Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Namanya Tutik, Kelas 4

12 Juni 2012   12:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:04 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_187539" align="aligncenter" width="630" caption="Namanya Tutik, Kelas 4 SD. Sayang sekali fokus gambarnya salah. Diambil 12/6/2011."][/caption] Sore menjelang ketika saya melaju di atas sepeda motor dari arah selatan di Jalan Kaliurang Yogyakarta, Selasa (12/6/2012). Setelah selama kurang lebih satu jam berkeliling, rasa aneh terbersit di pikiran. "Tumben kota sepi pengemis," pikir saya sontak ketika melewat tiga persimpangan besar dan tidak menemukan yang saya cari. Anak-anak jalanan juga seperti sedang bersembunyi. Setelah mengambil jalur memutar melewati kawasan Malioboro dan hasil tetap nihil, akhirnya saya tiba di sebuah perempatan yang merupakan harapan terakhir. Walaupun satu orang, saya yakin ada pengemis di perempatan MM UGM. Matahari bersinar tidak terlalu terik, menggeliat turun perlahan membuat udara makin sejuk di bawah barisan pohon-pohon Ketapang di Jalan Teknika. Dari jauh menyorot pandang, ternyata benar. Ada satu orang yang saya temukan sesuai keinginan awal. Seseorang inilah yang akan saya bahas dalam tulisan perdana edisi perjalanan (kalau terlalu klise disebut petualangan) saya mempelajari seluk-beluk dunia jalanan Yogyakarta. Ini adalah pengalaman kedua saya mewawancarai anak yang bekerja mencari sedekah di jalan. Sebelumnya, Idul Adha 2009 saya sempat berbincang dengan tiga sekawan Andreas, Adi, dan Budi yang mangkal di perempatan Mirota Kampus Bulaksumur. Tapi sekarang mereka entah ke mana. Ruang kosong di bawah balkon restoran cepat saji di sudut jalan itu sudah dipasangi teralis. Sebelumnya itu jadi tempat tidur mereka di malam hari. Berawal dari pengalaman itulah, saya berusaha mencari lebih  banyak hal tentang anak jalanan. Hingga akhirnya, anak ini menyambut saya di sebuah tanggul pembatas jalan. Setelah meletakkan gelas plastik yang jadi alat kerjanya, ia duduk di palang besi dengan dua kakinya menggantung di udara. Namanya Tutik. Usianya tidak sempat saya tanyakan. Tapi satu yang membuat saya terkejut pertama kali dalam perbincangan selama setengah jam dengan anak itu, adalah bahwa dia masih bersekolah di kelas 4 SD. Ya, Tutik ini bekerja di jalanan meminta sedekah dari orang yang lalu lalang. Baik itu pengendara sepeda motor yang masih mahasiswi-mahasiswi imut maupun pengemudi mobil berwajah garang kebapakan, semua dimintai. Waktu jalan mendekat setelah turun dari sepeda motor yang sengaja diparkir seratus meter jauhnya, saya mengambil beberapa foto burung Cangak Abu (Ardea Purpuera) sambil memerhatikan kegiatan anak itu. Waktu saya hampiri pun ia baru saja melepas selembaran rupiah yang sebelumnya ia tempelkan menutupi matanya. Mungkin silau matahari. Dari perbincangan singkat itu, beberapa informasi berhasil  saya dapatkan dari Tutik. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya seorang siswa SMP di salah satu sekolah yang namanya kerap diidentikkan dengan salah satu ormas. Sementara adiknya ke mana-mana masih ikut-gendongan ibunya yang juga bekerja di jalanan. Sebagaimana umumnya jawaban anak jalanan lainnya, Tutik mengaku uang hasil sedekah yang ia peroleh setiap harinya dipakai untuk kebutuhan sekolah. Itu kalau kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi. "Empat ribu dikasihnya setiap hari, selebihnya diambil Ibu," jawabnya dengan suara halus. Sampai-sampai beberapa jawaban mesti saya minta diulang biar jelas. Tutik bekerja dari jam 12 siang sampai sore selesai sekitar jam 5. Tergantung cepat atau lambatnya sang Ibunda datang menjemput bersama becak tunggangan sang Bapak. Ia dijemput belakangan, setelah ibu dan kakaknya. Setiap hari berangkat dari rumahnya di daerah Badran, Jetis jam sebelas dan baru tiba kembali pas adzan magrib. Pertanyaan saya berlanjut ke latar belakangnya sebelum meminta sedekah di jalan. Ini saya anggap penting karena saat ini motif orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari belas kasih pengguna jalan sudah beraneka ragam. Ada yang karena memang kesulitan ekonomi bahkan untuk sekadar mengisi perut, sampai karena tidak ingin pekerjaan lain meski penghasilannya sudah cukup untuk memulai usaha kecil-kecilan. Nah, si Tutik ini, perkiraan saya, termasuk golongan yang cukup baik nasibnya. Dalam artian, keluarga masih bisa membiayai sampai ihwal sekolahnya. Setelah pulang dari sekolah dan makan siang di rumah, ia diberangkatkan ke "tempat kerja". Ia, ibu, dan kakaknya tiap-tiapnya mengambil titik kerja yang berbeda. Saat saya tanyakan di mana ibunya mencari rezeki, ia pun tak tahu. Mencar-mencar, katanya. Tak ayal, di perempatan dua ruas jalan Teknika itu ia sendirian. Di tengah sepinya anak-anak jalanan, tak seorangpun jadi teman bicaranya mungkin selama tiga-empat jam di jalan itu. Beberapa kali sebelum saya beralih ke pertanyaan berikutnya, ia meminta izin untuk turun ke jalan lagi. Sampai beberapa kali. Lebih banyak dari bapak Sebetulnya ada banyak hal yang kami perbincangkan. Tapi saya tulis di sini yang sekiranya paling mewakili posisi saya dan dia sebagai narasumber informal. Sehari-hari, Tutik siswa kelas 4 SD yang bekerja di persimpangan jalan ini, bisa mendapatkan sampai Rp 25.000,-. Iseng saya tanyakan hari ini sudah dapat berapa, ia hanya tersenyum malu. Gigi-gigi kecilnya mengintip. Uniknya, ternyata pendapatan si Tutik ini jauh melebihi apa yang bisa didapatkan sang bapak dari hasil mengayuh becak. "Bapak tidak tentu tempatnya, keliling kota," jawabnya atas pertanyaan saya di daerah mana saja sang bapak mengayuh becaknya. "Dapatnya kadang sepuluh, kadang lima belas," jawabnya lagi perihal penghasilan harian sang bapak. Pikir saya, memang lebih menjanjikan pendapatan anak ini. Kalau ditambahkan dengan perkiraan maksimal yang bisa didapatkan ibu plus kakak, keluarganya bisa memperoleh sampai seratus ribu rupiah per hari. Lumayan? Masih terkait latar keluarga, Tutik mengaku ibunya dulu bekerja "ikut bantu" di beberapa rumah di daerah tempat tinggal. Hingga akhirnya entah mengapa, anak itu sendiripun tidak tahu, tiba-tiba pada pertengahan 2011 keluarga itu banting stir mengais rezeki dari belas kasih pengguna jalan. Tutik tidak menyiratkan sedikitpun keterpaksaan mengikuti kehendak orang tuanya sampai ia sendiri turun ke jalan. Meski sesekali ia terlihat mengernyitkan dahi karena cahaya matahari. Kerudungnya basah di bagian ubun-ubun. "Ingat namaku siapa?" tanya saya beberapa kali sekadar mengujinya. Meski dua kali salah, dia cukup bisa menghafal. "Fandy." Dari hal sederhana itu saya mendapat pandangan sederhana bahwa ia benar-benar bersekolah. Pun saat saya tanyakan nama lengkapnya, ia jawab, "Tutik." "Cuma itu?" Ia mengangguk. Saya memasukkan beberapa ribu rupiah ke dalam gelas plastiknya. Ia pun semakin bersemangat menjawab. Perbincangan kami menjadi semakin cair. Ia semakin mudah tersenyum setiap kali saya lontarkan candaan, dan dia ikut  mengangguk saat saya menceritakan beberapa hal tentang diri saya sendiri. Menurut saya ia anak yang cerdas, meski binaan yang diperoleh dari orang tuanya terbatas. Sesaat sebelum pamit, saya mengatakan bahwa akan menemuinya lagi, dan saya minta persetujuannya. Ia mengangguk dengan semangat sekali. Membuat saya senang dan tersenyum bahkan saat melangkah menjauh di atas trotoar itu. [caption id="attachment_187558" align="aligncenter" width="302" caption="Apa yang dilakukannya? "]

1339504595394390799
1339504595394390799
[/caption]

Satu hal yang masih mengganjal bagi saya, adalah keengganannya difoto. Tiga gambar yang saya tampilkan di sini adalah hasil "iseng" saya ketika dia tidak menyadarinya. Wah, mungkin ada satu foto yang dia sempat sadari, sampai-sampai memilih berlindung di balik tiang. Jadi kewajiban saya untuk memasukkan kamera ke tasnya ketika ia menolak diambil gambarnya. Apa boleh buat. [caption id="attachment_187559" align="aligncenter" width="369" caption="Ini dia Tutik. Pekerja di jalan, pelajar di sekolahan."]

1339504649212570203
1339504649212570203
[/caption] Semoga cerita perdana ini menjadi pintu masuk yang lebih baik bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih dekat kehidupan banyak orang yang mencari rezeki di jalan. Tutik ini, bagi saya cukup memberi inspirasi. Terlepas dari bagaimana orang melihatnya melalui lensa status sosial ataupun retorika hak asasi manusia. Sleman, 12 Juni 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun