, tak banyak pemberontakan. Kosakata diambil dari kamus popularitas yang dipercaya secara umum, di samping karena memiliki unsur kedekatan. Kata-kata seperti temaram, pusara, dan tulang rusuk kemudian mengalami degradasi estetika justru karena terlalu sering dipakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia merindukan khalayak mencecapi kata-kata barunya seperti lilan untuk menggantikan pohon, dan liana untuk mengganti semak. Sama seperti dengan beberapa kata lain yang sudah  lebih dulu melompat keluar untuk dilupakan kemudian.

Miskin eksperimen

Kalau di masa lalu Pramoedya Ananta Toer sampai dianggap “mengangkangi” aturan bahasa tulis dengan memperkenalkan kosakata-kosakata yang tak lazim penulisannya, sah saja dan jadi menarik. Sebut saja rumahtangga, coklatmuda, dan kayubakar dalam karya fundamentalnya Bumi Manusia (1980), kemudian di beberapa bagian lain tetap menjaga penulisan tak berangkai untuk ilmu pengetahuan dan kereta api. Oleh kritikus sastra kala itu, Pram dianggap pencetus sekaligus pemberontak. Itulah yang dirindukan di masa kini, ketika sastra Tanah Air kering dari karya-karya eksperimental yang mengambil tema-tema atau metode-metode yang tak lazim. Setidaknya demikian kegalauan yang diungkapkan pengkritik sastra lainnya, Adi Wicaksono.

Ketika pada masa ini tinggal surat kabar yang dianggap sebagai penyelamat kesusastraan Indonesia, karya-karya melalui dunia maya justru membanjiri setiap hari. Puisi-puisi serta cerpen diakomodasi oleh portal media online untuk kemudian disaring ke daftar calon penerima penghargaan anugerah sastra. Ibarat ajang apresiasi layar kaca, kriteria pemenangan bisa berubah dari awalnya terbaik, menjadi terfavorit. Karya-karya sastra lantas sulit mendapatkan penilaian objektif terhadap kualitasnya. Para penulis pun harus pintar-pintar mengenali esensi keindahan sastra dengan kekuatan khalayak maya.

Sekiranya tidak sepenuhnya salah bahwa para penulis sastra masa kini malas bereksperimen. Munculnya media instan untuk menerbitkan karya-karya sastra justru menjadi pembuai yang menciptakan zona nyaman baru bagi masyarakat untuk melihat karya sastra seseorang dari satu sudut menarik saja. Tidak ada salahnya menggali lebih dalam dengan merujuk standar lama tentang bagaimana baiknya karya sastra itu. Kita perlu lebih jeli mencermati diksi yang dipakai dalam puisi, istilah-istilah dan pemadanan kata yang disematkan dalam dialog cerpen, atau gaya-gaya lama yang bisa jadi muncul dalam naskah drama remaja. Selain harus bertahan dari gempuran informasi masif yang membawa penilaian sesaat, para penulis sastra juga ditantang untuk mempersembahkan keindahan baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Dibutuhkan kemauan untuk menjadi “beda”. Selagi masih ada pengkritik sastra seperti Radhar dan Adi Wicaksono yang bisa membantu kita mengaitkan estetika lama dan potensi pembaruan kualitas sastra masa kini, kita harus tetap melangkah. Membuat karya semahal mungkin. Tidak semata-mata mengikuti kehendak popularitas, tetapi membaluti karya sastra dengan lapisan estetika yang kental. Yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun, bahkan oleh penulisnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun